PT Freeport Indonesia Klaim Naikkan Royalti, Kurangi Dana 1 Persen untuk Suku Asli
pada tanggal
Thursday, 2 July 2015
TIMIKA (MIMIKA) - PT Freeport Indonesia mengklaim sesuai dengan kesepakatan amandemen Kontrak Karya, pada Juli 2014 lalu, menyepakati pemberian royalti emas dengan nilai lebih besar kepada negara.
Demikian pernah diungkapkan Presiden Direktur PT Freeport Indonesia Maroef Sjamsoeddin, Januari 2015 lalu. Bos Freeport itu melaporkan dalam Rapat Dengar Pendapat dengan Komisi VII DPR-RI, katanya, sejak beroperasi royalti yang diberikan Freeport sebesar 3 persen untuk tembaga, 1 persen untuk emas, dan 1 persen untuk perak. Seperti dikutip bisnis Indonesia, “Royalti dihitung dari penjualan kotor setelah dikurangi dengan biaya pengolahan (treatment and refinary charges),” kata dia, akhir Januari 2015.
Hal itu sesuai dengan amandemen Kontrak Karya Juli 2014, Freeport sepakat meningkatkan royalti ketiga mineral tambang, di mana royalti tembaga menjadi 4 persen, royalti emas menjadi 375 persen, dan royalti perak menjadi 3,5 persen.
Dari dokumen resmi Freeport, sejak 1992 hingga 2013 royalti yang diberikan Freeport ke pemerintah Indonesia hanya 1,529 miliar dollar AS. Anggota Komisi VII DPR-RI, Saiful Bahri mengatakan, royalti yang diberikan Freeport untuk pemerintah Indonesia adalah yang terkecil.
“Dari kontrak pertama itu, yang sebesar 1 persen, royalti ke pemerintah Indonesia adalah yang terkecil. Kalah dengan Mozambik dan Angola di Afrika,” ucap Saiful membandingkan.
Sementara itu dana satu persen, yang disebut dana kemitraan PT Freeport juga dilaporkan berkurang sejak tahun 2015. Dana satu persen adalah dana kewajiban PT Freeport atas kemenangan gugatan warga lokal yang dipimpin Tom Beanal, mengugat PT Freeport ke pengadilan hukum di Lousiana Amerika Serikat, akhri decade tahun 1990an.
Dana persen merupakan hak masyarakat lokal, beberapa suku lokal, mendapat alokasi dana sebesar 1 persen dari hasil pendapatan kotor PT Freeport Indonesia.
Sementara itu, dana satu persen tersebut dikelolah melalui beberapa pihak. Selain melalui Lembaga Pengembangan Masyarakat Amungme dan Kamoro (LPMAK) juga dikelola oleh pihak Sosial Local Development (SLD) serta pintu penyaluran lainnya.
Ironisnya, royalty diklaim naik, sementara dana satu persen yang diperuntukan untuk warga lokal tersebut berkurang.
Emanuel Kemong, Sekretaris Eksekutif LPMAK mengakui, setiap tahun LPMAK mengelola dana satu persen sekitar Rp 1 triliun beberapa tahun belakangan. “Kecuali tahun 2015 ini, Freeport menerima usulan program kami kepada masyarakat sekitar 700 sampai 800juta untuk tahun ini. Ini tentunya berkurang dari tahun-tahun sebelumnya,” ungkapnya awal tahun 2015.
Pengurangan dana satu persen melalui pintu penyaluran LPMAK itu berdampak kepada masyarakat lokal. Sejumlah program pengembangan masyarakat tak berjalan mulus. Bahkan tengah tahun 2015, Juni 2015, LPMAK mendapat kritik dan protes warga terhadap program rutinnya.
Salah satunya, peserta beasiswa LPMAK berkurang. “Setiap tahun kami biasa kirim 200 sampai 300 anak ke kota studi untuk melanjutkan pendidikan, tapi tahun ini (2015) hanya 70 anak saja sesuai kuota yang disetujui PT Freeport,” jelas Titus Kemong, Kepala Biro Pendidikan LPMAK di Timika.
Dampak buruk akibat pengurangan angka keuntungan kotor PT Freeport itu pasti terjadi di waktu mendatang.
Anggota Komisi VII DPR-RI, Saiful Bahri menilai, besarnay keuntungan masyarakat ataupun royalti Freeport pemerintah Indonesia masih terkecil.
Senada juga, Supratman Andi Agtas, anggota Komisi VII DPR-RI juga berpesan agar Freeport memberikan manfaat yang lebih bagi masyarakat lokal Papua.
“Freeport Indonesia butuh kekayaan alam Papua, sebaliknya Papua butuh Freeport, perlu kesepahaman antara kedua pihak agar berjalan sebgaimana mestinya,” pesan Supratman.
