Pemerintah Dinilai Ingin Citrakan Orang Papua sebagai Teroris
pada tanggal
Thursday, 23 July 2015
WAENA (KOTA JAYAPURA) - Wakil Sekjen Asosiasi Mahasiswa Pegunungan Tengah Papua se-Indonsia (AMPTPI), Hendrikus Maday menuding Pemerintah Pusat selalu mendesain skenario supaya orang Papua digambarkan sebagai teroris yang harus dibasmi.
Maday menduga peristiwa Tolikara 17 Juli lalu, penembakan terhadap 11 pemuda yang mengakibatkan satu tewas dan berujung pembakaran sejumlah kios dan api yang merambat membakar musholah itu murni skenario Jakarta.
Jakarta menghendaki orang Papua sebagai pihak yang salah dari peristiwa itu mulai terlihat dari pemberitaan media. Media Nasional lebih banyak mengembar gemborkan mushola yang terbakar akibat pembakaran sejumlah kios dan rumah, dilain sisi mengubur penembakan 11 pemuda dan satu dari 11 itu meninggal dunia.
Katanya, rancangan itu terlihat beberapa waktu lalu, Jakarta melalui Polda Papua dan Pandam XVII Cendrawasih berusaha kriminalisasi Komite Nasional Papua Barat (KNPB). Upaya itu belum selesai, masih berlangsung, skenario beralih ke kasus Tolikara.
“Waktu lalu Komite Nasional Papua Barat (KNPB) dianggap teroris. Kasus di Tolikara, Jakarta skenariokan kita itu seperti teroris,” ungkap Maday di kantor Sekretariat Pusat AMPTPI kepada tabloidjubi.com di Waena, Kota Jayapura, (21/7).
Karena ini bagian dari skenario, Maday meragukan proses penyelesaiannya. Sejumlah usulan dan masukan yang disampaikan melalui media tidak akan berlaku. Pemerintah pasti akan mengabaikan hak-hak korban sebagaimana kasus-kasus sebelumnya.
Dikatakan, orang Papua akan selalu disudutkan dan ditembak mati sebagai pengacau dan kriminal dengan alasan-alasan seperti yang saat ini terjadi.
“Masih ragu penyelesaian karena kasus Paniai, penembakan terhadap 4 siswa 8 Desember 2014 belum selesai. Kita sudah tidak percaya polisi. Bisa saja kasus ini muncul dan tenggelam begitu saja,” tegasnya.
Andreas Gobay, ketua Dewan Pimpinan Wilayah Timur Indonesia, AMPTPI, mengatakan pihaknya melihat ada upaya pembiaran supaya peristiwa Tolikara meletus yang dilakukan Kapolres dan Danramil.
Pembiaran itu sangat terlihat dari tidak adanya antisipasi aparat keamanan. Polisi dan TNI tidak memfasilitasi komunikasi kedua belah pihak terkait surat pengurus wilayah GIDI yang dikeluarkan 11 Juli 2015 dan pelaksanaan Sholat Ied pada 17 Juli.
“Kapolres ikut menskenariokan kejadian. Mereka ikut membiarkan. Siapa yang aktor intelektual ini? Jangan menyalahkan masyarakat yang melakukan pembakaran,” tegasnya.
Tokoh Pemuda Tolikara, Webenus Bembok menambahkan media turut memainkan skenario Jakarta. Media terlalu membesar-besarkan pembakaran "masjid" yang sebenarnya merupakan mushola yang belum memiliki ijin mendirikan bangunan (IMB) selain itu bangunan tersebut dibangun atas hibah dari Gereja Injili di Indonesia (GIDI).
“Dulu ada Masjid, sebelum pemekaran tetapi sekarang ini tidak ada yang ada Mushola saja,” katanya di ruang dan tempat sama.
Seperti diketahui bersama kericuhan di Karubaga sendiri terjadi akibat kesalahpahaman antara umat muslim yang akan melaksanakan Salat Idul Fitri 1436 dilapangan Makoramil Karubaga dengan pemuda Gereja Injili di Indonesia (GIDI) yang sedang mengadakan seminar dan KKR selama seminggu.
Para pemuda menuntut agar kebijakan bersama umat beragama ditempat itu untuk tidak beribadah dengan menggunakan toa dapat dilaksanakan. Namun, penolakan untuk menaati kesepakatan oleh pihak muslim itu berujung pada hadangan aparat keamanan sehingga 9 orang pemuda GIDI tertembak. 1 diantaranya meninggal dunia.
