Markus Haluk Desak Pemerintah Pusat dan PT Freeport Indonesia Libatkan Masyarakat Adat
pada tanggal
Sunday, 5 July 2015
JAKARTA - Pemerintah dan PT Freeport Indonesia harus melibatkan masyarakat adat Papua dalam pembahasan investasi. Masyarakat Papua harus mulai dipandang sebagai subjek atau pemilik hak atas tanah di wilayah operasi Freeport, bukan sekadar objek eksploitasi.
Demikian dikatakan tokoh Papua yang juga penulis buku Menggugat Freeport, Markus Haluk, kepada SH di Jakarta, Jumat (3/7). Markus menegaskan, Presiden Jokowi harus mendahulukan kepentingan rakyat Papua ketimbang kepentingan modal.
"Saya meminta pemerintah dan Freeport berhenti bernegosiasi soal investasi jika itu tidak melibatkan pemilik hak ulayat," ujar Markus.
Ia mengatakan, pemerintah jangan lagi mengulang pola perjanjian investasi dengan Freeport seperti yang terjadi tahun 1967 dan 1991. Masyarakat Papua tidak pernah dilibatkan dan diperhatikan. Pemerintah dan Freeport, kata Markus, harus sadar bahwa selama sekitar 40 tahun beroperasinya Freeport yang terjadi justru kehancuran masyarakat Papua dan sumber daya alamnya.
"Karena itu setop dulu pembicaraan investasi. Kita negosiasi dalam forum segitiga. Pemerintah, Freeport, dan masyarakat," ujarnya.
Ia mengungkapkan, forum segitiga itu harus membicarakan soal nasib rakyat Papua, khususnya masyarakat suku Amungme dan Kamoro yang hidup di sekitar tempat beroperasinya PT Freeport. "Apakah investasi itu akan menguntungkan buat masyarakat Papua atau malah menghancurkan?"
Ketua Umum Badan Pelayanan Pusat Gereja-gereja Baptis Papua, Socratez Sofyan Yoman, mengatakan hak ulayat harus diperhatikan. Pemerintah dan Freeport jangan mengabaikan masyarakat sebagai pemilik tanah.
Ia juga mengatakan harus ada kompensasi yang sesuai kepada masyarakat pemilik hak ulayat. "Selama ini kompensasi 1 persen tidak sesuai jika dibanding dengan nilai tambang yang sudah diambil," tuturnya.
Ia meminta investasi tidak terus-menerus mengorbankan orang Papua. Harus jelas dalam skema investasi, berapa yang didapat pemerintah, berapa yang didapat Freeport, dan juga masyarakat pemilik hak ulayat. Ia juga mengingatkan masyarakat pemilik hak ulayat beberapa waktu lalu sudah menulis surat kepada presiden melalui staf khususnya agar menuntut kompensasi Rp 97 triliun untuk masyarakat adat. "Saya sendiri yang mengantar surat itu, beberapa bulan lalu," katanya.
Seperti diketahui Presiden Joko Widodo melakukan pertemuan dengan PT Freeport Indonesia (PTFI), Kamis (2/7). Hasil pertemuan, PTFI sepakat menyiapkan investasi senilai US$ 18 miliar yang di antaranya US$ 2,5 miliar untuk smelter.
"Sisanya untuk pembangunan underground mining atau tambang bawah tanah, yang kalau segalanya lancar, pada September ini akan di-launching. Pertambangan bawah tanah di Papua akan menjadi tambang bawah tanah terbesar di dunia," kata Menteri ESDM Sudirman Said.
Menurut Sudirman, sesuatu yang merupakan pencapaian bersejarah karena lebih dari 95 persen pekerja di Papua itu adalah pekerja Indonesia. Selain itu, kata Sudirman Said, Moffer juga menyampaikan komitmen untuk terus berinvestasi dan menghargai kedaulatan hukum Indonesia.
"jadi, apa pun yang diatur pemerintah, PTFI akan mengikuti kemudian melaporkan berbagai pencapaian yang sudah dikerjakan," ujarnya.
Dalam pertemuan, Presiden Joko Widodo juga memberikan arahan beberapa hal. Pertama keberadaan PTFI harus lebih mempercepat proses pembangunan ekonomi di Papua dan juga di Indonesia.
"Ini sejalan dengan Keppres No 16 yang kemarin digulirkan, untuk melihat secara keseluruhan bagaimana progres dikaitkan dengan keberadaan perusahaan tambang dan perusahaan sumber daya mineral, seperti Freeport," tuturnya.
