Lemasko Siap Kawal Pembangunan PLTU Mimika
pada tanggal
Thursday, 30 July 2015
TIMIKA (MIMIKA) – Terkait pembangunan Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) di Mimika, Lembaga Masyarakat Adat Suku Kamoro (Lemasko) menyatakan akan terus mengawal proses perundingan antara PT. Perusahaan Listrik Negara (PLN) Persero dengan masyarakat adat selaku pemilik tanah.
Ketua Lemasko, Robert Waropea menyatakan berdasarkan pertemua antara pihaknya dengan masyarakat, adat dan pemerintah Kabupaten Mimika, dijelakan bahwa rencana PLN untuk membangun PLTU di di Kampung Mware, Distrik Mimika Timur dan Kampung Pigapu, Distrik Iwaka dengan total luas 29 ribu hektar sangat didukung, dan pihaknya bersama pemilik tanah ulayat akan menyerahkan lahan tersebut.
Saat ini yang harus diperhatikan, menurut Robert adalah kompensasi kepada masyarakat adat saja atas penggunahan lahan tersebut.
Ia juga mengatakan, Lemasko akan mengawasi proses ini, hingga selanjutnya melihat dan memperhatikan dampak-dampak lain yang terjadi pada lingkungan dan masyarakat di sekitarnya. Sebab tanah tersebut bukanlah dijual, melainkan dipinjamkan penggunaanya kepada PLN guna kepentingan bersama.
“Pada prinsipnya masyarakat disana sudah siap menyerahkan itu, jadi tinggal bagamana PLN berikan kompensasi dan melihat dampak lingkungan. Nah, sisi itu akan dilihat oleh lembaga kami,” ujarnya di Timika, pada Kamis (26/6).
Dikatakan pembangunan pembangkit listrik ini terpisah dengan rencana pembangunan smelter yang selama ini direncanakan bersama oleh Pemerintah Provinsi Papua dan Kabupaten Mimika, tanpa melibatkan pihaknya .
“Pembangunan PLTU ini tidak diikutkan atau berkaitan dengan pembangunan smelter, pabrik semen dan pabrik pupuk. Sehingga kami respon cepat seperti saat ini,” ujar Robert.
Terkait pembebasan lahan dikatakan sudah ada komunikasi antara pihaknya dengan pemda, namun dikatakan bahwa hal itu harus melibatkan Badan Pertanahan Nasional (BPN) sehingga batas-batas penggunahan lahan dapat diketahui secara transparan. Sebab pembangunan ini dikerjakan oleh pihak PLN Pusat tanpa ada campur tangan dari pemkab Mimika.
Dikatakan masyarakat sangat terbuka dengan sikap yang dilakukan PLN sebab melihat dan melibatkan masyarakat sebagai pemilik sah dari lokasi tersebut, sehingga diharapkan usai persetujuan ini, konpensasi yang diberikan juga harus sesuai dengan kesepakatan.
“Lembaga kami sebagai payung yang melindungi semua pihak di tanah Mimika, melindungi hak dan kewajiban masyarakat adat termasuk dalam hal ini terhadap PLN,” ujarnya.
Terkait dampak lingkungan yang diterima oleh masyarakat 2 kampung tersebut, diantaranya lahan pohon sagu dan hutan mangrove. Pihaknya mengharapkan agar pihak PLN dapat menempatkan kepedulian lingkungan dengan meminimalisir dampak yang terjadi. Termasuk penyusuan rancangan utama dalam pembangunan sehingga tidak merusak lingkungan secara besar dengan tidak merusak tempat-tempat yang tidak boleh diganggu.
“Karena bukan kami saja yang melindungi hutan mangrove, tetapi negara dan dunia internasional juga,” terangnya.
Salah satu pengurus Lemasko, John Nakiaya menambahkan masalah hak ulayat tidak dapat dipungkiri sebab masyarakat adat bersama tatanannya sudah ada jauh sebelum kehadiran pemerintah. Sehingga ketika pembangunan seperti ini terjadi adalah wajib perusahaan itu berkomunikasi dengan pemilik ulayat.
“Jadi semua program pemerintah harus kami ingatkan lagi. Semua itu harus disampaikan dahulu ke masyarakat,” ujarnya.
Ia menegaskan, Pemerintah Provinsi dan Kabupaten tidak boleh semena-mena mengambil kebijakan sendiri seperti yang terjadi saat wacana pembangunan pabrik pengolahan dan pemurnian tembaga atau smelter yang ingin dibangun di wilayah Poumako, pada awal Januari 2015 lalu yang hingga kini masih tidak jelas kelanjutannya.