Kecewa dengan sikap aparat yang represif, warga kemudian membakar puluhan kios dan perumahan milik warga pendatang baik Islam maupun Kristen di wilayah pasar Karubaga, api yang tidak dipadamkan oleh aparat itu meluber hingga ke mushola tak berijin yang dibangun para pedagang. [Jubi/Papuanesia]
Maday menduga peristiwa Tolikara 17 Juli lalu, penembakan terhadap 11 pemuda yang mengakibatkan satu tewas dan berujung pembakaran sejumlah kios dan api yang merambat membakar musholah itu murni skenario Jakarta.
Jakarta menghendaki orang Papua sebagai pihak yang salah dari peristiwa itu mulai terlihat dari pemberitaan media. Media Nasional lebih banyak mengembar gemborkan mushola yang terbakar akibat pembakaran sejumlah kios dan rumah, dilain sisi mengubur penembakan 11 pemuda dan satu dari 11 itu meninggal dunia.
Katanya, rancangan itu terlihat beberapa waktu lalu, Jakarta melalui Polda Papua dan Pandam XVII Cendrawasih berusaha kriminalisasi Komite Nasional Papua Barat (KNPB). Upaya itu belum selesai, masih berlangsung, skenario beralih ke kasus Tolikara.
“Waktu lalu Komite Nasional Papua Barat (KNPB) dianggap teroris. Kasus di Tolikara, Jakarta skenariokan kita itu seperti teroris,” ungkap Maday di kantor Sekretariat Pusat AMPTPI kepada tabloidjubi.com di Waena, Kota Jayapura, (21/7).
Karena ini bagian dari skenario, Maday meragukan proses penyelesaiannya. Sejumlah usulan dan masukan yang disampaikan melalui media tidak akan berlaku. Pemerintah pasti akan mengabaikan hak-hak korban sebagaimana kasus-kasus sebelumnya.
Dikatakan, orang Papua akan selalu disudutkan dan ditembak mati sebagai pengacau dan kriminal dengan alasan-alasan seperti yang saat ini terjadi.
“Masih ragu penyelesaian karena kasus Paniai, penembakan terhadap 4 siswa 8 Desember 2014 belum selesai. Kita sudah tidak percaya polisi. Bisa saja kasus ini muncul dan tenggelam begitu saja,” tegasnya.
Andreas Gobay, ketua Dewan Pimpinan Wilayah Timur Indonesia, AMPTPI, mengatakan pihaknya melihat ada upaya pembiaran supaya peristiwa Tolikara meletus yang dilakukan Kapolres dan Danramil.
Pembiaran itu sangat terlihat dari tidak adanya antisipasi aparat keamanan. Polisi dan TNI tidak memfasilitasi komunikasi kedua belah pihak terkait surat pengurus wilayah GIDI yang dikeluarkan 11 Juli 2015 dan pelaksanaan Sholat Ied pada 17 Juli.
“Kapolres ikut menskenariokan kejadian. Mereka ikut membiarkan. Siapa yang aktor intelektual ini? Jangan menyalahkan masyarakat yang melakukan pembakaran,” tegasnya.
Tokoh Pemuda Tolikara, Webenus Bembok menambahkan media turut memainkan skenario Jakarta. Media terlalu membesar-besarkan pembakaran "masjid" yang sebenarnya merupakan mushola yang belum memiliki ijin mendirikan bangunan (IMB) selain itu bangunan tersebut dibangun atas hibah dari Gereja Injili di Indonesia (GIDI).
“Dulu ada Masjid, sebelum pemekaran tetapi sekarang ini tidak ada yang ada Mushola saja,” katanya di ruang dan tempat sama.
Seperti diketahui bersama kericuhan di Karubaga sendiri terjadi akibat kesalahpahaman antara umat muslim yang akan melaksanakan Salat Idul Fitri 1436 dilapangan Makoramil Karubaga dengan pemuda Gereja Injili di Indonesia (GIDI) yang sedang mengadakan seminar dan KKR selama seminggu.
Para pemuda menuntut agar kebijakan bersama umat beragama ditempat itu untuk tidak beribadah dengan menggunakan toa dapat dilaksanakan. Namun, penolakan untuk menaati kesepakatan oleh pihak muslim itu berujung pada hadangan aparat keamanan sehingga 9 orang pemuda GIDI tertembak. 1 diantaranya meninggal dunia.
Kecewa dengan sikap aparat yang represif, warga kemudian membakar puluhan kios dan perumahan milik warga pendatang baik Islam maupun Kristen di wilayah pasar Karubaga, api yang tidak dipadamkan oleh aparat itu meluber hingga ke mushola tak berijin yang dibangun para pedagang. [Jubi/Papuanesia]