Maximus Tipagau, Putra Papua Pencetus 'Dokter Terbang' di Intan Jaya
pada tanggal
Tuesday, 7 July 2015
SUGAPA (INTAN JAYA) - Gizi buruk masih menghantui wilayah pegunungan Tengah Papua hingga pada era kini. Meski zaman telah berubah, tetapi wajah Papua tak banyak berubah di mata Maximus Tipagau.
Lewat sebuah ide yang tercetus untuk mengubah wajah Papua terutama Kabupaten Intan Jaya, Maximus menggerakkan Yayasan Somatua dan membuat program dokter terbang. Kali ini dia akan laksanakan lagi program itu untuk memberantas penyakit kurang gizi yang merebak sejak sekian lama.
"Program ini karena Papua nyaris tidak tersentuh rumah sakit pemerintah. Program ini baru tahun ini, tapi sudah dua kali selesaikan masalah gizi buruk di Papua. Selama ini Papua tak tersentuh rumah sakit," ujar Maximus pada Jumat (3/7).
Meski hanya bergandengan dengan 11 relawan lainnya, Maximus dan kawan-kawan bisa kumpulkan uang hingga Rp 500 juta. Dana tersebut dipakai untuk mendatangkan dokter dari Jakarta dan Jerman.
"Jadi kami datangkan dokter ke Intan Jaya, Tempat kami yang sampai sekarang masih banyak kasus kekurangan gizi. Dokter terbang ini sudah selesaikan 2 kasus di kampung kami, dan ini akan ada program lagi," kata Maximus.
Dia kemudian bercerita tentang tanggapan masyarakat yang amat senang dengan program dokter terbang tersebut. Bahkan tak sedikit yang menganggap bahwa program dokter terbang ini adalah pertama kalinya ada dokter yang menjangkau wilayah tersebut.
"Gizi buruk itu yang terparah karena setelah itu penyakit semua masuk dan tak terobati. Itu yang buat kami ingin ubah. Bertahun-tahun kami tak tersentuh rumah sakit sehingga kami alami gizi buruk," ungkap Maximus.
Memang medan yang ditempuh untuk ke Kabupaten Intan Jaya tak semudah memasuki penjuru nusantara yang lainnya. Belum banyak pesawat komersil yang berkenan sandar di wilayah tersebut.
Jangankan pesawat sandar, rumah sakit saja hampir dianggap mitos oleh masyarakat karena tak tampak berdiri di situ. Jika dikatakan kecewa, ya, Maximus kecewa dengan ketimpangan pembangunan yang dari dulu hingga sekarang masih ada.
"Lalu kami patungan saja untuk membuat program ini. Kalau andalkan anggota dewan saya tidak yakin bisa maksimal," kata dia.
Meski usianya yang terbilang masih muda, Maximus bercerita tentang bagaimana dia memperjuangkan rasa kecintaannya kepada tanah kelahirannya, Papua.
Teringat dia ketika masih kecil bagaimana kondisi tanah kelahirannya yang jauh dari pelayanan publik. Bagaimana tak jauh beda dulu dan kini, meski beberapa wilayah lain tampak sudah amat bersolek.
"Di tempat saya itu paling banyak penyakit akibat gizi buruk. Banyak yang meninggal karena kurang gizi," ungkap.
Tak sanggup lagi rasanya bila dia yang kini berumur 31 tahun harus berdiam diri, sementara tak banyak perubahan berarti di Papua. Mulailah dia bergerak untuk sekedar menciptakan sedikit perubahan. Sebab Ssgala daya yang dia lakukan tak ubahnya sebuah ungkapan cinta akan tanah kelahiran. Di benaknya terbayang bagaimana di suatu hari Papua akan setara dengan wilayah lain, bahkan lebih maju.
Saat ini ia bekerja pada sebuah perusahaan yang bergerak di bidang pariwisata. Pekerjaan itu dia lakoni karena wisata adalah salah satu potensi unggulan Papua yang seharusnya bisa dipasarkan maksimal oleh pemerintah.
