Inilah Tanggapan MRP Atas Penolakan Rekomendasi dan Resolusi Hak Politik Orang Papua
pada tanggal
Sunday, 5 July 2015
KOTA JAYAPURA - Adanya sikap kontra Komisi Pemilihan Umum (KPU) Provinsi Papua atas Keputusan Majelis Rakyat Papua (MRP) Nomor 11 Tahun 2015 tentang Rekomendasi dan Resolusi hak-hak politik orang asli Papua, tentang Gubernur/Wakil Gubernur, Bupati/Wakil Bupati dan Walikota/Wakil Walikota harus orang asli Papua, kembali mendapat tanggapan dari pihak MRP.
Menurut Ketua MRP, Timotius Murib, S.H., Komisi Pemilihan Umum dimohon agar memperhatikan konsideran PKPU nomor 9 tahun 2015 dibagian menimbang dan pasal 102.
"Itu artinya sudah didelegasikan kepada daerah, terutama di dua daerah khusus di Indonesia yakni Papua dan Aceh untuk dilaksanakan. Seharusnya keputusan MRP itu menjadikan salah satu prasyarat seketika verifikasi berkas bakal calon bupati/Wakil Bupati, Walikota/Wakil Walikota di KPU setelah mendapatkan pertimbangan dan persetujuan MRP," ujar Murib didampingi Wakil I MRP, Pdt. Hofni Simbiak, S.Th., usai memimpin Rapat Pleno Penutupan Masa Sidang III Tahun Sidang 2015, Senin (29/6).
Namun MRP sangat menyesalkan komentar Ketua KPU yang secara gamblang turut dalam kelompok orang yang sedang menghancurkan Undang-Undang No. 21 tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Papua.
"Sesungguhnya saya berharap ketua KPU segera menyampaikan keputusan MPR ini ke KPU pusat untuk mendapatkan surat edaran kepada KPU Provinsi dan Kabupaten/kota. Maka dalam pencalonan kandidat baik Gubernur Wakil Gubernur, Bupati/Walikota dan wakilnya harus orang asli Papua. Untuk itu, MRP telah siap turun sosialisasi kepada rakyat Papua di masing-masing Dapil selama 14 hari,” ujar
Sehingga di masa reses kali ini, MRP menyatakan akan mendengarkan dan melihat langsung dari berbagai aspirasi yang akan disampaikan oleh rakyat di masing-masing Dapil, juga akan mensosialisasikan UU Otsus pasal 2 tentang Gubernur dan Wakil Gubernur harus orang asli Papua dan Pasal 20 huruf f, untuk menjadi Bupati/Walikota dan Wakilnya wajib diberi pertimbangan dan persetujuan oleh Majelis Rakyat Papua, namun selama ini amanat tersebut tidak pernah dilakukan kecuali Gubernur dan Wakil Gubernur.
Tetapi sekarang dengan adanya Keputusan MRP Nomor 11 Tahun 2015 ini, KPU dan Parpol wajib melaksanakannya. Pilkada serentak di 11 Kabupaten pada Desember mendatang, calon Bupati/Wakil Bupati, dan calon Walikota dan Wakilnya harus orang asli Papua. Kepada para calon yang ingin maju maupun pihak parpol yang hendak mengajukan calon harus mencari figur yang benar-benar orang asli Papua.
“Sejak Keputusan MRP ini diumumkan banyak pendapat, persepsi, atau pro dan kontra tetapi kami menganggap itu sebuah dinamika. Namun bagi pejabat publik Papua di tanah Papua yang kontra tentang Keputusan MRP tersebut kami menganggap sedang ‘perkosa’ UU 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus bagi Papua. Mereka jangan ‘perkosa’ UU 21, justru mereka harus menghargai UU 21. Bagi yang berlawanan dengan Keputusan MRP ini, kami yakin bahwa yang bersangkutan tidak pernah membaca dan memahami isi daripada UU 21," ujarnya.
Sementara itu, Wakil Ketua I MRP, Pdt. Hofni Simbiak, menambahkan, kita tahu bahwa dengan adanya PKPU, baik UU Pemilu, UU Perpu Nomor 14 yang diubah menjadi UU Nomor 1 Tahun 2015 yang kemudian berubah menjadi Nomor 8 yang didalamnya ada PKPU dan disana mengungkapkan hal-hal yang luar biasa dan tidak memperhatikan tugas dan kewajiban Majelis Rakyat Papua sebagaimana memberi pertimbangan dan persetujuan.
