Kisah Baitul Muttaqim, Mushola Tanpa Ijin yang Terbakar pada Kericuhan di Karubaga
pada tanggal
Monday, 27 July 2015
KARUBAGA (TOLIKARA)- Garis polisi warna kuning melilit satu bangunan yang letaknya berseberangan dengan lapangan markas Koramil 1702-11 Karubaga, Kabupaten Tolikara. Sementara bangunan kios yang jumlahnya puluhan tanpa garis polisi.
Papan nama yang tergeletak di lantai bangunan yang dililit garis polisi itu memberi petunjuk bahwa bangunan itu sebelumnya berfungsi sebagai tempat ibadah umat muslim di Tolikara. Papan itu bertuliskan Masjid Baitul Muttaqim, Jalan Irian No.01 Kec. Karubaga Kab Tolikara.
Menurut Ustad Ali Mukhtar, mushola itu memang dibangun tanpa sepengetahuan dan seizin dari pemerintah setempat dan masyarakat Tolikara. Selama ini Pengurus Gereja Injili di Indonesia (GIDI) melarang rumah ibadah apa pun didirikan tanpa seizin tokoh-tokoh masyarakat Tolikara.
Menurut Ustad Ali, satu musala berdiri tahun 1987. Masyarakat bekerja sama mendanai pendirian musala. Ukuran musala 5 x 5 meter persegi. Jumlah umat muslim yang terus bertambah membuat mushola diperbesar menjadi berukuran 11 x 11 meter persegi dan berdempetan dengan kios milik warga. Mushola lantas berubah jadi masjid. Namun tidak ada yang melarang atau mendesak mushola atau masjid ditutup.
“Kami di sini tidak pernah dilarang atau suruh bongkar karena itu sudah lama. DPRD di sini bilang silakan lanjut karena sudah berdiri lama,” kata Ali.
Seingat Ali, ia hanya pernah ditemui 32 orang yang terdiri dari tokoh agama Kristen Tolikara, mahasiswa, tokoh adat, dan pemimpin daerah setempat. Mereka, ujarnya, meminta umat muslim yang akan merayakan hari besar keagamaannya untuk mengajukan izin terlebih dahulu.
Warga muslim di Tolikara umumnya pendatang yang berasal dari Sulawesi Selatan, Pulau Jawa, dan Sumatera. Bupati Tolikara Usman G. Wanimbo membenarkan pendirian musala yang kemudian berubah jadi masjid itu tanpa ada izin dari tokoh dan warga setempat. Tolikara merupakan wilayah yang semua penduduk aslinya merupakan anggota GIDI.
Ketiadaan izin itu tidak dipersoalkan GIDI maupun pemda setempat selama ini hingga terjadi rusuh pada Jumat pekan lalu. Kala itu terjadi pembakaran puluhan kios dan musala.
“Saya baru tahu itu masjid. Selama ini yang saya tahu musala,” ujarnya kepada Tempo di rumah dinasnya, Jumat (24/7) pagi.
Di pemberitaaan media nasional, ada yang menyebut musala dan ada yang menyebut masjid. Di papan nama itu tidak tertulis musala, melainkan masjid. Letak masjid ini berdempetan dengan kios dan tanpa kubah.
Bupati Usman menyebut jumlah umat muslim di Tolikara berkisar 200 orang. Sebagian besar mereka di Tolikara sebagai pedagang.
“Mereka datang dan tinggal di Wamena dan punya toko di sini,” katanya.
Mushola itu terbakar pada kericuhan pada hari Jumat (17/7) lalu yang diawali dengan kesalahpahaman antara umat muslim yang akan melaksanakan Salat Idul Fitri 1436 dilapangan Makoramil Karubaga dengan pemuda GIDI yang sedang mengadakan seminar dan KKR selama seminggu.
Para pemuda menuntut agar kebijakan bersama umat beragama ditempat itu untuk tidak beribadah dengan menggunakan toa dapat dilaksanakan.
Namun, penolakan untuk menaati kesepakatan oleh pihak muslim itu berujung pada hadangan aparat keamanan yang melakukan penembakan kepada para pemuda GIDI sehingga 12 orang pemuda tertembak. 1 diantaranya meninggal dunia.
