Muslim Radikal Terindikasi Lakukan Balas Dendam ke Umat Kristen dan Warga Papua
pada tanggal
Sunday, 19 July 2015
JAKARTA - Kericuhan di Karubaga, Kabupaten Tolikara pada Jumat (18/7) terindikasi memicu meningkatnya gerakan muslim radikal yang kian mengakar di Indonesia. Polri pun mengklaim akan mengantisipasi hal tersebut.
Antisipasi pertama, Kepala Polri Jenderal Badrodin Haiti berpesan kepada umat Islam di seluruh Indonesia tak terpancing atas insiden itu dan melakukan balas dendam kepada umat Kristen dan warga Papua di wilayah lain Indonesia. Ia meminta masyarakat mempercayakan pengusutan insiden itu ke Polisi.
"Kedua, kita 'sounding' ke Polda-Polda seluruh Indonesia untuk bergerak ke ulama-ulama di wilayah masing-masing, berkomunikasi agar mereka pun tidak terpancing," ujar Badrodin pada Sabtu (18/7) sore.
Selain itu, Badrodin juga meminta para kepala satuan wilayah (Kasatwil) di seluruh Indonesia untuk meningkatkan pengamanan di titik-titik rawan. Ia pun meminta masyarakat waspada terhadap lingkungan sekitar.
Badrodin menegaskan, jajarannnya bakal membuktikan keseriusan mengusut kasus ini dengan menghukum para pelaku pembakaran dan perusakan kios serta mushala.
"Siapa yang salah, pasti kita tindak," ujar Badrodin.
Kini, Polda Papua telah memulai penyelidikan untuk mengusut pelaku. Polisi memeriksa sejumlah saksi dari pihak yang diserang dan pihak yang diduga menyerang dan merusak.
Seiring dengan penyelidikan, Kasatwil Polri di Papua diperintahkan untuk mencegah supaya insiden itu tidak meluas ke daerah lain. Demi mencapai hal ini, kepolisian kerjasama dengan stakeholder lain, mulai dari TNI, tokoh agama dan adat di Papua.
Sedang Berlangsung
Sayangnya sebuah aksi balas dendam telah dilakukan oleh ribuan muslim radikal di Solo, Jawa Tengah. Terhadap persekutuan jemaat pos Gereja Injili di Indonesia (GIDI) di Joyontakan, Serengan, Kota Surakarta, Jawa Timur pada Sabtu (18/7).
Ratusan orang yang menamakan diri Laskar Umat Islam Surakarta (LUIS) itu mendatangi rumah ibadah milik pendeta Gren Kirenius, Gembala GIdI di Joyotakan itu.
Mereka mengakui aksi ini merupakan reaksi atas terbakarnya mushola di Karubaga, Kabupaten Tolikara. Massa tersebut membawa sejumlah poster bertuliskan, “Pembakar Masjid Papua Adalah Teroris”, "Darah dibalas Darah," dan tulisan lainnya.
Massa yang mengenakan pakaian serba hitam ini datang sekitar pukul 15.00 WIB. Menurut warga, begitu datang, massa langsung masuk rumah bercat kuning itu dan berteriak-teriak meminta aktivitas ibadah dihentikan. Mereka ternyata sudah lama mengincar jemaat GIDI tersebut, untuk ditutup. Alasannya, rumah ibadah tersebut belum memiliki izin dari Pemerintah Kota Solo.
“Sebenarnya kami sudah tahu lama gereja itu tidak berizin. Tapi karena momennya di Papua ada pembakaran masjid, kami langsung ingat,” kata perwakilan LUIS, Joko Sutarto.
Joko mengatakan muslim radikal di daerah itu menuntut agar aktifitas peribadatan di rumah itu segera ditutup.
“Yang kami tahu, izinnya hanya rumah pribadi bukan rumah ibadah. Makanya kami minta segera ditutup,” kata dia.
Lebih lanjut Joko menuturkan saat itu massa dipecah menjadi dua tim. Tim yang satu sebanyak tujuh orang masuk ke rumah untuk bernegosiasi dengan pemilik rumah. Sedangkan ratusan massa yang lainnya di halaman rumah untuk menyampaikan tuntutannya mereka untuk menutup paksa gereja tersebut.
