Koalisi Keadilan untuk Pengungkapan Kebenaran (KKPK) dan Pemkab Jayapura Luncurkan Buku 'Menemukan Kembali Indonesia'
pada tanggal
Monday, 27 July 2015
SENTANI (JAYAPURA) – Koalisi Keadilan untuk Pengungkapan Kebenaran (KKPK) dan Pemerintah Kabupaten Jayapura melakukan peluncuran dan diskusi buku berjudul ‘Menemukan Kembali Indonesia’, hasil dokumentasi 1300 kasus pelanggaran HAM yang terjadi di Indonesia antara tahun 1965 dan 2005 di aula Kantor Bupati Jayapura, Jumat ( 29/5).
Sebagai salah satu dari 50 lembaga swadaya masyarakat (LSM) yang tergabung dalam KKPK, Direktur ELSHAM Papua, Fery Marisan menyampaiakan penghargaan sebesar besarnya kepada Bupati Jayapura yang bersedia memfasilitasi peluncuran buku ini di Kabupaten Jayapura.
“Alasan kami melakukan peluncuran di Kabupaten Jayapura, sebab kabupaten ini terdapat korban-korban pelanggaran HAM yang terdapat di laporan ini, seperti juga di Biak, Manokwari dan Sorong,” ujar Fery Marisan.
Menurut Marisan, harapannya, semua pemerintah kota dan kabupaten mau berperan serta dalam upaya pendampingan dan rehabilitasi korban pelanggaan HAM, sebab sampai saat ini tidak banyak pemerintah daerah yang bekerja sama dengan LSM untuk membantu korban-korban pelanggaran HAM.
“Bicara HAM seperti alergi, padahal negara Indonesia memiliki RAN HAM (Rencana Aksi Nasional Hak Asasi Manusia-red) yang membutuhkan peran pemerintah daerah dalam pelaksanaannya,” ujar Marisan.
Hal ini penting yang dapat dilakukan Pemkab Jayapura, kata Marisan adalah memberikan pelayanan, pelatihan dan rehabilitasi terhadap korban pelanggaran HAM di daerahnya.
“Kami berharap dalam pertemuan ini, ada rekomendasi untuk memberikan rasa keadilan, dan rehablitasi bagi korban-korban pelanggaran HAM di wilayah ini,” ujar Marisan.
Sekda Kabupaten Jayapura, Yerri Dien sebagai key note speaker dalam acara ini sangat berterima kasih kepada masyarakat sipil yang sudah merekam, mendokumentasikan dan menyajikan buku ‘Menemukan Kembali Iindonesia.
Menurutnya, buku ini merupakan upaya menyajikan keadilan dan kebenaran di Papua dan upaya bersama melawan kekerasan terhadap perempuan dan sesama, kekerasan terhadap pelangaran HAM.
“Hasil ini sejalan dengan nawacita keempat presiden. Selama ini, kebijakan-kebijakan Pemkab Jayapura, tidak lepas dari memberi ruang seluas luasnya kepada masyarakat adat untuk membangun sesuai dengan kearifan lokal, memberikan kesempatan pendidikan kepada semua orang seperti moto Jayapura ‘Menuju Jayapura Cerdas’, dan mewujudkan pemerintahan yang baik dan demokratis,” ujar Sekda
Di tempat yang sama, Indri Fernida Alphasony, dari KKPK, yang juga sebagai pembicara dalam acara ini menjelaskan, buku ini menyimpulkan enam pola kekerasan pada empat dasawarsa ini, yakni pembasmian, kekerasan dalam perampasan sumber daya alam, penyeragaman dan pengendalian, kekerasan antar warga, kekerasan terhadap perempuan dan kebuntuan hukum.
Di Papua yang terjadi adalah pembasmian, artinya pembunuhan dalam skala besar, secara langsung maupun dengan menciptakan kondisi kehidupan yang mengakibatkan kematian.
“Kami melihat ada ruang yang hilang bagi korban. Mereka sudah berkali kali melapor tapi tidak mendapatkan keadilan. Dari beberapa catatan, ternyata banyak korban dari Papua, Aceh dan Timor Leste yang menjelaskan adanya pembunuhan skala besar karena ideologi yang berbeda,” jelas Indri.
Menurut Indri, perseteruan perang dingin dan dekolonisasi menjadi sumber, sehingga kekerasan terus terjadi. “Nyawa yang sangat murah di indonesia itu di Papua. Aparat bisa dengan mudah menghilangkan nyawa masyarakat Papua,” katanya.