Akibat minim dampak PT Freeport secara postifi bagi warga juga, kehadiran perusahaan raksasa itu juga malah dinilai lebih buruk terhadap eksistensi dan lokalitas Papua. “Hutan dan gunung rusak dan kekayaan dihabisi oleh mereka (Freeport), maka Freeport juga wajib bayar hak ulayat masyarakat atas kerugian selama ini,” kesan Bupati Mimika pekan akhir Juni 2015. [PapuaAnigou]
Demikian pernah diungkapkan Presiden Direktur PT Freeport Indonesia Maroef Sjamsoeddin, Januari 2015 lalu. Bos Freeport itu melaporkan dalam Rapat Dengar Pendapat dengan Komisi VII DPR-RI, katanya, sejak beroperasi royalti yang diberikan Freeport sebesar 3 persen untuk tembaga, 1 persen untuk emas, dan 1 persen untuk perak. Seperti dikutip bisnis Indonesia, “Royalti dihitung dari penjualan kotor setelah dikurangi dengan biaya pengolahan (treatment and refinary charges),” kata dia, akhir Januari 2015.
Hal itu sesuai dengan amandemen Kontrak Karya Juli 2014, Freeport sepakat meningkatkan royalti ketiga mineral tambang, di mana royalti tembaga menjadi 4 persen, royalti emas menjadi 375 persen, dan royalti perak menjadi 3,5 persen.
Dari dokumen resmi Freeport, sejak 1992 hingga 2013 royalti yang diberikan Freeport ke pemerintah Indonesia hanya 1,529 miliar dollar AS. Anggota Komisi VII DPR-RI, Saiful Bahri mengatakan, royalti yang diberikan Freeport untuk pemerintah Indonesia adalah yang terkecil.
“Dari kontrak pertama itu, yang sebesar 1 persen, royalti ke pemerintah Indonesia adalah yang terkecil. Kalah dengan Mozambik dan Angola di Afrika,” ucap Saiful membandingkan.
Sementara itu dana satu persen, yang disebut dana kemitraan PT Freeport juga dilaporkan berkurang sejak tahun 2015. Dana satu persen adalah dana kewajiban PT Freeport atas kemenangan gugatan warga lokal yang dipimpin Tom Beanal, mengugat PT Freeport ke pengadilan hukum di Lousiana Amerika Serikat, akhri decade tahun 1990an.
Dana persen merupakan hak masyarakat lokal, beberapa suku lokal, mendapat alokasi dana sebesar 1 persen dari hasil pendapatan kotor PT Freeport Indonesia.
Sementara itu, dana satu persen tersebut dikelolah melalui beberapa pihak. Selain melalui Lembaga Pengembangan Masyarakat Amungme dan Kamoro (LPMAK) juga dikelola oleh pihak Sosial Local Development (SLD) serta pintu penyaluran lainnya.
Ironisnya, royalty diklaim naik, sementara dana satu persen yang diperuntukan untuk warga lokal tersebut berkurang.
Emanuel Kemong, Sekretaris Eksekutif LPMAK mengakui, setiap tahun LPMAK mengelola dana satu persen sekitar Rp 1 triliun beberapa tahun belakangan. “Kecuali tahun 2015 ini, Freeport menerima usulan program kami kepada masyarakat sekitar 700 sampai 800juta untuk tahun ini. Ini tentunya berkurang dari tahun-tahun sebelumnya,” ungkapnya awal tahun 2015.
Pengurangan dana satu persen melalui pintu penyaluran LPMAK itu berdampak kepada masyarakat lokal. Sejumlah program pengembangan masyarakat tak berjalan mulus. Bahkan tengah tahun 2015, Juni 2015, LPMAK mendapat kritik dan protes warga terhadap program rutinnya.
Salah satunya, peserta beasiswa LPMAK berkurang. “Setiap tahun kami biasa kirim 200 sampai 300 anak ke kota studi untuk melanjutkan pendidikan, tapi tahun ini (2015) hanya 70 anak saja sesuai kuota yang disetujui PT Freeport,” jelas Titus Kemong, Kepala Biro Pendidikan LPMAK di Timika.
Dampak buruk akibat pengurangan angka keuntungan kotor PT Freeport itu pasti terjadi di waktu mendatang.
Anggota Komisi VII DPR-RI, Saiful Bahri menilai, besarnay keuntungan masyarakat ataupun royalti Freeport pemerintah Indonesia masih terkecil.
Senada juga, Supratman Andi Agtas, anggota Komisi VII DPR-RI juga berpesan agar Freeport memberikan manfaat yang lebih bagi masyarakat lokal Papua.
“Freeport Indonesia butuh kekayaan alam Papua, sebaliknya Papua butuh Freeport, perlu kesepahaman antara kedua pihak agar berjalan sebgaimana mestinya,” pesan Supratman.
Akibat minim dampak PT Freeport secara postifi bagi warga juga, kehadiran perusahaan raksasa itu juga malah dinilai lebih buruk terhadap eksistensi dan lokalitas Papua. “Hutan dan gunung rusak dan kekayaan dihabisi oleh mereka (Freeport), maka Freeport juga wajib bayar hak ulayat masyarakat atas kerugian selama ini,” kesan Bupati Mimika pekan akhir Juni 2015. [PapuaAnigou]