"Negara ini sengaja untuk menghilangkan UU Otonomi Khusus di tanah Papua, secara tidak langsung keputusan-keputusan yang ada itu didasari karena ketidakpahaman oleh bangsa ini melalui para pejabatnya tentang UU Otsus 2001 dan didalamnya ada upaya-upaya untuk membuat orang Papua terjadi konflik secara tidak langsung, Melalui keputusan-keputusan itu nampak jelas padahal UU Otsus adalah UU Negara Republik Indonesia yang telah diundangkan, sehingga ada lembaran Negaranya dan ini menjadi hal yang mendasar," ungkapnya.
Hofni mengatakan, dengan adanya Keputusan yang sedang dilakukan oleh MRP adalah untuk mengingatkan bangsa ini dan para pejabatnya tentang upaya untuk menghilangkan orang Papua di tengah keberadaan bangsa Indonesia.
"Karena UU Otonomi Khusus adalah UU rekonsiliasi antara Jakarta dengan orang Papua. Silahkan baca UU Otsus di bagian pembukaan penjelasan, bahwa rekonsiliasi politik antara Jakarta dan rakyat Papua wujudnya adalah UU Otsus. Oleh karena itu, pada kesempatan ini saya menghimbau dan menyampaikan kepada, baik itu KPU Pusat, KPU Provinsi dan KPUD di Kabupaten/Kota yang melaksanakan itu memperhatikan dengan seksama apa yang menjadi keputusan MRP. Keputusan MRP adalah keputusan yang didasari dan dikeluarkan dari UU Otonomi Khusus 2001, karena pelaksanaan UU yang ada ini kurang memperhatikan kekhususan yang ada dan terjadi diskriminasi dalam Negara ini, Aceh bisa dilakukan tetapi Papua kenapa hal ini terjadi," tuturnya panjang lebar.
Oleh karena itu, baik itu pengamat yang mengamati maupun pelaksana UU Pemilu harus memberi perhatian yang khusus terhadap hak konstusional UU ini kepada orang asli Papua/hak politik orang asli Papua bahwa sepanjang ini kurang dihormati dan dihargai, malah yang lebih menghancurkan adalah orang asli Papua sendiri yang kurang memahami UU Otonomi Khusus.
“Ya, saya boleh mengatakan bahwa Ketua KPU Papua kurang memahami UU Otonomi Khusus 2001 dan apalagi Wakil Ketua III DPRP, Ibu Yani. Jadi harus mengetahui bahwa ketika dia hadir sebagai anggota DPRP itu karena 11 kursi, dia tidak lulus pada Pemilu waktu lalu tetapi karena adanya kursi Otonomi Khusus sehingga dia menjadi anggota DPRP melalui partai politik," tukasnya dengan menyambung, "Hari ini Yani tidak menyiapkan Perdasusnya tetapi dia mengkomentari tentang apa yang kesalahan dia dan ketidakmampuan kerja dia. Demikian juga KPU tidak mampu memberi jawaban atau keterangan kepada bangsa ini bahwa, di Papua ada perlakukan khusus nyatanya ketidakmampuan itu kemudian melahirkan adanya Keputusan Majelis Rakyat Papua."
Oleh karena itu, Hofni menyatakan KPU harus menyadari tugas dan tanggungjawabnya, pribadi-pribadi yang diundang untuk menjadi anggota KPU disana tahu bahwa mereka adalah anak-anak Papua yang harus berjuang untuk negeri ini, bukan karena sepiring nasi lalu menghancurkan.
“Karena itu, pada kesempatan ini saya mengimbau kepada, baik KPU Provinsi maupun KPUD di Kabupaten/Kota yang khususnya melaksanakan tugas Negara yaitu Pemilihan Kepala Daerah itu memperhatikan dengan sangat akan Keputusan Majelis Rakyat Papua ini untuk menjadi satu keputusan dan dasar pelaksanaan penyelenggaraan Pemilu. Jangan beralasan dengan keputusan Negara atau aturan melakukan pelanggaran terhadap UU Otonomi Khusus 2001. Soal nanti apakah ada reviu terhadap UU ini atau peraturan ini, itu adalah hal yang akan dilakukan tetapi harusnya dari awal ada koordinasi sehingga pelaksanaan tugas daerah penyelenggaraan pemerintahan daerah harus ditegakkan bersama-sama,”katanya.
Ia mengakui sangat bangga karena Gubernur papua, Lukas Enembe dalam sambutan awal pada kegiatan upacara bersama tadi, dia mengingatkan semua orang yang ada di tanah Papua untuk memperhatikan apa yang telah dikeluarkan oleh Majelis Rakyat Papua.
