Jaringan Keragaman Papua Sampaikan Pernyataan Sikap Terkait Kericuhan di Karubaga
pada tanggal
Monday, 20 July 2015
KOTA JAYAPURA - Jaringan Keragaman Papua menyatakan turut prihatin dengan kericuhan yang terjadi di Karubaga, Kabupaten Tolikara, pada Jumat pagi sekitar pukul 07.00 WIT.
Dalam rilisnya pada Minggu malam ditandangani oleh sembilan orang perwakilan Jaringan Keragaman Papua dengan tema Tolikara: Surat Cinta untuk Kemanusiaan, diantaranya Pastor Goklian PH, OFM dari Fransiskan di Papua, Pendeta Kliong Tomhisa, S.Th dari KPKC Sinode GKI di Tanah Papua, Yuliana Langowuyo dari SKPKC Fransiskan Papua, Fr. Fredy Pawika, OFM dari Fransiskan Papua, Burhanudin S.Th.I, MA dari Sekolah Menulis Papua, Hardin Halidin dari Ilalang Papua, Dzikry el Han Alumni SPK V Papua, Petrus Supardi aktivis Pluralisme Papua dan Martha Langowuyo aktivis Pluralisme Papua.
Rilis itu menerangkan secara singkat, peristiwa Jumat pagi (17/7), ketika umat Islam di seluruh dunia tengah khusyuk merayakan kemenangan Ramadhan, tiba-tiba kita dihentakkan oleh berita miris tentang kekerasan yang menimpa umat Islam yang tengah menunaikan salat Idul Fitri di Karubaga.
"Sontak, memori kita kembali kepada peristiwa tragis kemanusiaan sekitar 15 tahun lalu, ketika Ambon dan Poso membara. Dibantu media, mulai dari media arus utama sampai media sosial, berita tragis ini menggelegar dan meluas begitu cepat hingga membakar emosi umat Islam di seluruh Indonesia," tulis mereka.
Sayangnya, situasi ini tidak cukup membantu memperbaiki keadaan. Riuhnya berita di media ini justru memicu lahirnya informasi yang bias dan menjadi semakin liar.
"Tanpa informasi lengkap melalui investigasi yang mendalam, kita lantas larut dalam aksi tuding kepada salah satu kelompok sebagai yang harus bertanggung jawab dan pantas disalahkan," lanjut mereka.
Menyikapi hal tersebut, Jaringan Keragaman Papua, menyampaikan beberapa poin penting, Pertama, sesungguhnya selama ini negara tidak pernah hadir untuk menyelesaikan kasus-kasus kekerasan bernuansa agama, termasuk yang terjadi di beberapa wilayah di Papua sebelumnya dan secara umum yang terjadi di seluruh Indonesia.
Kedua, negara gagal memberikan jaminan kepada warga minoritas untuk melaksanakan ibadah sesuai dengan agamanya masing-masing. Karena selama ini negara selalu kalah dengan keinginan kelompok mayoritas tertentu. Ketiga, negara gagal membangun ruang komunikasi dan mediasi yang saling menguatkan antara kelompok penganut agama yang berbeda.
Surat edaran dari GIDI yang disampaikan pada 11 Juli 2015 telah membuktikan bahwa pemerintah daerah tidak berinisiatif untuk mengambil langkah preventif terhadapnya. Keempat, terkhusus di Papua, negara masih saja tampil dengan wajah yang sangat militeristik dan mendahulukan kekerasan dan senantiasa menghadapi perbedaan pendapat di antara warganya dengan moncong senjata.
Informasi terakhir, 11 orang mengalami luka serius dan seorang anak lainnya meninggal dunia atas insiden di Tolikara. Kelima, kita semua telah gagal membangun komunikasi antarumat beragama yang konstruktif.
Ketidaktahuan umat Islam terhadap banyaknya denominasi gereja Kristen berbanding lurus dengan ketidakpahaman umat Kristen terhadap banyaknya kelompok di dalam Islam.
Menuding (semua) kelompok Kristen sebagai pelaku peristiwa kekerasan pada hari Idul Fitri 1436 H adalah kekeliruan. Karena sesungguhnya denominasi gereja lain di Tolikara juga bagian dari korban dalam konteks kemerdekaan memeluk dan menjalankan ajaran agama masing-masing. Untuk diketahui, gereja-gereja di Papua berjumlah sekitar 40 denominasi yang berbeda.
