Masalah Papua Bukan Lagi Perkara 1 Juli dan 1 Desember
pada tanggal
Wednesday, 1 July 2015
KOTA JAYAPURA – Ketua Persekutuan Gereja Baptis di Tanah Papua (PGBP), Socrates Sofyan Yoman, mengatakan, aparat keamanan jangan membuat isu yang tidak masuk akal seperti isu kewaspadaan 1 Juli sebagai hari OPM.
Pasalnya, permasalahan Papua sekarang bukan lagi tanggal 1 Juli dan 1 Desember, karena sejak 26 Juni 2015 di Honiara, Kepulauan Salomon dalam pertemuan Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) Melanesia Spearhead Group (MSG) para petinggi negara Melanesia yakni Papua Niugini, Kepulauan Solomon, Kaledonia Baru, Vanuatu dan Fiji telah memutuskan bahwa bangsa Papua Barat diterima sebagai observer (peninjau) yang duduk setara dengan Indonesia.
Artinya, persoalan bangsa Papua Barat telah menjadi masalah kawasan regional dan tentu saja berdampak pada persoalan Internasional.
“Substansi masalah Papua bukan 1 Juli dan 1 Desember, tapi masalah pelanggaran HAM berat, ketidakadilan dan pemusnahan etnis Papua yang dilakukan negara. Pelaku pelanggaran HAM adalah aparat keamanan seperti contoh kasus terbaru pembunuhan 4 siswa pada 8 Desember 2014 lalu di Paniai,” ungkapnya, Senin, (29/6).
Dikatakan, aparat keamanan harus profesional karena era global sekarang keadaannya sudah berubah, jadi harus buang dan tinggalkan cara-cara lama yang sudah usang dan tidak relevan lagi. Coba sedikit kreatif dan inovatif dalam pendetakan-pendekatan di Papua.
Rakyat dan bangsa Papua terus ditindas selama ini tetapi mereka lebih kreatif dan inovatif dengan membentuk wadah persatuan yang sudah menjadi Observe dalam wadah MSG yaitu United Liberation Movement for West Papua (ULMWP). Jadi yang jelas dan pasti rakyat dan Bangsa Papua tidak bicara 1 Juli dan 1 Desember.
“Rakyat Papua mau berunding dengan Indonesia dalam kedudukan yang setara. Aparat keamanan harus stop sandiwara murahan dan komersialisasi isu-isu yang tidak bertanggungjawab yang menyengsarakan rakyat Papua,” tandasnya. [BintangPapua]
Pasalnya, permasalahan Papua sekarang bukan lagi tanggal 1 Juli dan 1 Desember, karena sejak 26 Juni 2015 di Honiara, Kepulauan Salomon dalam pertemuan Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) Melanesia Spearhead Group (MSG) para petinggi negara Melanesia yakni Papua Niugini, Kepulauan Solomon, Kaledonia Baru, Vanuatu dan Fiji telah memutuskan bahwa bangsa Papua Barat diterima sebagai observer (peninjau) yang duduk setara dengan Indonesia.
Artinya, persoalan bangsa Papua Barat telah menjadi masalah kawasan regional dan tentu saja berdampak pada persoalan Internasional.
“Substansi masalah Papua bukan 1 Juli dan 1 Desember, tapi masalah pelanggaran HAM berat, ketidakadilan dan pemusnahan etnis Papua yang dilakukan negara. Pelaku pelanggaran HAM adalah aparat keamanan seperti contoh kasus terbaru pembunuhan 4 siswa pada 8 Desember 2014 lalu di Paniai,” ungkapnya, Senin, (29/6).
Dikatakan, aparat keamanan harus profesional karena era global sekarang keadaannya sudah berubah, jadi harus buang dan tinggalkan cara-cara lama yang sudah usang dan tidak relevan lagi. Coba sedikit kreatif dan inovatif dalam pendetakan-pendekatan di Papua.
Rakyat dan bangsa Papua terus ditindas selama ini tetapi mereka lebih kreatif dan inovatif dengan membentuk wadah persatuan yang sudah menjadi Observe dalam wadah MSG yaitu United Liberation Movement for West Papua (ULMWP). Jadi yang jelas dan pasti rakyat dan Bangsa Papua tidak bicara 1 Juli dan 1 Desember.
“Rakyat Papua mau berunding dengan Indonesia dalam kedudukan yang setara. Aparat keamanan harus stop sandiwara murahan dan komersialisasi isu-isu yang tidak bertanggungjawab yang menyengsarakan rakyat Papua,” tandasnya. [BintangPapua]