“Setelah kami kroscek ternyata rumah itu sudah lama sekali untul tempat ibadah, sudah 15 tahun,” terang Joko.
Tujuh orang itu memaksa para jemaat untuk keluar dari rumah tersebut, sedangkan Alkitab dan ruang tamu tempat jemaat beribadah dibuang dan dirusak.
Sedangkan kondisi jemaat yang berada didalam rumah belum diketahui nasibnya. Kapolresta Solo, Kombes Pol Ahmad Luthfi, saat itu langsung turun ke lapangan dan meninjau lokasi menjamin tidak terjadi apa-apa karena pihaknya telah memediasi antara kelompok massa dengan pemilik rumah ibadah tersebut.
Rumah yang berada di Jl. Rebab No 17 RT 005 /RW 003 tersebut milik, Gren Kirenius T. Saat kejadian, yang bersangkutan tidak berada di tempat. Di sana hanya ada istrinya, Yusrina, yang merupakan pendeta, dan sejumlah kerabatnya yang sedang beribadah.
Menurut warga, di rumah tersebut memang rutin menggelar ibadah setiap Minggu. Namun warga tidak pernah mempermasalahkan keberadaan rumah ibadah tersebut. Akibat kejadian itu, istri Gren Kirenius, mengalami trauma dan pingsan, sehingga dilarikan ke rumah sakit.
Seperti diketahui bersama kericuhan di Karubaga sendiri terjadi akibat kesalahpahaman antara umat muslim yang akan melaksanakan Salat Idul Fitri 1436 dilapangan Makoramil Karubaga dengan pemuda Gereja Injili di Indonesia (GIDI) yang sedang mengadakan seminar dan KKR selama seminggu.
Para pemuda menuntut agar kebijakan bersama umat beragama ditempat itu untuk tidak beribadah dengan menggunakan toa dapat dilaksanakan. Namun, penolakan untuk menaati kesepakatan oleh pihak muslim itu berujung pada hadangan aparat keamanan sehingga 9 orang pemuda GIDI tertembak. 1 diantaranya meninggal dunia.
Kecewa dengan sikap aparat yang represif, warga kemudian membakar puluhan kios dan perumahan milik warga pendatang baik Islam maupun Kristen di wilayah pasar Karubaga, api yang tidak dipadamkan oleh aparat itu meluber hingga ke mushola tak berijin yang dibangun para pedagang. [Kompas/Solopos/Papuanesia]
Antisipasi pertama, Kepala Polri Jenderal Badrodin Haiti berpesan kepada umat Islam di seluruh Indonesia tak terpancing atas insiden itu dan melakukan balas dendam kepada umat Kristen dan warga Papua di wilayah lain Indonesia. Ia meminta masyarakat mempercayakan pengusutan insiden itu ke Polisi.
"Kedua, kita 'sounding' ke Polda-Polda seluruh Indonesia untuk bergerak ke ulama-ulama di wilayah masing-masing, berkomunikasi agar mereka pun tidak terpancing," ujar Badrodin pada Sabtu (18/7) sore.
Selain itu, Badrodin juga meminta para kepala satuan wilayah (Kasatwil) di seluruh Indonesia untuk meningkatkan pengamanan di titik-titik rawan. Ia pun meminta masyarakat waspada terhadap lingkungan sekitar.
Badrodin menegaskan, jajarannnya bakal membuktikan keseriusan mengusut kasus ini dengan menghukum para pelaku pembakaran dan perusakan kios serta mushala.
"Siapa yang salah, pasti kita tindak," ujar Badrodin.
Kini, Polda Papua telah memulai penyelidikan untuk mengusut pelaku. Polisi memeriksa sejumlah saksi dari pihak yang diserang dan pihak yang diduga menyerang dan merusak.
Seiring dengan penyelidikan, Kasatwil Polri di Papua diperintahkan untuk mencegah supaya insiden itu tidak meluas ke daerah lain. Demi mencapai hal ini, kepolisian kerjasama dengan stakeholder lain, mulai dari TNI, tokoh agama dan adat di Papua.
Sedang Berlangsung
Sayangnya sebuah aksi balas dendam telah dilakukan oleh ribuan muslim radikal di Solo, Jawa Tengah. Terhadap persekutuan jemaat pos Gereja Injili di Indonesia (GIDI) di Joyontakan, Serengan, Kota Surakarta, Jawa Timur pada Sabtu (18/7).
