Lukas Enembe Minta Aparat Keamanan Berhenti Ciptakan Kondisi Rawan di Tanah Papua
pada tanggal
Wednesday, 8 July 2015
KOTA JAYAPURA - Gubernur Papua, Lukas Enembe meminta kepada institusi penegak hukum agar tidak memanfaatkan situasi dan kondisi Papua untuk mengelola isu serta menciptakan kerawanan di tanah Papua yang selama ini penuh kedamaian. Ia menegaskan situasi dan kondisi Provinsi Papua dan Provinsi Papua Barat akan selalu aman dan terkendali yang sama dengan daerah lain di Indonesia dari gangguan keamanan.
“Saya harap semua institusi penegak hukum di Papua bekerja dengan baik. Papua sama dengan daerah lain di Indonesia, jangan dijadikan tempat untuk mengelola isu dan menciptakan kerawanan, itu tidak boleh,” tegas Enembe, di Jayapura, Senin (6/7).
Lebih lanjut, tanah Papua harus dijadikan sama dengan Provinsi lain di Indonesia yang dalam situasi dan kondisi aman, tenang, damai dan tentram dalam melakukan pembangunan.
“Jangan Papua dijadikan untuk mengelola isu, cari jabatan dan sebagainya,” kembali tegas Gubernur.
Ia menjelaskannya bahwa saat ini di masyarakat yang hidup di wilayah pedalaman disekitar Kabupaten Paniai sudah tidak menetap dikampungnya. Sebab mereka merasa terancam dengan adanya aparat keamanan yang berlaku arogan.
Aksi arogansi yang mengakibatkan korban jiwa itu terjadi baik dalam situasi yang ditutupi dan skenariokan atau secara transparan. Sehingga ia mengharapkan agar aparat tak usah memakai cara-cara seperti itu, karena tuduhannya kalau tidak kelompok orang tak dikenal, pastilah TNI atau Polri.
“Tiga lembaga ini yang selalu menjadi tuduhan. Jadi lebih bagus dalam yang menjaga kedaulatan dan stabilitas keamanan tidak usah lagi dengan apapun skenarionya, atau cara apapun tidak usah, karena dampaknya pada isu internalisasi yang sedang terjadi,” ujarnya.
Untuk itu, Gubernur mengajak semua masyarakat Papua jangan persalahkan siapa siapa jika ada terjadi sesuatu, karena yang ciptakan hal itu adalah kita sendiri.
“Kemarin saya lihat TNI yang suplai senjata dan sudah dijatuhi hukuman. Itu saya pikir orang Papua, ternyata semuanya orang dari luar Papua. Jadi kita tidak boleh tuduh siapa pun, karena isu internalisasi terjadi karena kita yang bertugas di Papua salah langkah dan sebagainya,” ungkapnya.
Pengaruh Melanesiaphobia
Sebelumnya, pada awal Juni lalu, Komisi Nasional Hak Asasi Manusia Republik Indonesia (Komnas HAM RI) mengakui saat ini sudah berkembang pesat rasa takut berlebihan terhadap sesuatu yang berkaitan dengan rumpun bangsa Melanesia atau Melanesiaphobia di Papua. Kondisi ini adalah ancaman bagi eksistensi orang Melanesia di Papua dan Indonesia.
"Saya ingin menegaskan bahwa para kaum migran di Papua bersama-sama para aparat TNI dan Polri telah terbentuk karakter eksklusif dan diskriminatif yang cenderung tidak menyukai orang Melanesia (melanesiaphobia) dan inilah salah satu faktor kegagalan integrasi sosial di Papua," kata Komisioner Komisi Nasional Hak Asasi Manusia, Natalius Pigai pada Minggu (7/6).
Kata Natalius, Presiden Joko Widodo mau memberhentikan transmigrasi ke Papua sebagaimana dirilis sejumlah media hal ini dilakukan lantaran Sumber Daya Manusia (SDM) warga asli dinilai jauh tertinggal dari warga pendatang.
"Transmigrasi reguler di Papua telah dihentikan pada tahun 2000 atau 15 tahun yang lalu oleh Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi (Menakertrans) Alhilal Hamdi di mana saat itu saya menjadi staf khusus menteri. Pertimbangan pemberhentian transmigrasi reguler karena adanya penolakan yang kencang hampir seluruh Indonesia bahkan konflik berdarah di Sampit dan Sambas," kata Pigai dalam keterangan tertulis itu.