"Saya bukan dokter, tapi saya ingin bantu ubah Papua dari gizi buruk," ucap dia. [Detik]
Lewat sebuah ide yang tercetus untuk mengubah wajah Papua terutama Kabupaten Intan Jaya, Maximus menggerakkan Yayasan Somatua dan membuat program dokter terbang. Kali ini dia akan laksanakan lagi program itu untuk memberantas penyakit kurang gizi yang merebak sejak sekian lama.
"Program ini karena Papua nyaris tidak tersentuh rumah sakit pemerintah. Program ini baru tahun ini, tapi sudah dua kali selesaikan masalah gizi buruk di Papua. Selama ini Papua tak tersentuh rumah sakit," ujar Maximus pada Jumat (3/7).
Meski hanya bergandengan dengan 11 relawan lainnya, Maximus dan kawan-kawan bisa kumpulkan uang hingga Rp 500 juta. Dana tersebut dipakai untuk mendatangkan dokter dari Jakarta dan Jerman.
"Jadi kami datangkan dokter ke Intan Jaya, Tempat kami yang sampai sekarang masih banyak kasus kekurangan gizi. Dokter terbang ini sudah selesaikan 2 kasus di kampung kami, dan ini akan ada program lagi," kata Maximus.
Dia kemudian bercerita tentang tanggapan masyarakat yang amat senang dengan program dokter terbang tersebut. Bahkan tak sedikit yang menganggap bahwa program dokter terbang ini adalah pertama kalinya ada dokter yang menjangkau wilayah tersebut.
"Gizi buruk itu yang terparah karena setelah itu penyakit semua masuk dan tak terobati. Itu yang buat kami ingin ubah. Bertahun-tahun kami tak tersentuh rumah sakit sehingga kami alami gizi buruk," ungkap Maximus.
Memang medan yang ditempuh untuk ke Kabupaten Intan Jaya tak semudah memasuki penjuru nusantara yang lainnya. Belum banyak pesawat komersil yang berkenan sandar di wilayah tersebut.
Jangankan pesawat sandar, rumah sakit saja hampir dianggap mitos oleh masyarakat karena tak tampak berdiri di situ. Jika dikatakan kecewa, ya, Maximus kecewa dengan ketimpangan pembangunan yang dari dulu hingga sekarang masih ada.
"Lalu kami patungan saja untuk membuat program ini. Kalau andalkan anggota dewan saya tidak yakin bisa maksimal," kata dia.
Meski usianya yang terbilang masih muda, Maximus bercerita tentang bagaimana dia memperjuangkan rasa kecintaannya kepada tanah kelahirannya, Papua.
Teringat dia ketika masih kecil bagaimana kondisi tanah kelahirannya yang jauh dari pelayanan publik. Bagaimana tak jauh beda dulu dan kini, meski beberapa wilayah lain tampak sudah amat bersolek.
"Di tempat saya itu paling banyak penyakit akibat gizi buruk. Banyak yang meninggal karena kurang gizi," ungkap.
Tak sanggup lagi rasanya bila dia yang kini berumur 31 tahun harus berdiam diri, sementara tak banyak perubahan berarti di Papua. Mulailah dia bergerak untuk sekedar menciptakan sedikit perubahan. Sebab Ssgala daya yang dia lakukan tak ubahnya sebuah ungkapan cinta akan tanah kelahiran. Di benaknya terbayang bagaimana di suatu hari Papua akan setara dengan wilayah lain, bahkan lebih maju.
Saat ini ia bekerja pada sebuah perusahaan yang bergerak di bidang pariwisata. Pekerjaan itu dia lakoni karena wisata adalah salah satu potensi unggulan Papua yang seharusnya bisa dipasarkan maksimal oleh pemerintah.
"Saya bukan dokter, tapi saya ingin bantu ubah Papua dari gizi buruk," ucap dia. [Detik]