Jusuf Kalla Minta Kericuhan di Karubaga harus Diselesaikan secara Hukum
pada tanggal
Sunday, 26 July 2015
MAKASSAR - Wakil Presiden HM Jusuf Kalla menegaskan persoalan pembakaran rumah ibadah Musala Baitul Muttaqirumah dan Kios di Karubaga, Kabupaten Tolikara, saat pelaksanaan salat Idul Fitri harus diselesaikan secara hukum.
"Tentunya aparat hukum harus menyelesaikan tindakan anarkis itu dan harus diselesikan secara hukum," tegas JK disela open house di kediaman pribadinya jalan Haji Bau, Makassar, Sulawesi Selatan, Minggu (19/7).
Ketua Dewan Masjid Indonesia ini mengatakan kapolri sedang berada di Papua untuk menyelesaikan persoalan tersebut, dan berdasarkan laporan yang diterima keadaan sudah tenang disana.
"Memang di sana sudah tenang, sebagai aparat hukum tindakan anarkis tersebut harus diselesaikan secara hukum, karena saat ini polisi dan aparat keamanan dari TNI, Kodim harus menyelesaikan masalah itu," paparnya.
Kendati adanya dugaan pemicu terjadinya pembakaran mushallah tersebut yakni suara keras takbir lebaran yang keluar dari speaker sehingga memancing reaksi umat kristiani yang juga akan menggelar kegiatan keagamaan melakukan tindakan anarkis, kata dia, polisi masih menyelidiki.
"Tidak, begini disana ada Perda (Peraturan Daerah) yang mengatakan bahwa rumah ibadah tidak boleh memakai speaker keluar, katanya ini perda. Nah mereka kan muslim mendapat izin untuk lebaran Idul Fitri dan itu sudah biasa setiap tahun tidak jadi soal," sebutnya.
Karena ada acara bersamaan di gereja, lanjut JK, mereka mendesak agar perda itu diberlakukan jangan di besarkan. Berawal dari persoalan speaker, tapi kemudian berkembang menjadi tindakan anarkis seperti itu.
Mengenai dengan tindakan aparat keamanan yang membubarkan aksi tersebut sehingga akan meluas, Ketua PMI Pusat ini membantah tidak ada kekerasan yang dilakukan kepada jamaah yang melakukan aksi penyerangan.
"Polisi dan Kodim, menurut laporan itu mendorong mereka keluar dari jamaah, supaya tidak terjadi bentrok, kerena berdekatan dengan kios di luar Kodim, Koramil, terjadilah pembakaran itu dan pastinya ini melanggar hukum," ucap dia.
Terkait dengan adanya surat edaran atau pemberitahuan yang dilayangkan Jemaat Gereja Gidi isinya berupa pada 13-17 Juli 2015 akan dilaksanakan suatu gelaran keagamaan para jemaat di wilayah tersebut, kata JK, sudah membacanya, namun terlihat ganjil.
"Saya meminta polisi untuk mengecek kebenaran surat edaran, apa benar ada surat seperti itu, karena agak aneh suratnya. Dan untuk diketahui pemerintah setempat dan polisi tidak menganggap surat itu diberlakukan, tetapi tetap memberi izin untuk melaksanakan ibadah," ungkapnya.
Menurut dia, tidak mungkin satu organisasi melarang orang melakukan ibadah dan bila bertentangan dengan aturan pemerintah jelas itu melanggar hukum.
"Boleh saja siapa orang mau ngomong apa, tetapi hukum yang lebih tinggi dari pada itu. Tidak boleh surat pemberitahuan itu berlaku, karenanya, jangan lupa pemerintah daerah tidak boleh melarang Idul Fitri itu, tetap harus diizinkan," katanya kembali menegaskan.
JK menyebut dengan alasan speaker tersebut sebagai awal pemicunya terjadi pembakaran, namun bukan itu persoalan utamanya karena semua agama diberikan izin kebebasan melaksanakan ibadahnya.
"Pemerintah daerah akan membangun kembali kios termasuk musalanya. Kita juga akan membantu korban-korban baik itu diberikan modal usaha baru dan sebagainya," tambahnya.
Seperti diketahui bersama kericuhan di Karubaga sendiri terjadi akibat kesalahpahaman antara umat muslim yang akan melaksanakan Salat Idul Fitri 1436 dilapangan Makoramil Karubaga dengan pemuda Gereja Injili di Indonesia (GIDI) yang sedang mengadakan seminar dan KKR selama seminggu.
Para pemuda menuntut agar kebijakan bersama umat beragama ditempat itu untuk tidak beribadah dengan menggunakan toa dapat dilaksanakan. Namun, penolakan untuk menaati kesepakatan oleh pihak muslim itu berujung pada hadangan aparat keamanan sehingga 9 orang pemuda GIDI tertembak. 1 diantaranya meninggal dunia.