Lebih lanjut Pigai menjelaskan, bersamaan dengan itu di Papua juga terjadi Kasus Armofa Jayapura yang kejadiannya nyaris mengusir transmigran. Namun, pihaknya bisa atasi dengan baik atas perintah Presiden Gusdur, Menteri.
"Saya bekerja maksimal untuk eliminasi bias transmigrasi ini," kata dia.
"Pemberhentian transmigrasi reguler juga kita lakukan setelah kami melihat data migrasi dari 1971 sampai dengan tahun 2000, migrasi masuk (in migration) di Papua sebanyak 719.866 jiwa dan migrasi keluar (out migration) hanya 99.614 jiwa setelah diolah dengan sumber data BPS tahun 2000," kata Pigai dalam keterangan tertulisnya.
Kebijakan transmigrasi selanjutnya, kata dia, adalah kebijakan berbasis kerja sama antara daerah atau disebut (KSAD) berdasarkan permintaan dari daerah.
"Untuk Provinsi Papua terbentur dengan UU Nomor 21 tahun 2001 tentang Otonomi Khusus (Otsus) yang menyatakan bahwa kebijakan ketransmigrasian dilakukan berdasarkan Perdasus serta setelah penduduk Papua mencapai 25 juta jiwa," kata dia.
Dengan demikian, kata Pigai, jika Presiden berkeinginan memberhentikan transmigrasi secara keseluruhan maka sebaiknya dilakukan melalui pengaturan mobilitas penduduk baik berbasis kebijakan yang dilakukan oleh negara (forced migration) dan migrasi sirkular ke Papua yang justru menimbulkan problem demografis dan problem sosial yang serius di Papua.
Sembari menegaskan bahwa kaum migran di Papua bersama-sama para aparat TNI dan Polri telah terbentuk karakter eksklusif dan diskriminatif yang cenderung tidak menyukai orang melanesia di Indonesia yang terdiri dari suku-suku di Provinsi NTT, Maluku Utara, Maluku, Papua Barat dan Papua, terutama kepada masyarakat di Tanah Papua.
"Inilah salah satu faktor kegagalan integrasi sosial di Papua. Banyak contoh, salah satunya, sejumlah konflik antara pendatang dan orang Melanesia di Papua di belakangnya ada aparat keamanan," tegasnya. [Dharapos/MajalahSelangkah]
“Saya harap semua institusi penegak hukum di Papua bekerja dengan baik. Papua sama dengan daerah lain di Indonesia, jangan dijadikan tempat untuk mengelola isu dan menciptakan kerawanan, itu tidak boleh,” tegas Enembe, di Jayapura, Senin (6/7).
Lebih lanjut, tanah Papua harus dijadikan sama dengan Provinsi lain di Indonesia yang dalam situasi dan kondisi aman, tenang, damai dan tentram dalam melakukan pembangunan.
“Jangan Papua dijadikan untuk mengelola isu, cari jabatan dan sebagainya,” kembali tegas Gubernur.
Ia menjelaskannya bahwa saat ini di masyarakat yang hidup di wilayah pedalaman disekitar Kabupaten Paniai sudah tidak menetap dikampungnya. Sebab mereka merasa terancam dengan adanya aparat keamanan yang berlaku arogan.
Aksi arogansi yang mengakibatkan korban jiwa itu terjadi baik dalam situasi yang ditutupi dan skenariokan atau secara transparan. Sehingga ia mengharapkan agar aparat tak usah memakai cara-cara seperti itu, karena tuduhannya kalau tidak kelompok orang tak dikenal, pastilah TNI atau Polri.
“Tiga lembaga ini yang selalu menjadi tuduhan. Jadi lebih bagus dalam yang menjaga kedaulatan dan stabilitas keamanan tidak usah lagi dengan apapun skenarionya, atau cara apapun tidak usah, karena dampaknya pada isu internalisasi yang sedang terjadi,” ujarnya.
Untuk itu, Gubernur mengajak semua masyarakat Papua jangan persalahkan siapa siapa jika ada terjadi sesuatu, karena yang ciptakan hal itu adalah kita sendiri.