Kecewa dengan sikap aparat yang represif, warga kemudian membakar puluhan kios dan perumahan milik warga pendatang baik Islam maupun Kristen di wilayah pasar Karubaga, api yang tidak dipadamkan oleh aparat itu meluber hingga ke mushola. [Tempo/Papuanesia]
Papan nama yang tergeletak di lantai bangunan yang dililit garis polisi itu memberi petunjuk bahwa bangunan itu sebelumnya berfungsi sebagai tempat ibadah umat muslim di Tolikara. Papan itu bertuliskan Masjid Baitul Muttaqim, Jalan Irian No.01 Kec. Karubaga Kab Tolikara.
Menurut Ustad Ali Mukhtar, mushola itu memang dibangun tanpa sepengetahuan dan seizin dari pemerintah setempat dan masyarakat Tolikara. Selama ini Pengurus Gereja Injili di Indonesia (GIDI) melarang rumah ibadah apa pun didirikan tanpa seizin tokoh-tokoh masyarakat Tolikara.
Menurut Ustad Ali, satu musala berdiri tahun 1987. Masyarakat bekerja sama mendanai pendirian musala. Ukuran musala 5 x 5 meter persegi. Jumlah umat muslim yang terus bertambah membuat mushola diperbesar menjadi berukuran 11 x 11 meter persegi dan berdempetan dengan kios milik warga. Mushola lantas berubah jadi masjid. Namun tidak ada yang melarang atau mendesak mushola atau masjid ditutup.
“Kami di sini tidak pernah dilarang atau suruh bongkar karena itu sudah lama. DPRD di sini bilang silakan lanjut karena sudah berdiri lama,” kata Ali.
Seingat Ali, ia hanya pernah ditemui 32 orang yang terdiri dari tokoh agama Kristen Tolikara, mahasiswa, tokoh adat, dan pemimpin daerah setempat. Mereka, ujarnya, meminta umat muslim yang akan merayakan hari besar keagamaannya untuk mengajukan izin terlebih dahulu.
Warga muslim di Tolikara umumnya pendatang yang berasal dari Sulawesi Selatan, Pulau Jawa, dan Sumatera. Bupati Tolikara Usman G. Wanimbo membenarkan pendirian musala yang kemudian berubah jadi masjid itu tanpa ada izin dari tokoh dan warga setempat. Tolikara merupakan wilayah yang semua penduduk aslinya merupakan anggota GIDI.
Ketiadaan izin itu tidak dipersoalkan GIDI maupun pemda setempat selama ini hingga terjadi rusuh pada Jumat pekan lalu. Kala itu terjadi pembakaran puluhan kios dan musala.
“Saya baru tahu itu masjid. Selama ini yang saya tahu musala,” ujarnya kepada Tempo di rumah dinasnya, Jumat (24/7) pagi.
Di pemberitaaan media nasional, ada yang menyebut musala dan ada yang menyebut masjid. Di papan nama itu tidak tertulis musala, melainkan masjid. Letak masjid ini berdempetan dengan kios dan tanpa kubah.
Bupati Usman menyebut jumlah umat muslim di Tolikara berkisar 200 orang. Sebagian besar mereka di Tolikara sebagai pedagang.
“Mereka datang dan tinggal di Wamena dan punya toko di sini,” katanya.
Mushola itu terbakar pada kericuhan pada hari Jumat (17/7) lalu yang diawali dengan kesalahpahaman antara umat muslim yang akan melaksanakan Salat Idul Fitri 1436 dilapangan Makoramil Karubaga dengan pemuda GIDI yang sedang mengadakan seminar dan KKR selama seminggu.
Para pemuda menuntut agar kebijakan bersama umat beragama ditempat itu untuk tidak beribadah dengan menggunakan toa dapat dilaksanakan.
Namun, penolakan untuk menaati kesepakatan oleh pihak muslim itu berujung pada hadangan aparat keamanan yang melakukan penembakan kepada para pemuda GIDI sehingga 12 orang pemuda tertembak. 1 diantaranya meninggal dunia.
Kecewa dengan sikap aparat yang represif, warga kemudian membakar puluhan kios dan perumahan milik warga pendatang baik Islam maupun Kristen di wilayah pasar Karubaga, api yang tidak dipadamkan oleh aparat itu meluber hingga ke mushola. [Tempo/Papuanesia]