"Kalau ada sekian banyak orang Papua yang sadar akan tanggungjawab dan tugas seperti apa yang disampaikan Bapak Gubernur, maka di Papua tidak ada soal-soal seperti ada konflik-konflik yang secara langsung berlangsung seperti apa yang sedang dibicarakan dalam Koran ini. Saya melihat upaya pembicaraan, baik itu pengamat, anggota Dewan maupun KPU semuanya adalah upaya untuk menghancurkan UU Otonomi Khusus 2001 di tanah Papua dan mau membangkitkan kemarahan orang Papua terhadap Indonesia,” tandasnya.
Perlu Didengar
Sebelumnya Ketua Komite II DPD RI Parlindungan Purba mengisyaratkan bahwa Keputusan Majelis Rakyat Papua (MRP) menginginkan agar setiap Kepala daerah di Papua, baik Walikota-wakil Walikota maupun Bupati dan wakil Bupati harus orang asli Papua, perlu didengar dan didiskusikan dengan pemerintah pusat.
MRP merupakan lembaga yang kuat sehingga rekomendasi yang dikeluarkan merupakan sesuatu yang tumbuh dari bawah sehingga dan dilakukan tentu dengan berbagai pertimbangan, baik itu dari segi negatif maupun positifnya, namun harus sesuai dengan ketentuan yang berlaku.
“KPU harus melihat dari sisi negatif dan positif. Saya pikir rekomendasi itu harus didengar dan didiskusikan ke Pemerintah Pusat, sehingga tidak terjadi polemik antara MRP dan KPU maupun pemerintah. Yang jelas, kepala daerah tujuannya mensenjahterakan rakyat,” ucap dia pada Selasa (30/6).
Parlindungan mengutarakan, bahwa Kepala daerah sudah seharusnya menjadi pelayan bagi masyarakat.
“Saya sangat bersyukur ada orang yang mau jadi kepala daerah. Menjadi kepala daerah berarti siap mendedikasikan waktu, menyediakan tenaganya dan siap-siap diperiksa oleh KPK. Jadi, Saya mengapresiasikan kalau ada yang mau jadi kepala dan wakil kepala daerah,” cetusnya.
Dikatakan, Kepala Daerah yang siap bertarung demi rakyatnya, maka sudah seharusnya juga siap mendapat resiko ketika tergelincir dalam suatu masalah yang besar. Untuk itu Kepala daerah harus dihargai karena itu jadi pahlawan bagi rakyatnya.
“Jadi, aspirasi maupun rekomendasi dari MRP harus disandingkan dengan ketentuan yang berlaku. Itu bisa masuk dalam affirmative action tapi tentunya ada perbaikan atau revisi undang-undangnya sebelum ada keputusan,”tutup Parlindungan. [BintangPapua]
Menurut Ketua MRP, Timotius Murib, S.H., Komisi Pemilihan Umum dimohon agar memperhatikan konsideran PKPU nomor 9 tahun 2015 dibagian menimbang dan pasal 102.
"Itu artinya sudah didelegasikan kepada daerah, terutama di dua daerah khusus di Indonesia yakni Papua dan Aceh untuk dilaksanakan. Seharusnya keputusan MRP itu menjadikan salah satu prasyarat seketika verifikasi berkas bakal calon bupati/Wakil Bupati, Walikota/Wakil Walikota di KPU setelah mendapatkan pertimbangan dan persetujuan MRP," ujar Murib didampingi Wakil I MRP, Pdt. Hofni Simbiak, S.Th., usai memimpin Rapat Pleno Penutupan Masa Sidang III Tahun Sidang 2015, Senin (29/6).
Namun MRP sangat menyesalkan komentar Ketua KPU yang secara gamblang turut dalam kelompok orang yang sedang menghancurkan Undang-Undang No. 21 tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Papua.
"Sesungguhnya saya berharap ketua KPU segera menyampaikan keputusan MPR ini ke KPU pusat untuk mendapatkan surat edaran kepada KPU Provinsi dan Kabupaten/kota. Maka dalam pencalonan kandidat baik Gubernur Wakil Gubernur, Bupati/Walikota dan wakilnya harus orang asli Papua. Untuk itu, MRP telah siap turun sosialisasi kepada rakyat Papua di masing-masing Dapil selama 14 hari,” ujar
Sehingga di masa reses kali ini, MRP menyatakan akan mendengarkan dan melihat langsung dari berbagai aspirasi yang akan disampaikan oleh rakyat di masing-masing Dapil, juga akan mensosialisasikan UU Otsus pasal 2 tentang Gubernur dan Wakil Gubernur harus orang asli Papua dan Pasal 20 huruf f, untuk menjadi Bupati/Walikota dan Wakilnya wajib diberi pertimbangan dan persetujuan oleh Majelis Rakyat Papua, namun selama ini amanat tersebut tidak pernah dilakukan kecuali Gubernur dan Wakil Gubernur.