Pembicara lainnya, Ketua Sinode GKI di Tanah Papua, Albert Yokud setelah membaca buku ini berkesimpulan, Papua sedang terpuruk dalam persoalan HAM. Ia berharap data yang autentik ini seharusnya menjadi dasar semua pemimpin untuk bersam-sama memerangi kekejian, kekejaman dan tindakan tak berperikemanusiaan.
Yoku mengingatkan, suatu bangsa memiliki tiga komponen yang tidak bisa dipisahkan, penduduk, wilayah dan pemimpin yang mengatur bangsa ini. Pemimpin kini sudah tidak melayani rakyatnya. Kalau pun ada hanya sedikit.
“Dari buku ini, saya berharap ada perkembangan lanjut, ada refleksi yang betul betul tajam yang akan memperbaiki kebangsaan, kenegaraan. Sebab dimana pun ada bangsa, hal seperti ini pasti ada. Pemimpin harus memimpin rakyat, bukan menyengsarakan rakyat,” pinta Pendeta Yoku.
Dalam kasus pelanggaran HAM di Papua, Yoku berpendapat selama ini pendampingan korban adalah hal yang masih kurang. “Mari kita pisahkan masalah HAM dari perjuangan politik. Politik punya jalan sendiri, tapi HAM harus jadi tanggu jawab kira bersama,” ajak Yoku.
Mariones Yarona, salah satu korban pelanggaran HAM di Kota Jayapura pada tahun 1980, merasa tidak diperhatikan selama ini. Buat dia, jika pemerintah dapat memperhatikan pendidikan dan masa depan anak anaknya, hal itu dapat memberikan sedikit rasa keadilan baginya.
“Saya di penjara hampir empat tahun tanpa proses keadilan yang adil. Tapi itu terjadi saat saya masih nona. Kini, saya hanya ingin anak-anak saya tidak merasa sakit hati seperti saya, pemerintah harus perhatikan mereka,” kata Yarona.
Mengenai perhatian pemerintah, ketua Sinode Kingmi di Tanah Papua, Dr. Benny Giay mengingatkan kepada pemimpin daerah di Papua, bahwa dana otsus dikucurkan ke Papua karena adanya pelanggaran HAM di Papua.
“Tolong perhatikan korban-korban ini punya kesejahteraan. Karena uang yang banyak banyak datang ini karena ada korban ini. Jadi tolong mereka,” ujar Giay yang juga pembicara dalam diskusi ini. [Jubi]
Sebagai salah satu dari 50 lembaga swadaya masyarakat (LSM) yang tergabung dalam KKPK, Direktur ELSHAM Papua, Fery Marisan menyampaiakan penghargaan sebesar besarnya kepada Bupati Jayapura yang bersedia memfasilitasi peluncuran buku ini di Kabupaten Jayapura.
“Alasan kami melakukan peluncuran di Kabupaten Jayapura, sebab kabupaten ini terdapat korban-korban pelanggaran HAM yang terdapat di laporan ini, seperti juga di Biak, Manokwari dan Sorong,” ujar Fery Marisan.
Menurut Marisan, harapannya, semua pemerintah kota dan kabupaten mau berperan serta dalam upaya pendampingan dan rehabilitasi korban pelanggaan HAM, sebab sampai saat ini tidak banyak pemerintah daerah yang bekerja sama dengan LSM untuk membantu korban-korban pelanggaran HAM.
“Bicara HAM seperti alergi, padahal negara Indonesia memiliki RAN HAM (Rencana Aksi Nasional Hak Asasi Manusia-red) yang membutuhkan peran pemerintah daerah dalam pelaksanaannya,” ujar Marisan.
Hal ini penting yang dapat dilakukan Pemkab Jayapura, kata Marisan adalah memberikan pelayanan, pelatihan dan rehabilitasi terhadap korban pelanggaran HAM di daerahnya.
“Kami berharap dalam pertemuan ini, ada rekomendasi untuk memberikan rasa keadilan, dan rehablitasi bagi korban-korban pelanggaran HAM di wilayah ini,” ujar Marisan.
Sekda Kabupaten Jayapura, Yerri Dien sebagai key note speaker dalam acara ini sangat berterima kasih kepada masyarakat sipil yang sudah merekam, mendokumentasikan dan menyajikan buku ‘Menemukan Kembali Iindonesia.
