Masuknya Indonesia ke MSG adalah Langkah Menghambat Kemerdekaan Papua
pada tanggal
Saturday, 4 July 2015
JAKARTA - Negara-negara kepulauan di kawasan Samudera Pasifik Selatan berpenduduk mayoritas tiga ras yakni Melanesia, Micronesia dan Polynesia, sangat mendorong dan menginginkan kemerdekaan Papua dari Republik Indonesia. Seperti Solomon, Selandia Baru , Kaledonia Baru, Niue dan Vanuatu, secara tegas mendukung kemerdekaan Papua Barat.
Pada 4 Maret 2014, Perdana Menteri Vanuatu Moana Carcasses Katokai Kalosil di hadapan Sidang Tingkat Tinggi HAM PBB ke-25, mendesak komunitas internasional mendukung kemerdakaan rakyat Papua yang saat ini menjadi rakyat pada dua provinsi di Indonesia.
Bagi Pemerintah Indonesia, wacana kemerdekaan Papua selalu dianggap makar. Sehingga apapun upaya dan tututan masyarakat Papua yang sebenarnya kecewa dengan program kesejahteraan dan pelayanan pemerintah yang tidak seimbang kepada Papua, selalu dihadang.
Negara-negara Pasifik yang sama-sama bangsa Melanesia, meyakini rakyat Papua selama hampir 50 tahun ditindas oleh rezim Jakarta. Marak pula kampanye bahwa Pepera 1969 yang membuat Papua menjadi provinsi ke-26 RI penuh manipulasi.
Mengingat semua fakta itu, akhir Juni lalu pemerintah RI melakukan manuver politik mengejutkan. Yakni bergabung dengan komunitas negara rumpun Melanesia, yakni Melanesian Spearhead Group (MSG). Organisasi ini terdiri atas Fiji, Papua Nugini, Kepulauan Solomon, Vanuatu, serta Kaledonia Baru.
Selain negara-negara itu, MSG sebelumnya berencana akan menerima United Liberation Movement for West Papua (ULMWP) sebagai peninjau. ULMWP adalah lembaga swadaya yang secara tegas memperjuangkan kemerdekaan dua provinsi Papua yang berada di bawah kendali Jakarta.
Kementerian Luar Negeri secara implisit mengakui langkah bergabung dengan MSG, merupakan strategi menghambat wacana dukungan bagi Papua merdeka di kalangan negara-negara sekitar Pasifik.
Juru bicara Kemenlu Arrmanatha Nasir dua hari lalu, menyatakan diterimanya RI sebagai anggota MSG menandakan akan ada stabilitas politik di Papua. Indonesia pun disebutnya berkepentingan masuk MSG, karena ada 11 juta WNI dari ras Melanesia yang berada pada 5 provinsi di Indonesia atau provinsi Melindo, yakni Provinsi Papua, Provinsi Papua Barat, Provinsi Maluku, Provinsi Maluku Utara dan Provinsi NTT.
Lebih dari itu, dengan masuknya Indonesia, menurutu statuta MSG tertulis bahwa organisasi ini tidak akan ikut campur dengan masalah internal negara anggotanya.
"Pernyataan jelas, bahwa mereka menghormati kadaulatan RI terhadap Papua," kata jubir yang akrab disapa Tata itu.
Selain manfaat politik, melibatkan diri dalam organisasi negara Melanesia bisa menggenjot perekonomian. Tata optimis ketika kawasan Papua dan sekitarnya semakin sejahtera, maka semua pihak akan memperoleh keuntungan. Salah satu kerja sama konkret yang akan dilakukan segera adalah menjual listrik dari Indonesia ke Papua Nugini.
"Kita bisa meningkatkan konektivitas dengan negara di Pasifik, lalu kita juga bisa buka akses lebih besar dengan negara-negara di timur Indonesia," ungkapnya.
Keputusan menerima Indonesia menjadi anggota MSG diumumkan langsung oleh Perdana Menteri Papua Nugini Peter O'Neill. Dia menyatakan membahas isu tersebut secara kolektif bersama negara anggota lainnya, mengingat Indonesia dapat memberi manfaat ekonomi bagi negara-negara kawasan Pasifik.
"Kami menantikan pembicaraan yang lebih mendalam dengan Indonesia, dalam semangat kekeluargaan regional," kata O'Neill seperti dilansir Solomon Star (27/6).
Disebut-sebut, Indonesia dan ULMWP bersamaan mengajukan permintaan menjadi anggota kepada MSG. Tapi pada akhirnya Indonesia yang diberi keanggotaan. Sementara ULMWP berstatus sebagai peninjau, status yang sebelumnya disandang oleh Pemerintah Indonesia di forum tersebut.
