BMKG Jayapura Klaim Fenomena Alam di Agadugume Bukan Hujan Es
pada tanggal
Tuesday, 14 July 2015
KOTA JAYAPURA - Badan Meteorologi, Klimatologi dan Geofisika (BMKG) Wilayah V Jayapura menegaskan bahwa fenomena alam yang terjadi di Distrik Agadugume, Kabupaten Puncak, bukanlah hujan es, melainkan embun membeku yang mirip dengan fenomena alam di Pegunungan Dieng di Jawa Tengah.
Prakirawan Balai Besar BMKG Wilayah V Jayapura, Irio Agung Kalabak mengatakan, dari hasil pengamatan satelit di wilayah Papua, sejak awal Juli tidak ada pembentukan awan sehingga kecil kemungkinan turun hujan. Kondisi ini sama dengan wilayah lain di Indonesia yang terkena dampak El Nino moderate saat memasuki musim kemarau panjang hingga Agustus mendatang.
Khusus untuk wilayah Papua, jelas Irio, musim kemarau sejak dua pekan terakhir cukup ekstrem karena secara tidak langsung dipengaruhi dua siklon tropis yang berpusat di Pasifik, timur laut Filipina dan Laut Cina Selatan.
“Dampaknya di wilayah dataran rendah, curah hujan sangat rendah sementara di wilayah pegunungan terjadi kondisi ekstrem, panas pada siang hari dan pada malam hari suhu sangat dingin yang bisa mencapai titik beku. Fenomena inilah yang menjadikan embun berubah menjadi es,” jelas Irio saat ditemui di kantor BMKG Jayapura, Senin (13/7).
Karena suhu sangat dingin mencapai titik beku, jelas Irio, uap serta air yang ada dalam tanaman akhirnya berubah menjadi es yang menempel di daun tumbuh-tumbuhan dan di atas tanah.
“Bentuknya mirip salju ketimbang batuan es jika terjadi hujan es,” ungkap Irio.
Dijelaskan Irio, untuk fenomena hujan es biasanya terbentuk di wilayah dataran rendah, sementara untuk wilayah dataran tinggi, walau terjadi pembentukan awan, namun hujan yang terjadi tetap berbentuk air.
Seperti diberitakan sebelumnya, kurang lebih 10.000 penduduk dari 3 kampung di Distrik Agadugume, Kabupaten Puncak terancam mengalami rawan pangan akibat hujan es berkepanjangan. [Kompas]
Prakirawan Balai Besar BMKG Wilayah V Jayapura, Irio Agung Kalabak mengatakan, dari hasil pengamatan satelit di wilayah Papua, sejak awal Juli tidak ada pembentukan awan sehingga kecil kemungkinan turun hujan. Kondisi ini sama dengan wilayah lain di Indonesia yang terkena dampak El Nino moderate saat memasuki musim kemarau panjang hingga Agustus mendatang.
Khusus untuk wilayah Papua, jelas Irio, musim kemarau sejak dua pekan terakhir cukup ekstrem karena secara tidak langsung dipengaruhi dua siklon tropis yang berpusat di Pasifik, timur laut Filipina dan Laut Cina Selatan.
“Dampaknya di wilayah dataran rendah, curah hujan sangat rendah sementara di wilayah pegunungan terjadi kondisi ekstrem, panas pada siang hari dan pada malam hari suhu sangat dingin yang bisa mencapai titik beku. Fenomena inilah yang menjadikan embun berubah menjadi es,” jelas Irio saat ditemui di kantor BMKG Jayapura, Senin (13/7).
Karena suhu sangat dingin mencapai titik beku, jelas Irio, uap serta air yang ada dalam tanaman akhirnya berubah menjadi es yang menempel di daun tumbuh-tumbuhan dan di atas tanah.
“Bentuknya mirip salju ketimbang batuan es jika terjadi hujan es,” ungkap Irio.
Dijelaskan Irio, untuk fenomena hujan es biasanya terbentuk di wilayah dataran rendah, sementara untuk wilayah dataran tinggi, walau terjadi pembentukan awan, namun hujan yang terjadi tetap berbentuk air.
Seperti diberitakan sebelumnya, kurang lebih 10.000 penduduk dari 3 kampung di Distrik Agadugume, Kabupaten Puncak terancam mengalami rawan pangan akibat hujan es berkepanjangan. [Kompas]