Edi Wanimbo, Korban Penembakan di Karubaga Dimakamkan di Wamena
pada tanggal
Sunday, 19 July 2015
WAMENA (JAYAWIJAYA) - Korban tewas kericuhan di Karubaga, Kabupaten Tolikara pada Jumat, (17/7) bernama Edi Wanimbo yang tewas itu telah dimakamkan di Wamena pada Sabtu (18/7) pukul 16.00 WIT.
Menurut anggota Jaringan Advokasi Penegakan Hukum dan Hak Asasi Manusia Pegunungan Tengah Papua, Theo Hesegem, pihaknya sangat berduka dengan tewasnya seorang anak akibat timah panas Polisi ini
"Saya tadi ikut pemakaman anak itu. Orang tuanya hadir dan masih sangat berduka," kata Theo pada (18/7).
Pemakaman berlangsung singkat. Begitu peti jenazah tiba, kata Theo, langsung dimakamkan. Sehingga ia tidak sempat menyaksikan tubuh bagian mana dari anak itu yang terluka hingga tewas.
"Saya tidak bisa lihat lukanya karena dibawa ke sini sudah dalam peti," ujarnya.
Theo kemudian menjelaskan, anak itu lahir tanggal 6 Agustus 1999 dan ditembak diperut oleh aparat saat kericuhan itu terjadi.
Kerusuhan itu memakan korban 9 korban tembak yang merupakan warga asli Karubaga.
Sebelumnya anggota Komisi Nasional Hak Asasi Manusia, Natalius Pigai, menjelaskan, belasan warga Karubaga dan jemaat GIDI menjadi sasaran tembak aparat, sembilan orang terluka karena terkena timah panas.
Tidak terima dengan aksi brutal aparat, mereka membakar pemukiman warga pendatang di areal pasar Karubaga, belasan rumah dan kios serta mushola tanpa nama di tempat itu pun rata dengan tanah.
Sebelumnya Ketua GIDI wilayah Tolikara Pendeta Nayus Wenea dan Sekretaris GIDI Pendeta Marthe Jingga melayangkan surat imbauan kepada umat Islam di Tolikara pada 11 Juli 015.
Nayus meminta masyarakat muslim menyelenggarakan perayaan Idul Fitri pada 17 Juli 2015 di Karubaga, Tolikara. Muslim hanya boleh menggelar salat Idul Fitri di luar wilayah itu karena pada 13-19 Juli 2015 GIDI menyelenggarakan seminar dan KKR pemuda GIDI tingkat internasional.
"Mereka meminta agar muslim mengecilkan (suara) speaker karena kegiatannya bersebelahan dengan penyelenggaraan KKR," kata Pigai.
Surat imbauan ditembuskan ke kepolisian resor dan pemerintah daerah Tolikara beberapa hari sebelum Hari Raya Idul Fitri. Namun, Jumat lalu masyarakat muslim Tolikara tetap menggelar salat Idul Fitri dan mengumandangkan takbir dengan pengeras suara di lapangan Markas Komando Rayon Militer (Makoramil) 1702/Karubaga. Lapangan tersebut berdekatan dengan penyelenggaraan KKR jemaat GIDI.
Pigai mengatakan jemaat GIDI langsung marah dan memprotes polisi yang berjaga di sekitar lapangan.
"Mereka protes karena sudah memberi imbauan, kemudian polisi balik menembak warga," kata Pigai.
Karena kerusuhan itu, kemudian jemaat GIDI mulai melemparkan batu ke arah kios dan Musala Baitul Mutaqin. Mereka juga membakar beberapa rumah, kios, dan musala itu.
"Masyarakat melampiaskan kemarahan ke arah musala. Kalau polisi tidak menembaki warga, pasti reaksi mereka berbeda," kata Pigai.