O'Neill meyakini tidak akan ada pihak yang curiga pada keputusan kolektif MSG memasukkan Indonesia sebagai anggota. Toh pada 2013, sudah dibentuk perjanjian menghormati kedaulatan dan komitmen Indonesia membangun Papua.
Kendati begitu, benih-benih perjuangan warga Papua masih akan muncul. Dukungan terhadap ULMWP di Provinsi Papua maupun Papua Barat relatif besar.
Pada 26 Juni, yakni saat pengumuman bahwa Indonesia diterima sebagai anggota, ribuan orang di Timika bersorak menonton siaran langsung. Bukan karena faktor Indonesia, tapi justru karena ULMWP akhirnya diterima sebagai pengamat, sehingga wakil perjuangan Papua merdeka akan hadir rutin dalam MSG.
"Keputusan para pemimpin MSG telah menempatkan bangsa Papua dalam pengakuan sebuah bangsa dan rakyat yang ingin berdaulat di atas tanahnya sendiri," kata Sekjen ULMWP Oktovianus Mote.
Lebih dari itu, rezim Jakarta di era Presiden Joko Widodo punya tantangan berat untuk merebut simpati warga, yakni merealisasikan pemerataan ekonomi. Jumlah warga miskin di Provinsi Papua mencapai 31,5 persen, jauh di atas rata-rata nasional sebesar 11,4 persen.
Ini masih ditambah kekangan politik yang masih besar, yakni pembatasan jurnalis asing meliput wilayah Papua. Janji Presiden untuk melonggarkan aturan tentara itu belum terwujud sampai sekarang.
Kekerasan pun masih menghantui warga Papua yang kritis terhadap ketidakadilan ekonomi maupun politik di wilayahnya lewat berbagai aksi dan tindakan militer, seperti yang terjadi pada Jumat (3/7) kemarin 40 warga sipil di Kabupaten Fakfak ditangkap polisi karena akan menggelar ibadah doa dan syukur untuk hasil dari diterimanya ULMWP sebagai anggota MSG.
Sedangkan pelanggaran hak asasi di Papua masih mencolok dalam beberapa waktu terakhir, contohnya pembunuhan empat pelajar di Kabupaten Paniai oleh TNI dan Polri pada akhir 2014 belum tuntas sampai sekarang. Penembakan 9 pelajar di Kabupaten Dogiyai yang menewaskan satu orang baru-baru ini. Belum lagi nasib 60 tahanan politik Papua yang dibui pemerintah tanpa batas waktu karena mewacanakan kemerdekaan. [Merdeka/Papuanesia]
Pada 4 Maret 2014, Perdana Menteri Vanuatu Moana Carcasses Katokai Kalosil di hadapan Sidang Tingkat Tinggi HAM PBB ke-25, mendesak komunitas internasional mendukung kemerdakaan rakyat Papua yang saat ini menjadi rakyat pada dua provinsi di Indonesia.
Bagi Pemerintah Indonesia, wacana kemerdekaan Papua selalu dianggap makar. Sehingga apapun upaya dan tututan masyarakat Papua yang sebenarnya kecewa dengan program kesejahteraan dan pelayanan pemerintah yang tidak seimbang kepada Papua, selalu dihadang.
Negara-negara Pasifik yang sama-sama bangsa Melanesia, meyakini rakyat Papua selama hampir 50 tahun ditindas oleh rezim Jakarta. Marak pula kampanye bahwa Pepera 1969 yang membuat Papua menjadi provinsi ke-26 RI penuh manipulasi.
Mengingat semua fakta itu, akhir Juni lalu pemerintah RI melakukan manuver politik mengejutkan. Yakni bergabung dengan komunitas negara rumpun Melanesia, yakni Melanesian Spearhead Group (MSG). Organisasi ini terdiri atas Fiji, Papua Nugini, Kepulauan Solomon, Vanuatu, serta Kaledonia Baru.
Selain negara-negara itu, MSG sebelumnya berencana akan menerima United Liberation Movement for West Papua (ULMWP) sebagai peninjau. ULMWP adalah lembaga swadaya yang secara tegas memperjuangkan kemerdekaan dua provinsi Papua yang berada di bawah kendali Jakarta.
Kementerian Luar Negeri secara implisit mengakui langkah bergabung dengan MSG, merupakan strategi menghambat wacana dukungan bagi Papua merdeka di kalangan negara-negara sekitar Pasifik.