Tetapi sekarang dengan adanya Keputusan MRP Nomor 11 Tahun 2015 ini, KPU dan Parpol wajib melaksanakannya. Pilkada serentak di 11 Kabupaten pada Desember mendatang, calon Bupati/Wakil Bupati, dan calon Walikota dan Wakilnya harus orang asli Papua. Kepada para calon yang ingin maju maupun pihak parpol yang hendak mengajukan calon harus mencari figur yang benar-benar orang asli Papua.
“Sejak Keputusan MRP ini diumumkan banyak pendapat, persepsi, atau pro dan kontra tetapi kami menganggap itu sebuah dinamika. Namun bagi pejabat publik Papua di tanah Papua yang kontra tentang Keputusan MRP tersebut kami menganggap sedang ‘perkosa’ UU 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus bagi Papua. Mereka jangan ‘perkosa’ UU 21, justru mereka harus menghargai UU 21. Bagi yang berlawanan dengan Keputusan MRP ini, kami yakin bahwa yang bersangkutan tidak pernah membaca dan memahami isi daripada UU 21," ujarnya.
Sementara itu, Wakil Ketua I MRP, Pdt. Hofni Simbiak, menambahkan, kita tahu bahwa dengan adanya PKPU, baik UU Pemilu, UU Perpu Nomor 14 yang diubah menjadi UU Nomor 1 Tahun 2015 yang kemudian berubah menjadi Nomor 8 yang didalamnya ada PKPU dan disana mengungkapkan hal-hal yang luar biasa dan tidak memperhatikan tugas dan kewajiban Majelis Rakyat Papua sebagaimana memberi pertimbangan dan persetujuan.
"Negara ini sengaja untuk menghilangkan UU Otonomi Khusus di tanah Papua, secara tidak langsung keputusan-keputusan yang ada itu didasari karena ketidakpahaman oleh bangsa ini melalui para pejabatnya tentang UU Otsus 2001 dan didalamnya ada upaya-upaya untuk membuat orang Papua terjadi konflik secara tidak langsung, Melalui keputusan-keputusan itu nampak jelas padahal UU Otsus adalah UU Negara Republik Indonesia yang telah diundangkan, sehingga ada lembaran Negaranya dan ini menjadi hal yang mendasar," ungkapnya.
Hofni mengatakan, dengan adanya Keputusan yang sedang dilakukan oleh MRP adalah untuk mengingatkan bangsa ini dan para pejabatnya tentang upaya untuk menghilangkan orang Papua di tengah keberadaan bangsa Indonesia.
"Karena UU Otonomi Khusus adalah UU rekonsiliasi antara Jakarta dengan orang Papua. Silahkan baca UU Otsus di bagian pembukaan penjelasan, bahwa rekonsiliasi politik antara Jakarta dan rakyat Papua wujudnya adalah UU Otsus. Oleh karena itu, pada kesempatan ini saya menghimbau dan menyampaikan kepada, baik itu KPU Pusat, KPU Provinsi dan KPUD di Kabupaten/Kota yang melaksanakan itu memperhatikan dengan seksama apa yang menjadi keputusan MRP. Keputusan MRP adalah keputusan yang didasari dan dikeluarkan dari UU Otonomi Khusus 2001, karena pelaksanaan UU yang ada ini kurang memperhatikan kekhususan yang ada dan terjadi diskriminasi dalam Negara ini, Aceh bisa dilakukan tetapi Papua kenapa hal ini terjadi," tuturnya panjang lebar.
Oleh karena itu, baik itu pengamat yang mengamati maupun pelaksana UU Pemilu harus memberi perhatian yang khusus terhadap hak konstusional UU ini kepada orang asli Papua/hak politik orang asli Papua bahwa sepanjang ini kurang dihormati dan dihargai, malah yang lebih menghancurkan adalah orang asli Papua sendiri yang kurang memahami UU Otonomi Khusus.
“Ya, saya boleh mengatakan bahwa Ketua KPU Papua kurang memahami UU Otonomi Khusus 2001 dan apalagi Wakil Ketua III DPRP, Ibu Yani. Jadi harus mengetahui bahwa ketika dia hadir sebagai anggota DPRP itu karena 11 kursi, dia tidak lulus pada Pemilu waktu lalu tetapi karena adanya kursi Otonomi Khusus sehingga dia menjadi anggota DPRP melalui partai politik," tukasnya dengan menyambung, "Hari ini Yani tidak menyiapkan Perdasusnya tetapi dia mengkomentari tentang apa yang kesalahan dia dan ketidakmampuan kerja dia. Demikian juga KPU tidak mampu memberi jawaban atau keterangan kepada bangsa ini bahwa, di Papua ada perlakukan khusus nyatanya ketidakmampuan itu kemudian melahirkan adanya Keputusan Majelis Rakyat Papua."
