Pemberitaan tentang Kericuhan di Karubaga Harut Utamakan Jurnalisme Damai
pada tanggal
Wednesday, 22 July 2015
JAKARTA - Pemberitaan media massa mengenai kericuhan di Karubaga, Kabupaten Tolikara menjadi bahan diskusi ramai di masyarakat. Ada yang memuji, tak sedikit yang mengkritik.
Peneliti media, Ignatius Haryanto, menegaskan media memang sebaiknya menerapkan prinsip jurnalisme damai dalam peliputan sebuah konflik.
"Jurnalisme damai bukan hendak melunakkan peristiwa dan mengecilkan jumlah korban, tapi lebih dari itu. Misalnya menjelaskan sejarah pemicu konflik, dan dampak yang terjadi di masyarakat ketika keharmonisan sosial terganggu," kata Haryanto pada Selasa, (21/7).
Menulis soal konflik, kata mantan wartawan Tempo ini, tak berarti mengekspos pertikaian dari dua sisi. Peneliti dari Lembaga Studi Pers dan Pembangunan itu mengingatkan wartawan akan perlunya mengupas tuntas pemicu masalah sampai fokus pada apa dampak konflik tersebut buat masyarakat.
Menerapkan jurnalisme damai, diakui Haryanto, bukan perkara gampang. "Wartawan harus rela menahan diri dan tidak mudah terprovokasi," katanya. Selain itu, wartawan juga wajib memverifikasi seluruh informasi yang beredar dari berbagai sumber.
"Jangan percaya ke sumber pertama dan harus lihat dulu duduk perkaranya," kata dia.
Untuk itu, Haryanto menyarankan wartawan terjun langsung ke lapangan untuk memahami perkara itu secara komprehensif. "Pertama, wartawan harus ke lapangan karena fakta (yang diperoleh langsung) seperti itu lebih jauh bisa dipertanggungjawabkan ketimbang info di media sosial," kata dia.
Selain itu, Haryanto meminta wartawan memahami konteks konflik dari pangkalnya.
"Misalnya, soal isu pelarangan ibadah di Papua, (wartawan harus paham-) kenapa bisa seperti itu, dan bagaimana riwayat pendatang di sana," kata dosen komunikasi di Universitas Multimedia Nusantara itu.
Haryanto juga mengatakan wartawan harus berhati-hati dalam pemilihan diksi berita. Salah diksi, media massa justru bisa jadi memperuncing konflik.
"Cobalah proposional agar tak fokus pada matematika korban sebab kelompok minoritas selalu terintimidasi. Tampilkan fakta berbasis data, dan kutipan dari sumber-sumber yang bisa dipertanggungjawabkan," katanya.
Seperti diketahui bersama kericuhan di Karubaga sendiri terjadi akibat kesalahpahaman antara umat muslim yang akan melaksanakan Salat Idul Fitri 1436 dilapangan Makoramil Karubaga dengan pemuda Gereja Injili di Indonesia (GIDI) yang sedang mengadakan seminar dan KKR selama seminggu.
Para pemuda menuntut agar kebijakan bersama umat beragama ditempat itu untuk tidak beribadah dengan menggunakan toa dapat dilaksanakan. Namun, penolakan untuk menaati kesepakatan oleh pihak muslim itu berujung pada hadangan aparat keamanan sehingga 9 orang pemuda GIDI tertembak. 1 diantaranya meninggal dunia.
Kecewa dengan sikap aparat yang represif, warga kemudian membakar puluhan kios dan perumahan milik warga pendatang baik Islam maupun Kristen di wilayah pasar Karubaga, api yang tidak dipadamkan oleh aparat itu meluber hingga ke mushola yang dibangun para pedagang. [Tempo]
Peneliti media, Ignatius Haryanto, menegaskan media memang sebaiknya menerapkan prinsip jurnalisme damai dalam peliputan sebuah konflik.
"Jurnalisme damai bukan hendak melunakkan peristiwa dan mengecilkan jumlah korban, tapi lebih dari itu. Misalnya menjelaskan sejarah pemicu konflik, dan dampak yang terjadi di masyarakat ketika keharmonisan sosial terganggu," kata Haryanto pada Selasa, (21/7).
Menulis soal konflik, kata mantan wartawan Tempo ini, tak berarti mengekspos pertikaian dari dua sisi. Peneliti dari Lembaga Studi Pers dan Pembangunan itu mengingatkan wartawan akan perlunya mengupas tuntas pemicu masalah sampai fokus pada apa dampak konflik tersebut buat masyarakat.
Menerapkan jurnalisme damai, diakui Haryanto, bukan perkara gampang. "Wartawan harus rela menahan diri dan tidak mudah terprovokasi," katanya. Selain itu, wartawan juga wajib memverifikasi seluruh informasi yang beredar dari berbagai sumber.
"Jangan percaya ke sumber pertama dan harus lihat dulu duduk perkaranya," kata dia.
Untuk itu, Haryanto menyarankan wartawan terjun langsung ke lapangan untuk memahami perkara itu secara komprehensif. "Pertama, wartawan harus ke lapangan karena fakta (yang diperoleh langsung) seperti itu lebih jauh bisa dipertanggungjawabkan ketimbang info di media sosial," kata dia.
Selain itu, Haryanto meminta wartawan memahami konteks konflik dari pangkalnya.
"Misalnya, soal isu pelarangan ibadah di Papua, (wartawan harus paham-) kenapa bisa seperti itu, dan bagaimana riwayat pendatang di sana," kata dosen komunikasi di Universitas Multimedia Nusantara itu.
Haryanto juga mengatakan wartawan harus berhati-hati dalam pemilihan diksi berita. Salah diksi, media massa justru bisa jadi memperuncing konflik.
"Cobalah proposional agar tak fokus pada matematika korban sebab kelompok minoritas selalu terintimidasi. Tampilkan fakta berbasis data, dan kutipan dari sumber-sumber yang bisa dipertanggungjawabkan," katanya.
Seperti diketahui bersama kericuhan di Karubaga sendiri terjadi akibat kesalahpahaman antara umat muslim yang akan melaksanakan Salat Idul Fitri 1436 dilapangan Makoramil Karubaga dengan pemuda Gereja Injili di Indonesia (GIDI) yang sedang mengadakan seminar dan KKR selama seminggu.
Para pemuda menuntut agar kebijakan bersama umat beragama ditempat itu untuk tidak beribadah dengan menggunakan toa dapat dilaksanakan. Namun, penolakan untuk menaati kesepakatan oleh pihak muslim itu berujung pada hadangan aparat keamanan sehingga 9 orang pemuda GIDI tertembak. 1 diantaranya meninggal dunia.
Kecewa dengan sikap aparat yang represif, warga kemudian membakar puluhan kios dan perumahan milik warga pendatang baik Islam maupun Kristen di wilayah pasar Karubaga, api yang tidak dipadamkan oleh aparat itu meluber hingga ke mushola yang dibangun para pedagang. [Tempo]