Juru bicara Kemenlu Arrmanatha Nasir dua hari lalu, menyatakan diterimanya RI sebagai anggota MSG menandakan akan ada stabilitas politik di Papua. Indonesia pun disebutnya berkepentingan masuk MSG, karena ada 11 juta WNI dari ras Melanesia yang berada pada 5 provinsi di Indonesia atau provinsi Melindo, yakni Provinsi Papua, Provinsi Papua Barat, Provinsi Maluku, Provinsi Maluku Utara dan Provinsi NTT.
Lebih dari itu, dengan masuknya Indonesia, menurutu statuta MSG tertulis bahwa organisasi ini tidak akan ikut campur dengan masalah internal negara anggotanya.
"Pernyataan jelas, bahwa mereka menghormati kadaulatan RI terhadap Papua," kata jubir yang akrab disapa Tata itu.
Selain manfaat politik, melibatkan diri dalam organisasi negara Melanesia bisa menggenjot perekonomian. Tata optimis ketika kawasan Papua dan sekitarnya semakin sejahtera, maka semua pihak akan memperoleh keuntungan. Salah satu kerja sama konkret yang akan dilakukan segera adalah menjual listrik dari Indonesia ke Papua Nugini.
"Kita bisa meningkatkan konektivitas dengan negara di Pasifik, lalu kita juga bisa buka akses lebih besar dengan negara-negara di timur Indonesia," ungkapnya.
Keputusan menerima Indonesia menjadi anggota MSG diumumkan langsung oleh Perdana Menteri Papua Nugini Peter O'Neill. Dia menyatakan membahas isu tersebut secara kolektif bersama negara anggota lainnya, mengingat Indonesia dapat memberi manfaat ekonomi bagi negara-negara kawasan Pasifik.
"Kami menantikan pembicaraan yang lebih mendalam dengan Indonesia, dalam semangat kekeluargaan regional," kata O'Neill seperti dilansir Solomon Star (27/6).
Disebut-sebut, Indonesia dan ULMWP bersamaan mengajukan permintaan menjadi anggota kepada MSG. Tapi pada akhirnya Indonesia yang diberi keanggotaan. Sementara ULMWP berstatus sebagai peninjau, status yang sebelumnya disandang oleh Pemerintah Indonesia di forum tersebut.
O'Neill meyakini tidak akan ada pihak yang curiga pada keputusan kolektif MSG memasukkan Indonesia sebagai anggota. Toh pada 2013, sudah dibentuk perjanjian menghormati kedaulatan dan komitmen Indonesia membangun Papua.
Kendati begitu, benih-benih perjuangan warga Papua masih akan muncul. Dukungan terhadap ULMWP di Provinsi Papua maupun Papua Barat relatif besar.
Pada 26 Juni, yakni saat pengumuman bahwa Indonesia diterima sebagai anggota, ribuan orang di Timika bersorak menonton siaran langsung. Bukan karena faktor Indonesia, tapi justru karena ULMWP akhirnya diterima sebagai pengamat, sehingga wakil perjuangan Papua merdeka akan hadir rutin dalam MSG.
"Keputusan para pemimpin MSG telah menempatkan bangsa Papua dalam pengakuan sebuah bangsa dan rakyat yang ingin berdaulat di atas tanahnya sendiri," kata Sekjen ULMWP Oktovianus Mote.
Lebih dari itu, rezim Jakarta di era Presiden Joko Widodo punya tantangan berat untuk merebut simpati warga, yakni merealisasikan pemerataan ekonomi. Jumlah warga miskin di Provinsi Papua mencapai 31,5 persen, jauh di atas rata-rata nasional sebesar 11,4 persen.
Ini masih ditambah kekangan politik yang masih besar, yakni pembatasan jurnalis asing meliput wilayah Papua. Janji Presiden untuk melonggarkan aturan tentara itu belum terwujud sampai sekarang.
Kekerasan pun masih menghantui warga Papua yang kritis terhadap ketidakadilan ekonomi maupun politik di wilayahnya lewat berbagai aksi dan tindakan militer, seperti yang terjadi pada Jumat (3/7) kemarin 40 warga sipil di Kabupaten Fakfak ditangkap polisi karena akan menggelar ibadah doa dan syukur untuk hasil dari diterimanya ULMWP sebagai anggota MSG.
Sedangkan pelanggaran hak asasi di Papua masih mencolok dalam beberapa waktu terakhir, contohnya pembunuhan empat pelajar di Kabupaten Paniai oleh TNI dan Polri pada akhir 2014 belum tuntas sampai sekarang. Penembakan 9 pelajar di Kabupaten Dogiyai yang menewaskan satu orang baru-baru ini. Belum lagi nasib 60 tahanan politik Papua yang dibui pemerintah tanpa batas waktu karena mewacanakan kemerdekaan. [Merdeka/Papuanesia]