Karena itu, Jaringan Keragaman Papua menyampaikan beberapa hal sebagai berikut, mengutuk segala tindakan kekerasan yang terjadi di Kabupaten Tolikara, baik terhadap kelompok umat Islam yang tengah menjalankan Salat Idul Fitri maupun kekerasan yang telah menimbulkan korban jiwa dari masyarakat Tolikara.
Menyampaikan duka dan simpati yang mendalam terhadap seluruh korban, baik dari umat Islam maupun masyarakat Tolikara. Menghimbau kepada seluruh pihak untuk menahan diri dan tidak menjadikan informasi menjadi semakin terdistorsi, sehingga memunculkan kekerasan-kekerasan baru dengan berbagai semangat yang melatarinya.
Mendesak pemerintah pusat untuk mengusut dan menyelesaikan kekerasan yang terjadi, termasuk kekerasan intoleransi di seluruh Negara Republik Indonesia untuk tidak terulang lagi di kemudian hari dan semakin menyuburkan tirani mayoritas di Indonesia.
Menyesalkan sikap Pemerintah Daerah Kabupaten Tolikara, DPRD Tolikara dan pihak Polres serta Koramil Tolikara, yang tidak melakukan tindakan preventif terhadap surat edaran Badan Pekerja Wilayah Toli Gereja Injili di Indonesia (GIDI), dengan nomor 90/SP/GIDI-WT/VII/2015.
Meminta pertanggungjawaban Pemerintah Daerah Kabupaten Tolikara, DPRD Tolikara dan pihak Polres serta Koramil Tolikara, atas terjadinya kekerasan yang timbul.
Kemudian, mendesak Pemerintah Daerah Kabupaten Tolikara, Polres, serta Koramil Tolikara untuk memberikan jaminan keamanan kepada seluruh warga di kabupaten Tolikara sembari terus membuka ruang-ruang perjumpaan yang saling menguatkan antarpenganut agama yang berbeda.
Terakhir, rilis tercatat 18 Juli 2015, itu mendesak agar Komnas HAM RI untuk melakukan investigasi dan penyelidikan secara obyektif dan komprehensif atas peristiwa kekerasan yang terjadi di Tolikara tersebut. [Antara]
Dalam rilisnya pada Minggu malam ditandangani oleh sembilan orang perwakilan Jaringan Keragaman Papua dengan tema Tolikara: Surat Cinta untuk Kemanusiaan, diantaranya Pastor Goklian PH, OFM dari Fransiskan di Papua, Pendeta Kliong Tomhisa, S.Th dari KPKC Sinode GKI di Tanah Papua, Yuliana Langowuyo dari SKPKC Fransiskan Papua, Fr. Fredy Pawika, OFM dari Fransiskan Papua, Burhanudin S.Th.I, MA dari Sekolah Menulis Papua, Hardin Halidin dari Ilalang Papua, Dzikry el Han Alumni SPK V Papua, Petrus Supardi aktivis Pluralisme Papua dan Martha Langowuyo aktivis Pluralisme Papua.
Rilis itu menerangkan secara singkat, peristiwa Jumat pagi (17/7), ketika umat Islam di seluruh dunia tengah khusyuk merayakan kemenangan Ramadhan, tiba-tiba kita dihentakkan oleh berita miris tentang kekerasan yang menimpa umat Islam yang tengah menunaikan salat Idul Fitri di Karubaga.
"Sontak, memori kita kembali kepada peristiwa tragis kemanusiaan sekitar 15 tahun lalu, ketika Ambon dan Poso membara. Dibantu media, mulai dari media arus utama sampai media sosial, berita tragis ini menggelegar dan meluas begitu cepat hingga membakar emosi umat Islam di seluruh Indonesia," tulis mereka.
Sayangnya, situasi ini tidak cukup membantu memperbaiki keadaan. Riuhnya berita di media ini justru memicu lahirnya informasi yang bias dan menjadi semakin liar.
"Tanpa informasi lengkap melalui investigasi yang mendalam, kita lantas larut dalam aksi tuding kepada salah satu kelompok sebagai yang harus bertanggung jawab dan pantas disalahkan," lanjut mereka.
