Majelis Ulama Indonesia (MUI) Papua Nilai Pengeras Suara Bukan Harga Mati
pada tanggal
Monday, 20 July 2015
KOTA JAYAPURA - Sekretaris Umum Majelis Ulama Indonesia (MUI) Papua, Faisal Saleh mengatakan permasalahan pengeras suara atau TOA bukan sesuatu harga mati bagi Ormas Islam yang ada sebenarnya ini masuk ranah besar kecil volume saja dan hal ini bisa dikomunikasikan setempat.
“Cuman menjadi persoalan eksistensi umat yang ada kemudian melakukan pelarangan adzan itu akan segera menjadi persoalan karena kalau kita melakukan analogi suara adzan merupakan isyarat waktu masuknya ibadah, sama seperti lonceng di gereja,” katanya kepada tabloidjubi.com pada Sabtu (18/7) malam.
Saleh juga meminta agar eksistensi adzan ini semua menjadi kesepahaman dari semua pihak, dan pihaknya juga telah membawa kesepahaman ini di ranah-ranah Forum Komunikasi Umat Beragama (FKUB) Papua bahkan sering telah diungkapkan kepada anggota FKUB.
“Kalau masalah volume itu bisa dikomunikasikan yang ada dan ini terus dibawa dalam FKUB Papua terkait penjelasan adanya adzan tersebut, dan mengawal kerukunan,” ujarnya.
Permasalahan inilah yang juga menjadi faktor utama kericuhan di Karubaga.
Seperti diketahui bersama kericuhan itu terjadi akibat kesalahpahaman antara umat muslim yang akan melaksanakan Salat Idul Fitri 1436 dilapangan Makoramil Karubaga dengan pemuda Gereja Injili di Indonesia (GIDI) yang sedang mengadakan seminar dan KKR selama seminggu.
Para pemuda menuntut agar kebijakan bersama umat beragama ditempat itu untuk tidak beribadah dengan menggunakan pengeras suara dapat dilaksanakan. Namun, penolakan untuk menaati kesepakatan oleh pihak muslim itu berujung pada hadangan aparat keamanan sehingga 9 orang pemuda GIDI tertembak. 1 diantaranya meninggal dunia.
Kecewa dengan sikap aparat yang represif, warga kemudian membakar puluhan kios dan perumahan milik warga pendatang baik Islam maupun Kristen di wilayah pasar Karubaga, api yang tidak dipadamkan oleh aparat itu meluber hingga ke mushola yang dibangun para pedagang [Jubi/Papuanesia]
“Cuman menjadi persoalan eksistensi umat yang ada kemudian melakukan pelarangan adzan itu akan segera menjadi persoalan karena kalau kita melakukan analogi suara adzan merupakan isyarat waktu masuknya ibadah, sama seperti lonceng di gereja,” katanya kepada tabloidjubi.com pada Sabtu (18/7) malam.
Saleh juga meminta agar eksistensi adzan ini semua menjadi kesepahaman dari semua pihak, dan pihaknya juga telah membawa kesepahaman ini di ranah-ranah Forum Komunikasi Umat Beragama (FKUB) Papua bahkan sering telah diungkapkan kepada anggota FKUB.
“Kalau masalah volume itu bisa dikomunikasikan yang ada dan ini terus dibawa dalam FKUB Papua terkait penjelasan adanya adzan tersebut, dan mengawal kerukunan,” ujarnya.
Permasalahan inilah yang juga menjadi faktor utama kericuhan di Karubaga.
Seperti diketahui bersama kericuhan itu terjadi akibat kesalahpahaman antara umat muslim yang akan melaksanakan Salat Idul Fitri 1436 dilapangan Makoramil Karubaga dengan pemuda Gereja Injili di Indonesia (GIDI) yang sedang mengadakan seminar dan KKR selama seminggu.
Para pemuda menuntut agar kebijakan bersama umat beragama ditempat itu untuk tidak beribadah dengan menggunakan pengeras suara dapat dilaksanakan. Namun, penolakan untuk menaati kesepakatan oleh pihak muslim itu berujung pada hadangan aparat keamanan sehingga 9 orang pemuda GIDI tertembak. 1 diantaranya meninggal dunia.
Kecewa dengan sikap aparat yang represif, warga kemudian membakar puluhan kios dan perumahan milik warga pendatang baik Islam maupun Kristen di wilayah pasar Karubaga, api yang tidak dipadamkan oleh aparat itu meluber hingga ke mushola yang dibangun para pedagang [Jubi/Papuanesia]