Mushala di Karubaga Sudah Berdiri 30 Tahun
pada tanggal
Sunday, 26 July 2015
KARUBAGA (TOLIKARA) - Presiden Gereja Injili di Inonesia (GIDI), Pendeta Dorman Wandikmbo, membantah jemaat GIDI Tolikara tak memberikan kebebasan menjalankan ibadah bagi umat beragama lain. Ia menyebut musala yang terbakar dalam insiden di Tolikara sebagai contoh bentuk toleransi yang terjalin baik.
"Musala itu telah berdiri selama 30 tahun, jika memang kami tidak toleran, sedari awal tidak mungkin ada musala itu di situ," kata Dorman saat dihubungi Tempo, Sabtu 18 Juli 2015.
Ia mengatakan jemaat GIDI Tolikara sudah memberikan kebebasan beragama bagi umat Islam yang menjadi minoritas. "Kalau ada peringatan besar keagaaman umat Islam, kami selalu sumbang sapi untuk mereka," kata dia. Ia mengklaim budaya ini berjalan sangat lama sehingga pemeluk agama Islam di tempat itu tahu bersikap dan tak pernah ada konflik antar agama.
Meski demikian, ia tak membantah ada perda yang melarang umat Islam untuk memakai jilbab. "Perda ini sudah berjalan selama lima tahun dan tak pernah bermasalah, tidak ada yang protes sampai kejadian kemarin," kata dia. Larangan ini, kata Dorman, sudah disepakati bersama antara pemerintah daerah dan perwakilan pemeluk agama Islam setempat.
Ia juga tak membantah adanya larangan membangun tempat ibadah lain di Tolikara. Sebab, kata dia, rumah ibadah yang ada dianggap masih layak untuk dijadikan tempat beribadah.
"Peraturan ini sudah disepakati dan berjalan lancar selama dua tahun belakangan," kata Dorman. Munculnya peraturan ini, kata dia, diawali dari aspirasi gereja yang disahkan oleh pemerintah setempat.
Soal surat edaran, ia juga tak membantah surat itu keluar. Tetapi, ia heran karena surat itu menyebar luas tetapi tak pernah sampai ke jemaah Islam yang aktivitas salatnya terhenti karena kericuhan antara TNI/Polri dengan pemuda gereja. "Ibadah terhenti bukan karena dibakar tapi karena kami diberondong peluru," kata dia.
Dorman menuturkan saat itu beberapa pemuda hendak meminta jemaah Islam berdoa di dalam musala.
"Belum sempat diskusi atau negosiasi dilangsungkan, aparat TNI/Polri sudah mengeluarkan tembakan secara brutal dan membabi buta, sehingga 11 orang tertembak dan satu anak kami meninggal dunia.," kata dia. Ia menegaskan amukan dan kemarahan masyarakat bukan disebabkan oleh aktivitas ibadah umat muslim, tapi karena berondongan peluru tersebut.
Akibat berondongan peluru itu, beberapa pemuda lantas membakar kios yang dibangun oleh pemerintah daerah sebagai simbol perlawanan terhadap TNI/Polri. Tetapi, kata Dorman, api membesar sangat cepat hingga membakar rumah-rumah yang ada dan merembet ke musala. [Tempo]
"Musala itu telah berdiri selama 30 tahun, jika memang kami tidak toleran, sedari awal tidak mungkin ada musala itu di situ," kata Dorman saat dihubungi Tempo, Sabtu 18 Juli 2015.
Ia mengatakan jemaat GIDI Tolikara sudah memberikan kebebasan beragama bagi umat Islam yang menjadi minoritas. "Kalau ada peringatan besar keagaaman umat Islam, kami selalu sumbang sapi untuk mereka," kata dia. Ia mengklaim budaya ini berjalan sangat lama sehingga pemeluk agama Islam di tempat itu tahu bersikap dan tak pernah ada konflik antar agama.
Meski demikian, ia tak membantah ada perda yang melarang umat Islam untuk memakai jilbab. "Perda ini sudah berjalan selama lima tahun dan tak pernah bermasalah, tidak ada yang protes sampai kejadian kemarin," kata dia. Larangan ini, kata Dorman, sudah disepakati bersama antara pemerintah daerah dan perwakilan pemeluk agama Islam setempat.
Ia juga tak membantah adanya larangan membangun tempat ibadah lain di Tolikara. Sebab, kata dia, rumah ibadah yang ada dianggap masih layak untuk dijadikan tempat beribadah.
"Peraturan ini sudah disepakati dan berjalan lancar selama dua tahun belakangan," kata Dorman. Munculnya peraturan ini, kata dia, diawali dari aspirasi gereja yang disahkan oleh pemerintah setempat.
Soal surat edaran, ia juga tak membantah surat itu keluar. Tetapi, ia heran karena surat itu menyebar luas tetapi tak pernah sampai ke jemaah Islam yang aktivitas salatnya terhenti karena kericuhan antara TNI/Polri dengan pemuda gereja. "Ibadah terhenti bukan karena dibakar tapi karena kami diberondong peluru," kata dia.
Dorman menuturkan saat itu beberapa pemuda hendak meminta jemaah Islam berdoa di dalam musala.
"Belum sempat diskusi atau negosiasi dilangsungkan, aparat TNI/Polri sudah mengeluarkan tembakan secara brutal dan membabi buta, sehingga 11 orang tertembak dan satu anak kami meninggal dunia.," kata dia. Ia menegaskan amukan dan kemarahan masyarakat bukan disebabkan oleh aktivitas ibadah umat muslim, tapi karena berondongan peluru tersebut.
Akibat berondongan peluru itu, beberapa pemuda lantas membakar kios yang dibangun oleh pemerintah daerah sebagai simbol perlawanan terhadap TNI/Polri. Tetapi, kata Dorman, api membesar sangat cepat hingga membakar rumah-rumah yang ada dan merembet ke musala. [Tempo]