Kecewa dengan sikap aparat yang represif, warga kemudian membakar puluhan kios dan perumahan milik warga pendatang baik Islam maupun Kristen di wilayah pasar Karubaga, api yang tidak dipadamkan oleh aparat itu meluber hingga ke mushola yang dibangun para pedagang. [Antara]
"Tentunya aparat hukum harus menyelesaikan tindakan anarkis itu dan harus diselesikan secara hukum," tegas JK disela open house di kediaman pribadinya jalan Haji Bau, Makassar, Sulawesi Selatan, Minggu (19/7).
Ketua Dewan Masjid Indonesia ini mengatakan kapolri sedang berada di Papua untuk menyelesaikan persoalan tersebut, dan berdasarkan laporan yang diterima keadaan sudah tenang disana.
"Memang di sana sudah tenang, sebagai aparat hukum tindakan anarkis tersebut harus diselesaikan secara hukum, karena saat ini polisi dan aparat keamanan dari TNI, Kodim harus menyelesaikan masalah itu," paparnya.
Kendati adanya dugaan pemicu terjadinya pembakaran mushallah tersebut yakni suara keras takbir lebaran yang keluar dari speaker sehingga memancing reaksi umat kristiani yang juga akan menggelar kegiatan keagamaan melakukan tindakan anarkis, kata dia, polisi masih menyelidiki.
"Tidak, begini disana ada Perda (Peraturan Daerah) yang mengatakan bahwa rumah ibadah tidak boleh memakai speaker keluar, katanya ini perda. Nah mereka kan muslim mendapat izin untuk lebaran Idul Fitri dan itu sudah biasa setiap tahun tidak jadi soal," sebutnya.
Karena ada acara bersamaan di gereja, lanjut JK, mereka mendesak agar perda itu diberlakukan jangan di besarkan. Berawal dari persoalan speaker, tapi kemudian berkembang menjadi tindakan anarkis seperti itu.
Mengenai dengan tindakan aparat keamanan yang membubarkan aksi tersebut sehingga akan meluas, Ketua PMI Pusat ini membantah tidak ada kekerasan yang dilakukan kepada jamaah yang melakukan aksi penyerangan.
"Polisi dan Kodim, menurut laporan itu mendorong mereka keluar dari jamaah, supaya tidak terjadi bentrok, kerena berdekatan dengan kios di luar Kodim, Koramil, terjadilah pembakaran itu dan pastinya ini melanggar hukum," ucap dia.
Terkait dengan adanya surat edaran atau pemberitahuan yang dilayangkan Jemaat Gereja Gidi isinya berupa pada 13-17 Juli 2015 akan dilaksanakan suatu gelaran keagamaan para jemaat di wilayah tersebut, kata JK, sudah membacanya, namun terlihat ganjil.
"Saya meminta polisi untuk mengecek kebenaran surat edaran, apa benar ada surat seperti itu, karena agak aneh suratnya. Dan untuk diketahui pemerintah setempat dan polisi tidak menganggap surat itu diberlakukan, tetapi tetap memberi izin untuk melaksanakan ibadah," ungkapnya.
Menurut dia, tidak mungkin satu organisasi melarang orang melakukan ibadah dan bila bertentangan dengan aturan pemerintah jelas itu melanggar hukum.
"Boleh saja siapa orang mau ngomong apa, tetapi hukum yang lebih tinggi dari pada itu. Tidak boleh surat pemberitahuan itu berlaku, karenanya, jangan lupa pemerintah daerah tidak boleh melarang Idul Fitri itu, tetap harus diizinkan," katanya kembali menegaskan.
JK menyebut dengan alasan speaker tersebut sebagai awal pemicunya terjadi pembakaran, namun bukan itu persoalan utamanya karena semua agama diberikan izin kebebasan melaksanakan ibadahnya.
"Pemerintah daerah akan membangun kembali kios termasuk musalanya. Kita juga akan membantu korban-korban baik itu diberikan modal usaha baru dan sebagainya," tambahnya.
Seperti diketahui bersama kericuhan di Karubaga sendiri terjadi akibat kesalahpahaman antara umat muslim yang akan melaksanakan Salat Idul Fitri 1436 dilapangan Makoramil Karubaga dengan pemuda Gereja Injili di Indonesia (GIDI) yang sedang mengadakan seminar dan KKR selama seminggu.
Para pemuda menuntut agar kebijakan bersama umat beragama ditempat itu untuk tidak beribadah dengan menggunakan toa dapat dilaksanakan. Namun, penolakan untuk menaati kesepakatan oleh pihak muslim itu berujung pada hadangan aparat keamanan sehingga 9 orang pemuda GIDI tertembak. 1 diantaranya meninggal dunia.
Kecewa dengan sikap aparat yang represif, warga kemudian membakar puluhan kios dan perumahan milik warga pendatang baik Islam maupun Kristen di wilayah pasar Karubaga, api yang tidak dipadamkan oleh aparat itu meluber hingga ke mushola yang dibangun para pedagang. [Antara]