Ratusan orang yang menamakan diri Laskar Umat Islam Surakarta (LUIS) itu mendatangi rumah ibadah milik pendeta Gren Kirenius, Gembala GIdI di Joyotakan itu.
Mereka mengakui aksi ini merupakan reaksi atas terbakarnya mushola di Karubaga, Kabupaten Tolikara. Massa tersebut membawa sejumlah poster bertuliskan, “Pembakar Masjid Papua Adalah Teroris”, "Darah dibalas Darah," dan tulisan lainnya.
Massa yang mengenakan pakaian serba hitam ini datang sekitar pukul 15.00 WIB. Menurut warga, begitu datang, massa langsung masuk rumah bercat kuning itu dan berteriak-teriak meminta aktivitas ibadah dihentikan. Mereka ternyata sudah lama mengincar jemaat GIDI tersebut, untuk ditutup. Alasannya, rumah ibadah tersebut belum memiliki izin dari Pemerintah Kota Solo.
“Sebenarnya kami sudah tahu lama gereja itu tidak berizin. Tapi karena momennya di Papua ada pembakaran masjid, kami langsung ingat,” kata perwakilan LUIS, Joko Sutarto.
Joko mengatakan muslim radikal di daerah itu menuntut agar aktifitas peribadatan di rumah itu segera ditutup.
“Yang kami tahu, izinnya hanya rumah pribadi bukan rumah ibadah. Makanya kami minta segera ditutup,” kata dia.
Lebih lanjut Joko menuturkan saat itu massa dipecah menjadi dua tim. Tim yang satu sebanyak tujuh orang masuk ke rumah untuk bernegosiasi dengan pemilik rumah. Sedangkan ratusan massa yang lainnya di halaman rumah untuk menyampaikan tuntutannya mereka untuk menutup paksa gereja tersebut.
“Setelah kami kroscek ternyata rumah itu sudah lama sekali untul tempat ibadah, sudah 15 tahun,” terang Joko.
Tujuh orang itu memaksa para jemaat untuk keluar dari rumah tersebut, sedangkan Alkitab dan ruang tamu tempat jemaat beribadah dibuang dan dirusak.
Sedangkan kondisi jemaat yang berada didalam rumah belum diketahui nasibnya. Kapolresta Solo, Kombes Pol Ahmad Luthfi, saat itu langsung turun ke lapangan dan meninjau lokasi menjamin tidak terjadi apa-apa karena pihaknya telah memediasi antara kelompok massa dengan pemilik rumah ibadah tersebut.
Rumah yang berada di Jl. Rebab No 17 RT 005 /RW 003 tersebut milik, Gren Kirenius T. Saat kejadian, yang bersangkutan tidak berada di tempat. Di sana hanya ada istrinya, Yusrina, yang merupakan pendeta, dan sejumlah kerabatnya yang sedang beribadah.
Menurut warga, di rumah tersebut memang rutin menggelar ibadah setiap Minggu. Namun warga tidak pernah mempermasalahkan keberadaan rumah ibadah tersebut. Akibat kejadian itu, istri Gren Kirenius, mengalami trauma dan pingsan, sehingga dilarikan ke rumah sakit.
Seperti diketahui bersama kericuhan di Karubaga sendiri terjadi akibat kesalahpahaman antara umat muslim yang akan melaksanakan Salat Idul Fitri 1436 dilapangan Makoramil Karubaga dengan pemuda Gereja Injili di Indonesia (GIDI) yang sedang mengadakan seminar dan KKR selama seminggu.
Para pemuda menuntut agar kebijakan bersama umat beragama ditempat itu untuk tidak beribadah dengan menggunakan toa dapat dilaksanakan. Namun, penolakan untuk menaati kesepakatan oleh pihak muslim itu berujung pada hadangan aparat keamanan sehingga 9 orang pemuda GIDI tertembak. 1 diantaranya meninggal dunia.
Kecewa dengan sikap aparat yang represif, warga kemudian membakar puluhan kios dan perumahan milik warga pendatang baik Islam maupun Kristen di wilayah pasar Karubaga, api yang tidak dipadamkan oleh aparat itu meluber hingga ke mushola tak berijin yang dibangun para pedagang. [Kompas/Solopos/Papuanesia]