Oleh karena itu, Hofni menyatakan KPU harus menyadari tugas dan tanggungjawabnya, pribadi-pribadi yang diundang untuk menjadi anggota KPU disana tahu bahwa mereka adalah anak-anak Papua yang harus berjuang untuk negeri ini, bukan karena sepiring nasi lalu menghancurkan.
“Karena itu, pada kesempatan ini saya mengimbau kepada, baik KPU Provinsi maupun KPUD di Kabupaten/Kota yang khususnya melaksanakan tugas Negara yaitu Pemilihan Kepala Daerah itu memperhatikan dengan sangat akan Keputusan Majelis Rakyat Papua ini untuk menjadi satu keputusan dan dasar pelaksanaan penyelenggaraan Pemilu. Jangan beralasan dengan keputusan Negara atau aturan melakukan pelanggaran terhadap UU Otonomi Khusus 2001. Soal nanti apakah ada reviu terhadap UU ini atau peraturan ini, itu adalah hal yang akan dilakukan tetapi harusnya dari awal ada koordinasi sehingga pelaksanaan tugas daerah penyelenggaraan pemerintahan daerah harus ditegakkan bersama-sama,”katanya.
Ia mengakui sangat bangga karena Gubernur papua, Lukas Enembe dalam sambutan awal pada kegiatan upacara bersama tadi, dia mengingatkan semua orang yang ada di tanah Papua untuk memperhatikan apa yang telah dikeluarkan oleh Majelis Rakyat Papua.
"Kalau ada sekian banyak orang Papua yang sadar akan tanggungjawab dan tugas seperti apa yang disampaikan Bapak Gubernur, maka di Papua tidak ada soal-soal seperti ada konflik-konflik yang secara langsung berlangsung seperti apa yang sedang dibicarakan dalam Koran ini. Saya melihat upaya pembicaraan, baik itu pengamat, anggota Dewan maupun KPU semuanya adalah upaya untuk menghancurkan UU Otonomi Khusus 2001 di tanah Papua dan mau membangkitkan kemarahan orang Papua terhadap Indonesia,” tandasnya.
Perlu Didengar
Sebelumnya Ketua Komite II DPD RI Parlindungan Purba mengisyaratkan bahwa Keputusan Majelis Rakyat Papua (MRP) menginginkan agar setiap Kepala daerah di Papua, baik Walikota-wakil Walikota maupun Bupati dan wakil Bupati harus orang asli Papua, perlu didengar dan didiskusikan dengan pemerintah pusat.
MRP merupakan lembaga yang kuat sehingga rekomendasi yang dikeluarkan merupakan sesuatu yang tumbuh dari bawah sehingga dan dilakukan tentu dengan berbagai pertimbangan, baik itu dari segi negatif maupun positifnya, namun harus sesuai dengan ketentuan yang berlaku.
“KPU harus melihat dari sisi negatif dan positif. Saya pikir rekomendasi itu harus didengar dan didiskusikan ke Pemerintah Pusat, sehingga tidak terjadi polemik antara MRP dan KPU maupun pemerintah. Yang jelas, kepala daerah tujuannya mensenjahterakan rakyat,” ucap dia pada Selasa (30/6).
Parlindungan mengutarakan, bahwa Kepala daerah sudah seharusnya menjadi pelayan bagi masyarakat.
“Saya sangat bersyukur ada orang yang mau jadi kepala daerah. Menjadi kepala daerah berarti siap mendedikasikan waktu, menyediakan tenaganya dan siap-siap diperiksa oleh KPK. Jadi, Saya mengapresiasikan kalau ada yang mau jadi kepala dan wakil kepala daerah,” cetusnya.
Dikatakan, Kepala Daerah yang siap bertarung demi rakyatnya, maka sudah seharusnya juga siap mendapat resiko ketika tergelincir dalam suatu masalah yang besar. Untuk itu Kepala daerah harus dihargai karena itu jadi pahlawan bagi rakyatnya.
“Jadi, aspirasi maupun rekomendasi dari MRP harus disandingkan dengan ketentuan yang berlaku. Itu bisa masuk dalam affirmative action tapi tentunya ada perbaikan atau revisi undang-undangnya sebelum ada keputusan,”tutup Parlindungan. [BintangPapua]