Menyikapi hal tersebut, Jaringan Keragaman Papua, menyampaikan beberapa poin penting, Pertama, sesungguhnya selama ini negara tidak pernah hadir untuk menyelesaikan kasus-kasus kekerasan bernuansa agama, termasuk yang terjadi di beberapa wilayah di Papua sebelumnya dan secara umum yang terjadi di seluruh Indonesia.
Kedua, negara gagal memberikan jaminan kepada warga minoritas untuk melaksanakan ibadah sesuai dengan agamanya masing-masing. Karena selama ini negara selalu kalah dengan keinginan kelompok mayoritas tertentu. Ketiga, negara gagal membangun ruang komunikasi dan mediasi yang saling menguatkan antara kelompok penganut agama yang berbeda.
Surat edaran dari GIDI yang disampaikan pada 11 Juli 2015 telah membuktikan bahwa pemerintah daerah tidak berinisiatif untuk mengambil langkah preventif terhadapnya. Keempat, terkhusus di Papua, negara masih saja tampil dengan wajah yang sangat militeristik dan mendahulukan kekerasan dan senantiasa menghadapi perbedaan pendapat di antara warganya dengan moncong senjata.
Informasi terakhir, 11 orang mengalami luka serius dan seorang anak lainnya meninggal dunia atas insiden di Tolikara. Kelima, kita semua telah gagal membangun komunikasi antarumat beragama yang konstruktif.
Ketidaktahuan umat Islam terhadap banyaknya denominasi gereja Kristen berbanding lurus dengan ketidakpahaman umat Kristen terhadap banyaknya kelompok di dalam Islam.
Menuding (semua) kelompok Kristen sebagai pelaku peristiwa kekerasan pada hari Idul Fitri 1436 H adalah kekeliruan. Karena sesungguhnya denominasi gereja lain di Tolikara juga bagian dari korban dalam konteks kemerdekaan memeluk dan menjalankan ajaran agama masing-masing. Untuk diketahui, gereja-gereja di Papua berjumlah sekitar 40 denominasi yang berbeda.
Karena itu, Jaringan Keragaman Papua menyampaikan beberapa hal sebagai berikut, mengutuk segala tindakan kekerasan yang terjadi di Kabupaten Tolikara, baik terhadap kelompok umat Islam yang tengah menjalankan Salat Idul Fitri maupun kekerasan yang telah menimbulkan korban jiwa dari masyarakat Tolikara.
Menyampaikan duka dan simpati yang mendalam terhadap seluruh korban, baik dari umat Islam maupun masyarakat Tolikara. Menghimbau kepada seluruh pihak untuk menahan diri dan tidak menjadikan informasi menjadi semakin terdistorsi, sehingga memunculkan kekerasan-kekerasan baru dengan berbagai semangat yang melatarinya.
Mendesak pemerintah pusat untuk mengusut dan menyelesaikan kekerasan yang terjadi, termasuk kekerasan intoleransi di seluruh Negara Republik Indonesia untuk tidak terulang lagi di kemudian hari dan semakin menyuburkan tirani mayoritas di Indonesia.
Menyesalkan sikap Pemerintah Daerah Kabupaten Tolikara, DPRD Tolikara dan pihak Polres serta Koramil Tolikara, yang tidak melakukan tindakan preventif terhadap surat edaran Badan Pekerja Wilayah Toli Gereja Injili di Indonesia (GIDI), dengan nomor 90/SP/GIDI-WT/VII/2015.
Meminta pertanggungjawaban Pemerintah Daerah Kabupaten Tolikara, DPRD Tolikara dan pihak Polres serta Koramil Tolikara, atas terjadinya kekerasan yang timbul.
Kemudian, mendesak Pemerintah Daerah Kabupaten Tolikara, Polres, serta Koramil Tolikara untuk memberikan jaminan keamanan kepada seluruh warga di kabupaten Tolikara sembari terus membuka ruang-ruang perjumpaan yang saling menguatkan antarpenganut agama yang berbeda.
Terakhir, rilis tercatat 18 Juli 2015, itu mendesak agar Komnas HAM RI untuk melakukan investigasi dan penyelidikan secara obyektif dan komprehensif atas peristiwa kekerasan yang terjadi di Tolikara tersebut. [Antara]