“Kemarin saya lihat TNI yang suplai senjata dan sudah dijatuhi hukuman. Itu saya pikir orang Papua, ternyata semuanya orang dari luar Papua. Jadi kita tidak boleh tuduh siapa pun, karena isu internalisasi terjadi karena kita yang bertugas di Papua salah langkah dan sebagainya,” ungkapnya.
Pengaruh Melanesiaphobia
Sebelumnya, pada awal Juni lalu, Komisi Nasional Hak Asasi Manusia Republik Indonesia (Komnas HAM RI) mengakui saat ini sudah berkembang pesat rasa takut berlebihan terhadap sesuatu yang berkaitan dengan rumpun bangsa Melanesia atau Melanesiaphobia di Papua. Kondisi ini adalah ancaman bagi eksistensi orang Melanesia di Papua dan Indonesia.
"Saya ingin menegaskan bahwa para kaum migran di Papua bersama-sama para aparat TNI dan Polri telah terbentuk karakter eksklusif dan diskriminatif yang cenderung tidak menyukai orang Melanesia (melanesiaphobia) dan inilah salah satu faktor kegagalan integrasi sosial di Papua," kata Komisioner Komisi Nasional Hak Asasi Manusia, Natalius Pigai pada Minggu (7/6).
Kata Natalius, Presiden Joko Widodo mau memberhentikan transmigrasi ke Papua sebagaimana dirilis sejumlah media hal ini dilakukan lantaran Sumber Daya Manusia (SDM) warga asli dinilai jauh tertinggal dari warga pendatang.
"Transmigrasi reguler di Papua telah dihentikan pada tahun 2000 atau 15 tahun yang lalu oleh Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi (Menakertrans) Alhilal Hamdi di mana saat itu saya menjadi staf khusus menteri. Pertimbangan pemberhentian transmigrasi reguler karena adanya penolakan yang kencang hampir seluruh Indonesia bahkan konflik berdarah di Sampit dan Sambas," kata Pigai dalam keterangan tertulis itu.
Lebih lanjut Pigai menjelaskan, bersamaan dengan itu di Papua juga terjadi Kasus Armofa Jayapura yang kejadiannya nyaris mengusir transmigran. Namun, pihaknya bisa atasi dengan baik atas perintah Presiden Gusdur, Menteri.
"Saya bekerja maksimal untuk eliminasi bias transmigrasi ini," kata dia.
"Pemberhentian transmigrasi reguler juga kita lakukan setelah kami melihat data migrasi dari 1971 sampai dengan tahun 2000, migrasi masuk (in migration) di Papua sebanyak 719.866 jiwa dan migrasi keluar (out migration) hanya 99.614 jiwa setelah diolah dengan sumber data BPS tahun 2000," kata Pigai dalam keterangan tertulisnya.
Kebijakan transmigrasi selanjutnya, kata dia, adalah kebijakan berbasis kerja sama antara daerah atau disebut (KSAD) berdasarkan permintaan dari daerah.
"Untuk Provinsi Papua terbentur dengan UU Nomor 21 tahun 2001 tentang Otonomi Khusus (Otsus) yang menyatakan bahwa kebijakan ketransmigrasian dilakukan berdasarkan Perdasus serta setelah penduduk Papua mencapai 25 juta jiwa," kata dia.
Dengan demikian, kata Pigai, jika Presiden berkeinginan memberhentikan transmigrasi secara keseluruhan maka sebaiknya dilakukan melalui pengaturan mobilitas penduduk baik berbasis kebijakan yang dilakukan oleh negara (forced migration) dan migrasi sirkular ke Papua yang justru menimbulkan problem demografis dan problem sosial yang serius di Papua.
Sembari menegaskan bahwa kaum migran di Papua bersama-sama para aparat TNI dan Polri telah terbentuk karakter eksklusif dan diskriminatif yang cenderung tidak menyukai orang melanesia di Indonesia yang terdiri dari suku-suku di Provinsi NTT, Maluku Utara, Maluku, Papua Barat dan Papua, terutama kepada masyarakat di Tanah Papua.
"Inilah salah satu faktor kegagalan integrasi sosial di Papua. Banyak contoh, salah satunya, sejumlah konflik antara pendatang dan orang Melanesia di Papua di belakangnya ada aparat keamanan," tegasnya. [Dharapos/MajalahSelangkah]