Komnas HAM Nilai Orang Papua Tidak Pernah Membakar Tempat Ibadah
pada tanggal
Sunday, 19 July 2015
JAKARTA - Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) menyayangkan aksi pembakaran masjid yang terjadi di Karubaga, Tolikara pada Jumat (17/7). Komisioner Komnas HAM, Natalius Pigay mendesak pengusutan tuntas atas peristiwa tersebut.
Natalius mengaku sudah meminta penjelasan dari warga sekitar untuk mengetahui duduk perkara. Dikatakan olehnya, peristiwa pembakaran masjid tersebut jauh dari konflik keagamaan. Apalagi kebencian terhadap Islam.
"Ini bukan karena ketidaksukaan terhadap saudara-saudara kita yang Islam. Orang di sana (Papua) nggak pernah masalah dengan agama-agama lain," ungkap Natalius, saat dihubungi, Jumat (17/7).
Namun, dia menjelaskan, pembakaran tersebut buntut reaksi masyarakat mayoritas atas kegagapan Kepolisian dan pemerintah setempat soal aktivitas keagamaan lokal.
Natalius menerangkan, pembakaran masjid berawal dari peristiwa sepekan lalu. Kata dia, sejumlah jemaat Gereja Injili di Indonesia (GIDI) melayangkan surat himbauan, isinya berupa pemberitahuan, bahwa pada 13 sampai 17 Juli akan dilaksanakan suatu gelaran keagamaan para jemaat di wilayah tersebut.
Kegiatan jemaat itu mengingatkan larangan agar seluruh kegiatan keagamaan lain, yaitu Islam dan juga Kristen tak membuat kebisingan dan mengusik ketentraman. Jemaat meminta agar gereja dan masjid tak menggunakan pengeras suara dalam peribadatannya. Permintaan tersebut dimintakan jemaat Gereja Gidi dengan tertulis ke semua gereja dan masjid.
Surat permintaan tersebut, kata Natalius, ditebuskan ke pihak kepolisian dan pemerintah setempat. Akan tetapi kepolisian dan pemerintah setempat tak mengantisipasi kegiataan keagamaan Gereja Gidi yang bertepatan dengan perayaan Idul Fitri bagi umat Islam.
Pada akhirnya, sejumlah kelompok pemuda dari Gereja Gidi melakukan protes ketika gema takbir Idul Fitri berkumandang dari masjid di perkampungan Karubaga, Kabupaten Tolikara. Jemaat Gereja Gidi hendak menyampaikan protes, agar peribadatan umat Islam ketika itu tak menggunakan pengeras suara.
Umat Islam ketika itu hendak mendirikan shalat Ied. Namun, aksi protes jemaat Gereja Gidi dihalau oleh kepolisian yang berjaga di sekitar masjid. Halaun aparat keamanan membuat aksi jemaat Gereja nekat. Sasaran kemarahan sebenarnya ialah aparat kepolisian yang berjaga-jaga di masjid.
Kemarahan tersebut direspon dengan tembakan. Diungkapkan Natalius, ada 11 jemaat Gereja Gidi ditembak peluru tajam karena hendak protes. Sampai sekarang, kesebelas pemuda itu masih dirawat. Penembakan tersebut dinilai Natalius semakin memicu amarah jemaat Gereja Gidi. "Terjadilah pembakaran itu. Karena polisi melarang protes di masjid," terang Natalius.
Natalius mengatakan, Komnas HAM menyesalkan tindakan pembakaran masjid tersebut. Namun, rangkaian peristiwa tersebut juga harus disidik dari muasalnya. Sebab, dia yakin tidak adanya kebencian masyarakat Papua terhadap agama Islam. "Tentu kita semua sangat menyesal. Kepolisian harus mengusut semua rangkaian peristiwa itu. Mulai dari pelarangan ibadahnya, penembakan, dan pembakarannya (masjid)," ujar dia. [Republika]