“Pemerintah tidak boleh mengabaikan masyarakat adat, kalau main tabrak saja seperti kemarin saat rencana pembangunan smelter itu. Pasti akan berhadapan dengan masyarakat dan lembaga adat,” tandas Nakiaya. [SalamPapua]
Ketua Lemasko, Robert Waropea menyatakan berdasarkan pertemua antara pihaknya dengan masyarakat, adat dan pemerintah Kabupaten Mimika, dijelakan bahwa rencana PLN untuk membangun PLTU di di Kampung Mware, Distrik Mimika Timur dan Kampung Pigapu, Distrik Iwaka dengan total luas 29 ribu hektar sangat didukung, dan pihaknya bersama pemilik tanah ulayat akan menyerahkan lahan tersebut.
Saat ini yang harus diperhatikan, menurut Robert adalah kompensasi kepada masyarakat adat saja atas penggunahan lahan tersebut.
Ia juga mengatakan, Lemasko akan mengawasi proses ini, hingga selanjutnya melihat dan memperhatikan dampak-dampak lain yang terjadi pada lingkungan dan masyarakat di sekitarnya. Sebab tanah tersebut bukanlah dijual, melainkan dipinjamkan penggunaanya kepada PLN guna kepentingan bersama.
“Pada prinsipnya masyarakat disana sudah siap menyerahkan itu, jadi tinggal bagamana PLN berikan kompensasi dan melihat dampak lingkungan. Nah, sisi itu akan dilihat oleh lembaga kami,” ujarnya di Timika, pada Kamis (26/6).
Dikatakan pembangunan pembangkit listrik ini terpisah dengan rencana pembangunan smelter yang selama ini direncanakan bersama oleh Pemerintah Provinsi Papua dan Kabupaten Mimika, tanpa melibatkan pihaknya .
“Pembangunan PLTU ini tidak diikutkan atau berkaitan dengan pembangunan smelter, pabrik semen dan pabrik pupuk. Sehingga kami respon cepat seperti saat ini,” ujar Robert.
Terkait pembebasan lahan dikatakan sudah ada komunikasi antara pihaknya dengan pemda, namun dikatakan bahwa hal itu harus melibatkan Badan Pertanahan Nasional (BPN) sehingga batas-batas penggunahan lahan dapat diketahui secara transparan. Sebab pembangunan ini dikerjakan oleh pihak PLN Pusat tanpa ada campur tangan dari pemkab Mimika.
Dikatakan masyarakat sangat terbuka dengan sikap yang dilakukan PLN sebab melihat dan melibatkan masyarakat sebagai pemilik sah dari lokasi tersebut, sehingga diharapkan usai persetujuan ini, konpensasi yang diberikan juga harus sesuai dengan kesepakatan.
“Lembaga kami sebagai payung yang melindungi semua pihak di tanah Mimika, melindungi hak dan kewajiban masyarakat adat termasuk dalam hal ini terhadap PLN,” ujarnya.
Terkait dampak lingkungan yang diterima oleh masyarakat 2 kampung tersebut, diantaranya lahan pohon sagu dan hutan mangrove. Pihaknya mengharapkan agar pihak PLN dapat menempatkan kepedulian lingkungan dengan meminimalisir dampak yang terjadi. Termasuk penyusuan rancangan utama dalam pembangunan sehingga tidak merusak lingkungan secara besar dengan tidak merusak tempat-tempat yang tidak boleh diganggu.
“Karena bukan kami saja yang melindungi hutan mangrove, tetapi negara dan dunia internasional juga,” terangnya.
Salah satu pengurus Lemasko, John Nakiaya menambahkan masalah hak ulayat tidak dapat dipungkiri sebab masyarakat adat bersama tatanannya sudah ada jauh sebelum kehadiran pemerintah. Sehingga ketika pembangunan seperti ini terjadi adalah wajib perusahaan itu berkomunikasi dengan pemilik ulayat.
“Jadi semua program pemerintah harus kami ingatkan lagi. Semua itu harus disampaikan dahulu ke masyarakat,” ujarnya.
Ia menegaskan, Pemerintah Provinsi dan Kabupaten tidak boleh semena-mena mengambil kebijakan sendiri seperti yang terjadi saat wacana pembangunan pabrik pengolahan dan pemurnian tembaga atau smelter yang ingin dibangun di wilayah Poumako, pada awal Januari 2015 lalu yang hingga kini masih tidak jelas kelanjutannya.
“Pemerintah tidak boleh mengabaikan masyarakat adat, kalau main tabrak saja seperti kemarin saat rencana pembangunan smelter itu. Pasti akan berhadapan dengan masyarakat dan lembaga adat,” tandas Nakiaya. [SalamPapua]