Lantas ditanya, apakah Presiden Jokowi mengindikasikan setuju perpanjangan kontrak Freeport? "Secara keseluruhan kan pesannya, kalau kita diskusi mengenai investasi, diskusi mengenai pembangunan smelter, listrik. Itu tidak mungkin ada pikiran untuk memutus kan, karena smelter, listrik, dan tambang bawah tanah hanya bisa terjadi kalau investasi masuk," ucap Sudirman Said. [SinarHarapan]
Demikian dikatakan tokoh Papua yang juga penulis buku Menggugat Freeport, Markus Haluk, kepada SH di Jakarta, Jumat (3/7). Markus menegaskan, Presiden Jokowi harus mendahulukan kepentingan rakyat Papua ketimbang kepentingan modal.
"Saya meminta pemerintah dan Freeport berhenti bernegosiasi soal investasi jika itu tidak melibatkan pemilik hak ulayat," ujar Markus.
Ia mengatakan, pemerintah jangan lagi mengulang pola perjanjian investasi dengan Freeport seperti yang terjadi tahun 1967 dan 1991. Masyarakat Papua tidak pernah dilibatkan dan diperhatikan. Pemerintah dan Freeport, kata Markus, harus sadar bahwa selama sekitar 40 tahun beroperasinya Freeport yang terjadi justru kehancuran masyarakat Papua dan sumber daya alamnya.
"Karena itu setop dulu pembicaraan investasi. Kita negosiasi dalam forum segitiga. Pemerintah, Freeport, dan masyarakat," ujarnya.
Ia mengungkapkan, forum segitiga itu harus membicarakan soal nasib rakyat Papua, khususnya masyarakat suku Amungme dan Kamoro yang hidup di sekitar tempat beroperasinya PT Freeport. "Apakah investasi itu akan menguntungkan buat masyarakat Papua atau malah menghancurkan?"
Ketua Umum Badan Pelayanan Pusat Gereja-gereja Baptis Papua, Socratez Sofyan Yoman, mengatakan hak ulayat harus diperhatikan. Pemerintah dan Freeport jangan mengabaikan masyarakat sebagai pemilik tanah.
Ia juga mengatakan harus ada kompensasi yang sesuai kepada masyarakat pemilik hak ulayat. "Selama ini kompensasi 1 persen tidak sesuai jika dibanding dengan nilai tambang yang sudah diambil," tuturnya.
Ia meminta investasi tidak terus-menerus mengorbankan orang Papua. Harus jelas dalam skema investasi, berapa yang didapat pemerintah, berapa yang didapat Freeport, dan juga masyarakat pemilik hak ulayat. Ia juga mengingatkan masyarakat pemilik hak ulayat beberapa waktu lalu sudah menulis surat kepada presiden melalui staf khususnya agar menuntut kompensasi Rp 97 triliun untuk masyarakat adat. "Saya sendiri yang mengantar surat itu, beberapa bulan lalu," katanya.
Seperti diketahui Presiden Joko Widodo melakukan pertemuan dengan PT Freeport Indonesia (PTFI), Kamis (2/7). Hasil pertemuan, PTFI sepakat menyiapkan investasi senilai US$ 18 miliar yang di antaranya US$ 2,5 miliar untuk smelter.
"Sisanya untuk pembangunan underground mining atau tambang bawah tanah, yang kalau segalanya lancar, pada September ini akan di-launching. Pertambangan bawah tanah di Papua akan menjadi tambang bawah tanah terbesar di dunia," kata Menteri ESDM Sudirman Said.
Menurut Sudirman, sesuatu yang merupakan pencapaian bersejarah karena lebih dari 95 persen pekerja di Papua itu adalah pekerja Indonesia. Selain itu, kata Sudirman Said, Moffer juga menyampaikan komitmen untuk terus berinvestasi dan menghargai kedaulatan hukum Indonesia.
"jadi, apa pun yang diatur pemerintah, PTFI akan mengikuti kemudian melaporkan berbagai pencapaian yang sudah dikerjakan," ujarnya.
Dalam pertemuan, Presiden Joko Widodo juga memberikan arahan beberapa hal. Pertama keberadaan PTFI harus lebih mempercepat proses pembangunan ekonomi di Papua dan juga di Indonesia.
"Ini sejalan dengan Keppres No 16 yang kemarin digulirkan, untuk melihat secara keseluruhan bagaimana progres dikaitkan dengan keberadaan perusahaan tambang dan perusahaan sumber daya mineral, seperti Freeport," tuturnya.
Lantas ditanya, apakah Presiden Jokowi mengindikasikan setuju perpanjangan kontrak Freeport? "Secara keseluruhan kan pesannya, kalau kita diskusi mengenai investasi, diskusi mengenai pembangunan smelter, listrik. Itu tidak mungkin ada pikiran untuk memutus kan, karena smelter, listrik, dan tambang bawah tanah hanya bisa terjadi kalau investasi masuk," ucap Sudirman Said. [SinarHarapan]