Inilah Pernyataan Marthen Jingga dan Nayus Wenda Atas Surat Edaran 11 Juli 2015
pada tanggal
Wednesday, 22 July 2015
Surat itu, menurut Marthen, ditujukan kepada seluruh umat Islam se-Kabupaten Tolikara dengan tembusan Bupati Tolikara Usman G. Wanimbo, Kepala Kepolisian Resor Tolikara, AKBP Suroso, Ketua DPRD Tolikara, dan Komandan Komando Rayon Militer Tolikara. Surat itu memang memuat larangan beribadah.
"Tapi siapa yang menyebarkan dan bagaimana tersebarnya kami tidak tahu," kata Marthen di rumahnya, di Distrik Karubaga, Selasa, (21/7).
Surat pemberitahuan yang dimaksud oleh Marthen itu berisikan tiga larangan, yang kutipan aslinya berbunyi: 1. Acara membuka lebaran tanggal 17 Juli 2015, kami tidak mengijinkan dilakukan di Wilayah Kabupaten Tolikara (Karubaga); 2. Boleh merayakan hari raya di luar Kabupaten Tolikara (Wamena) atau Jayapura; 3. Dilarang kaum muslimat memakai pakaian jilbab.
Dalam surat pemberitahuan tersebut, GIdI Wilayah Tolikara juga selalu melarang agama lain dan gereja denominasi lain mendirikan tempat-tempat ibadah di Wilayah Kabupaten Tolikara.
"Gereja Adven di Distrik Paido kami sudah tutup dan umat Gereja Adven bergabung dengan Gidi," demikian salah satu kutipan surat edaran yang diteken oleh Marthen dan Nayus.
Ketua Gidi Tolikara, Nayus Wenda, membenarkan penjelasan Marthen. Namun, ia tidak menyangka dampak dari peredaran surat itu berujung pada penyerangan kepada umat muslim yang akhirnya memantik kerusuhan di wilayah berpenduduk 140 ribu jiwa itu.
"Yang terjadi ini di luar dugaan kami. Tidak terpikir oleh kami akan terjadi masalah seperti ini," kata Nayus di tempat yang sama.
Alasan Nayus, selama ini, umat muslim dan Gidi tidak bermasalah terkait dengan isi surat edaran tersebut. Ia mengklaim surat ini pun bukan atas permintaan Gidi pusat tapi, atas keputusan Gidi Wilayah Tolikara untuk mendukung keamanan kegiatan Seminar dan Kebaktian Kebangunan Rohani Internasional yang berlangsung dari 13-19 Juli 2015 di Tolikara.
Menurut Nayus, surat edaran tersebut merupakan langkah antisipasi dari pihak gereja agar umat muslim di Kabupaten Tolikara mengetahui adanya kegiatan kerohanian GIdI yang bersifat internasional dengan mengundang 2.500 peserta, termasuk perwakilan dari lima negara, yakni Belanda, Amerika Serikat, Papua Nugini, Palau (kepulauan kecil di Lautan Pasifik), dan Israel.
Penyerangan yang terjadi bertepatan dengan hari raya Idul Fitri itu berawal dari protes jemaat Gidi terhadap penyelenggaraan salat Id di lapangan Markas Komando Rayon Militer, Distrik Karubaga, Tolikara.
Koramil tersebut berdekatan dengan permukiman warga, kios, mushola dan gereja. Saat itu jemaat GIdI sebagai jemaat Kristen mayoritas di Tolikara, tengah menyelenggarakan kebaktian kebangunan rohani (KKR).
Nurmin, saksi mata yang juga jemaah salat Id di markas Koramil, itu mengisahkan ketika rakaat pertama pada takbir kelima (ada tujuh takbir pada rakaat pertama), ia mendengar ada suara lantang yang diteriakkan oleh sejumlah orang.
"Tidak ada yang namanya ibadah gini, harus berhenti!" kata Nurmin menirukan suara yang dia dengar itu saat diwawancara pada Selasa, (21/7).
Mendengar teriakan tersebut, menurut Nurmin, jemaah salat Id kehilangan konsentrasi dalam beribadah. Tiba-tiba kondisi mulai memanas karena ada saling lempar batu antara orang-orang yang berteriak dan jemaah salat Ied. Tak lama kemudian terdengar suara tembakan dari aparat.
"Semua berlari ketakutan," ujar Nurmin. Keadaan pun mulai ricuh. Nurmin melihat beberapa orang melempar batu ke arahnya.
Menurut Nurmin, sejumlah kios dan rumah warga di sekitar markas Koramil terbakar. Nurmin dan beberapa jemaah salat Id lantas masuk ke dalam kantor Koramil.
"Kami berkumpul di situ, takut kena batu," ujarnya. Nurmin mengaku rumahnya pun ikut terbakar. "Tapi, saya tidak tahu siapa yang membakar rumah saya karena banyak orang saat itu," ujar Nurmin.
Keterangan Nurmin sejalan dengan kronologi yang disampaikan Komisioner Komisi Nasional Hak Asasi Manusia Natalius Pigai. Sehari setelah kejadian, atau Sabtu, 18 Juli 2015, Komnas HAM mengeluarkan hasil analisis sementara kerusuhan di Karubuga. Dalam salah satu temuannya, Pigai menegaskan, Komnas menduga kerusuhan di Tolikara dipicu oleh surat edaran Gidi Tolikara, yang diteken Nayus dan Marthen.
Pigai menyayangkan surat itu tidak direspons serius oleh pemerintah daerah Tolikara. Padahal, kata dia, jemaat Gidi tidak berhak melarang umat agama lain beribadah.
"Pemerintah tidak mengantisipasi surat edaran itu. Mereka tidak melakukan upaya pencegahaan untuk menjaga ketertiban dan keamanan," kata Pigai ketika dihubungi Putri Adityowati dari Tempo. Karena protes itu tidak mendapat respons dari aparat di lokasi kejadian, jemaat Gidi marah dan mengamuk.
Kondisi semakin ricuh karena sejumlah kios, rumah, dan musala, dibakar. Menurut Pigai, mereka protes karena sudah memberi larangan, tapi polisi balik menembak warga.
"Masyarakat melampiaskan kemarahan ke arah tempat ibadah. Kalau polisi tidak menembaki warga, pasti reaksi mereka berbeda, Tapi yang terpenting kerusuhan ini bukan permusuhan antara Gidi dengan umat Islam," kata Pigai.
Kepala Polri Jenderal Badrodin Haiti mengakui polisi yang menjaga pelaksanaan salat Id di lapangan Koramil, sempat mengeluarkan tembakan peringatan. Namun, massa mengamuk hingga menyebabkan puluhan kios dan musala di sekitar markas Koramil habis terbakar.
Kepolisian telah mengantongi calon tersangka. Sudah ada, tapi kami masih melengkapi alat bukti," kata Badrodin di kantornya, Senin, 20 Juli 2015.
Kementerian Sosial mencatat 153 jiwa dari 38 kepala keluarga menjadi korban akibat penyerangan ini. Selain di Wamena, sebagian warga mengungsi di belakang kantor Koramil dan Polres Tolikara.
Hingga kini, berbagai pihak telah mengirimkan bantuan, berupa makanan, pakaian, dan uang tunai. Kapolda Papua memberikan Rp 30 juta, Kapolri dan Bupati Tolikara menyumbang masing-masing Rp100 juta. [Tempo]