Saat pembakaran terjadi, seluruh jemaah salat Idul Fitri membubarkan diri. Warga diungsikan ke Koramil 1702/s. Hingga kini Komnas HAM, Kementerian Agama, dan kepolisian Papua masih mengusut kasus ini. Sedangkan warga Karubaga masih ketakutan akibat teror aparat.[Tempo]
Menurut anggota Jaringan Advokasi Penegakan Hukum dan Hak Asasi Manusia Pegunungan Tengah Papua, Theo Hesegem, pihaknya sangat berduka dengan tewasnya seorang anak akibat timah panas Polisi ini
"Saya tadi ikut pemakaman anak itu. Orang tuanya hadir dan masih sangat berduka," kata Theo pada (18/7).
Pemakaman berlangsung singkat. Begitu peti jenazah tiba, kata Theo, langsung dimakamkan. Sehingga ia tidak sempat menyaksikan tubuh bagian mana dari anak itu yang terluka hingga tewas.
"Saya tidak bisa lihat lukanya karena dibawa ke sini sudah dalam peti," ujarnya.
Theo kemudian menjelaskan, anak itu lahir tanggal 6 Agustus 1999 dan ditembak diperut oleh aparat saat kericuhan itu terjadi.
Kerusuhan itu memakan korban 9 korban tembak yang merupakan warga asli Karubaga.
Sebelumnya anggota Komisi Nasional Hak Asasi Manusia, Natalius Pigai, menjelaskan, belasan warga Karubaga dan jemaat GIDI menjadi sasaran tembak aparat, sembilan orang terluka karena terkena timah panas.
Tidak terima dengan aksi brutal aparat, mereka membakar pemukiman warga pendatang di areal pasar Karubaga, belasan rumah dan kios serta mushola tanpa nama di tempat itu pun rata dengan tanah.
Sebelumnya Ketua GIDI wilayah Tolikara Pendeta Nayus Wenea dan Sekretaris GIDI Pendeta Marthe Jingga melayangkan surat imbauan kepada umat Islam di Tolikara pada 11 Juli 015.
Nayus meminta masyarakat muslim menyelenggarakan perayaan Idul Fitri pada 17 Juli 2015 di Karubaga, Tolikara. Muslim hanya boleh menggelar salat Idul Fitri di luar wilayah itu karena pada 13-19 Juli 2015 GIDI menyelenggarakan seminar dan KKR pemuda GIDI tingkat internasional.
"Mereka meminta agar muslim mengecilkan (suara) speaker karena kegiatannya bersebelahan dengan penyelenggaraan KKR," kata Pigai.
Surat imbauan ditembuskan ke kepolisian resor dan pemerintah daerah Tolikara beberapa hari sebelum Hari Raya Idul Fitri. Namun, Jumat lalu masyarakat muslim Tolikara tetap menggelar salat Idul Fitri dan mengumandangkan takbir dengan pengeras suara di lapangan Markas Komando Rayon Militer (Makoramil) 1702/Karubaga. Lapangan tersebut berdekatan dengan penyelenggaraan KKR jemaat GIDI.
Pigai mengatakan jemaat GIDI langsung marah dan memprotes polisi yang berjaga di sekitar lapangan.
"Mereka protes karena sudah memberi imbauan, kemudian polisi balik menembak warga," kata Pigai.
Karena kerusuhan itu, kemudian jemaat GIDI mulai melemparkan batu ke arah kios dan Musala Baitul Mutaqin. Mereka juga membakar beberapa rumah, kios, dan musala itu.
"Masyarakat melampiaskan kemarahan ke arah musala. Kalau polisi tidak menembaki warga, pasti reaksi mereka berbeda," kata Pigai.
Saat pembakaran terjadi, seluruh jemaah salat Idul Fitri membubarkan diri. Warga diungsikan ke Koramil 1702/s. Hingga kini Komnas HAM, Kementerian Agama, dan kepolisian Papua masih mengusut kasus ini. Sedangkan warga Karubaga masih ketakutan akibat teror aparat.[Tempo]