Menurutnya, buku ini merupakan upaya menyajikan keadilan dan kebenaran di Papua dan upaya bersama melawan kekerasan terhadap perempuan dan sesama, kekerasan terhadap pelangaran HAM.
“Hasil ini sejalan dengan nawacita keempat presiden. Selama ini, kebijakan-kebijakan Pemkab Jayapura, tidak lepas dari memberi ruang seluas luasnya kepada masyarakat adat untuk membangun sesuai dengan kearifan lokal, memberikan kesempatan pendidikan kepada semua orang seperti moto Jayapura ‘Menuju Jayapura Cerdas’, dan mewujudkan pemerintahan yang baik dan demokratis,” ujar Sekda
Di tempat yang sama, Indri Fernida Alphasony, dari KKPK, yang juga sebagai pembicara dalam acara ini menjelaskan, buku ini menyimpulkan enam pola kekerasan pada empat dasawarsa ini, yakni pembasmian, kekerasan dalam perampasan sumber daya alam, penyeragaman dan pengendalian, kekerasan antar warga, kekerasan terhadap perempuan dan kebuntuan hukum.
Di Papua yang terjadi adalah pembasmian, artinya pembunuhan dalam skala besar, secara langsung maupun dengan menciptakan kondisi kehidupan yang mengakibatkan kematian.
“Kami melihat ada ruang yang hilang bagi korban. Mereka sudah berkali kali melapor tapi tidak mendapatkan keadilan. Dari beberapa catatan, ternyata banyak korban dari Papua, Aceh dan Timor Leste yang menjelaskan adanya pembunuhan skala besar karena ideologi yang berbeda,” jelas Indri.
Menurut Indri, perseteruan perang dingin dan dekolonisasi menjadi sumber, sehingga kekerasan terus terjadi. “Nyawa yang sangat murah di indonesia itu di Papua. Aparat bisa dengan mudah menghilangkan nyawa masyarakat Papua,” katanya.
Pembicara lainnya, Ketua Sinode GKI di Tanah Papua, Albert Yokud setelah membaca buku ini berkesimpulan, Papua sedang terpuruk dalam persoalan HAM. Ia berharap data yang autentik ini seharusnya menjadi dasar semua pemimpin untuk bersam-sama memerangi kekejian, kekejaman dan tindakan tak berperikemanusiaan.
Yoku mengingatkan, suatu bangsa memiliki tiga komponen yang tidak bisa dipisahkan, penduduk, wilayah dan pemimpin yang mengatur bangsa ini. Pemimpin kini sudah tidak melayani rakyatnya. Kalau pun ada hanya sedikit.
“Dari buku ini, saya berharap ada perkembangan lanjut, ada refleksi yang betul betul tajam yang akan memperbaiki kebangsaan, kenegaraan. Sebab dimana pun ada bangsa, hal seperti ini pasti ada. Pemimpin harus memimpin rakyat, bukan menyengsarakan rakyat,” pinta Pendeta Yoku.
Dalam kasus pelanggaran HAM di Papua, Yoku berpendapat selama ini pendampingan korban adalah hal yang masih kurang. “Mari kita pisahkan masalah HAM dari perjuangan politik. Politik punya jalan sendiri, tapi HAM harus jadi tanggu jawab kira bersama,” ajak Yoku.
Mariones Yarona, salah satu korban pelanggaran HAM di Kota Jayapura pada tahun 1980, merasa tidak diperhatikan selama ini. Buat dia, jika pemerintah dapat memperhatikan pendidikan dan masa depan anak anaknya, hal itu dapat memberikan sedikit rasa keadilan baginya.
“Saya di penjara hampir empat tahun tanpa proses keadilan yang adil. Tapi itu terjadi saat saya masih nona. Kini, saya hanya ingin anak-anak saya tidak merasa sakit hati seperti saya, pemerintah harus perhatikan mereka,” kata Yarona.
Mengenai perhatian pemerintah, ketua Sinode Kingmi di Tanah Papua, Dr. Benny Giay mengingatkan kepada pemimpin daerah di Papua, bahwa dana otsus dikucurkan ke Papua karena adanya pelanggaran HAM di Papua.
“Tolong perhatikan korban-korban ini punya kesejahteraan. Karena uang yang banyak banyak datang ini karena ada korban ini. Jadi tolong mereka,” ujar Giay yang juga pembicara dalam diskusi ini. [Jubi]