Dana Otsus Rp 500 Juta untuk Dinas Kehutanan Sorong Dikelola Tahun 2015
pada tanggal
Tuesday, 14 July 2015
AIMAS (SORONG) – Bupati Sorong, melalui Kepala Dinas Kehutanan Ir. Benyamin A. Hallatu, MM, mengatakan, untuk tahun 2014 lalu, pihaknya memperoleh dana Otsus Rp 500 juta lebih.
“Sedangkan untuk tahun 2015, Dinas Kehutanan Kabupaten Sorong tidak mendapatkan dana Otsus,” ujarnya, di Aimas, Jumat (10/7).
Mengapa ada dana Otsus bisa diberikan kepada Dinas Kehutanan, dimana kita ketahui bersama, bahwa luasan kawasan hutan di Kabupaten Sorong kurang lebih 831.000 hektare. Dari seluas itu mana yang perlu dilepaskan dan mana yang perlu dipertahankan sekitar 50% dari total luas kawasan hutan dimaksud, jelas Hallatu.
“Dalam pemikiran kita, dana Otsus itu kita harus dapat dari tahun ke tahun, karena latar belakang pemikiran, bahwa hampir sebagian masyarakat penduduk asli Papua itu berada di dalam kawasan hutan. Bahkan juga berada di luar kawasan hutan,” katanya.
Program yang menyentuh bagaimana pemberdayaan ekonomi kerakyatan. Kalau kita melihat hutan merupakan ibu daripada sumber mata pencaharian.
Sementara di sisi lain kita dihadapkan dengan regulasi terkait dengan kepemilikan ulayat menjadi pokok permasalahan ini di tingkat dasar. “Regulasi kalau kita lihat ke depan terkait dengan kegiatan kehutanan, yang harus kita lihat bukan hanya kayu saja, tapi ada juga Flora, Fauna yang punya nilai-nilai ekonomis tinggi,” ungkap Hallatu.
Misalnya, obat-obatan, satwa-satwa yang dilindungi, dan ada juga hasil hutan non-kayu, seperti gaharu, rotan, mangrove, dan lain sebagainya.
Ada juga jasa lingkungan. Misalnya objek wisata alam atau ekowisata, dan ini juga ada keterkaitan dengan Dinas Pariwisata, dan yang belum kita laksanakan adalah belum adanya Perdasus di bidang kehutanan.
“Jadi, kita bicara seperti apapun juga, kadang-kadang regulasi antara pusat dan daerah kurang singkron. Contohnya, masyarakat boleh memungut hutan kayu 50 kubik atau 20 kubik untuk dimanfaatkan kepentingan sendiri,” urainya.
Tapi di dalam regulasi itu sendiri disampaikan bahwa wajib membayar PSDH (provisi sumber daya hutan). Pakai sendiri mengandung pengertian tidak dapat diperdagangkan, wajib membayar PSDH. Mereka (masyarakat) mau bayar dari mana.
Justru itu, kita lakukan terobosan dengan membuat Perda tentang Pemanfaatan Kayu Kepemilikan Ulayat. Ini juga akan dirumuskan terus yang nantinya akan dikelola HPH itu tidak akan ada lagi atau ada kelompok-kelompok HPH mini atau hutan kemasyarakatan, beber Hallatu.
Memang hal-hal seperti ini sangat teknis sekali.Tapi yang jelas manajemen pengelolaan kehutanan ke depan itu terjawab dalam kesatuan pengelolaan hutan. Jadi ada fungsi lindung (KPHL), ada fungsi produksi (HPHP), ada fungsi konservasi ((KPHPH). [InfoPublik]
“Sedangkan untuk tahun 2015, Dinas Kehutanan Kabupaten Sorong tidak mendapatkan dana Otsus,” ujarnya, di Aimas, Jumat (10/7).
Mengapa ada dana Otsus bisa diberikan kepada Dinas Kehutanan, dimana kita ketahui bersama, bahwa luasan kawasan hutan di Kabupaten Sorong kurang lebih 831.000 hektare. Dari seluas itu mana yang perlu dilepaskan dan mana yang perlu dipertahankan sekitar 50% dari total luas kawasan hutan dimaksud, jelas Hallatu.
“Dalam pemikiran kita, dana Otsus itu kita harus dapat dari tahun ke tahun, karena latar belakang pemikiran, bahwa hampir sebagian masyarakat penduduk asli Papua itu berada di dalam kawasan hutan. Bahkan juga berada di luar kawasan hutan,” katanya.
Program yang menyentuh bagaimana pemberdayaan ekonomi kerakyatan. Kalau kita melihat hutan merupakan ibu daripada sumber mata pencaharian.
Sementara di sisi lain kita dihadapkan dengan regulasi terkait dengan kepemilikan ulayat menjadi pokok permasalahan ini di tingkat dasar. “Regulasi kalau kita lihat ke depan terkait dengan kegiatan kehutanan, yang harus kita lihat bukan hanya kayu saja, tapi ada juga Flora, Fauna yang punya nilai-nilai ekonomis tinggi,” ungkap Hallatu.
Misalnya, obat-obatan, satwa-satwa yang dilindungi, dan ada juga hasil hutan non-kayu, seperti gaharu, rotan, mangrove, dan lain sebagainya.
Ada juga jasa lingkungan. Misalnya objek wisata alam atau ekowisata, dan ini juga ada keterkaitan dengan Dinas Pariwisata, dan yang belum kita laksanakan adalah belum adanya Perdasus di bidang kehutanan.
“Jadi, kita bicara seperti apapun juga, kadang-kadang regulasi antara pusat dan daerah kurang singkron. Contohnya, masyarakat boleh memungut hutan kayu 50 kubik atau 20 kubik untuk dimanfaatkan kepentingan sendiri,” urainya.
Tapi di dalam regulasi itu sendiri disampaikan bahwa wajib membayar PSDH (provisi sumber daya hutan). Pakai sendiri mengandung pengertian tidak dapat diperdagangkan, wajib membayar PSDH. Mereka (masyarakat) mau bayar dari mana.
Justru itu, kita lakukan terobosan dengan membuat Perda tentang Pemanfaatan Kayu Kepemilikan Ulayat. Ini juga akan dirumuskan terus yang nantinya akan dikelola HPH itu tidak akan ada lagi atau ada kelompok-kelompok HPH mini atau hutan kemasyarakatan, beber Hallatu.
Memang hal-hal seperti ini sangat teknis sekali.Tapi yang jelas manajemen pengelolaan kehutanan ke depan itu terjawab dalam kesatuan pengelolaan hutan. Jadi ada fungsi lindung (KPHL), ada fungsi produksi (HPHP), ada fungsi konservasi ((KPHPH). [InfoPublik]