Alex Hesegem Terjerat Kasus Sengketa Pilkada yang Ditangani Akil Mochtar
pada tanggal
Wednesday, 22 July 2015
JAKARTA - Mantan Wakil Gubernur Papua periode 2005-2011, Alex Hesegem disebut akan ikut terseret dalam kasus suap sengketa pilkada yang ditangani oleh Mantan Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Akil Mochtar. Pasalnya Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) terus mendalami kasus yang menjerat mantan Ketua MK itu.
Menurut Kepala Bagian Pemberitaan dan Informasi KPK Priharsa Nugraha, mengatakan sampai saat ini penyidik terus mendalami perkara tersebut. Menurut dia, kasus suap sengketa pilkada itu salah satu kasus prioritas yang ditangani oleh KPK. Termasuk Alex Hesegem bersama beberapa tiga kepala daerah lainnya masih didalami oleh penyidik.
“Karena melibatkan banyak kepala daerah dan kerugian negara besar,” ujarnya.
Ketiga orang itu adalah Zainudin Amali (Ketua pemenangan Soekarwo - Saifullah Yusuf) dalam putusan Akil disebut menyanggupi memberikan uang Rp 10 miliar. Samsu Umar Abdul Samiun (Bupati Buton) disebut dalam putusan Akil menyuap Rp 2,989 miliar, Ryco Menoza (Bupati Lampung Selatan) dalam dakwaan Akil disebut mengirimkan uang Rp 500 juta. Sedangkan Alex Hesegem sendiri pernah mengirimkan uang Rp 125 juta untuk konsultasi sengketa pilkada Merauke, Asmat, dan Boven Digoel.
Sebelumnya dalam fakta persidangan di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor), ada sekitar 10 pemilihan kepala daerah yang menggunakan jasa Akil Mochtar. Enam orang sudah ditetapkan sebagai tersangka.
Yang terakhir, pada 2 Juli, KPK menetapkan Bupati Empat Lawang Sumatera Selatan Budi Antoni Al-Jufri bersama istrinya Suzana Budi Antoni sebagai tersangka. Keduanya terbukti menyuap Akil Rp 10 miliar dan USD 500 ribu. Uang itu diberikan agar Budi yang saat itu berpasangan Syahril Hanafiah kembali duduk sebagai bupati dan wakil bupati di Empat Lawang.
Pasalnya dalam pilkada tersebut pasangan itu kalah oleh pasangan Joncik Muhammad dan Ali Halimi. Uang itu ditransfer oleh Suzana ke rekening CV Ratu Semangat milik istri Akil lewat Bank Pembangunan Daerah Kalimantan Barat (BPD Kalbar) cabang Jakarta. Namun, dalam persidangan keduanya membantah pernah memberikan uang kepada Akil.
Pelaksana tugas (plt) pimpinan KPK Johan Budi Sapto Prabowo mengaku kasus suap sengketa pilkada tidak berhenti sampai ditetapkannya Budi Antoni sebagai tersangka. Menurut dia KPK masih terus mengembangkan dan mendalami perkara itu.
“Terus kami dalami keterlibatan kepala daerah yang lain,” jelasnya ketika dihubungi (20/7).
Lambatnya KPK ini membuat publik gusar. Pasalnya akhir tahun ini KPK akan mengalami pergantian pimpinan. Dikhawatirkan, jika pimpinan lembaga superbody itu berganti, maka kasus-kasus yang ditangani akan terbengkakalai.
Menanggapi itu, Johan memastikan kasus suap sengketa pilkada akan terus berlanjut. Menurut dia, lamanya penanganan kasus tersebut lantaran penyidik harus menemukan dua alat bukti yang cukup. Sebab jika alat buktinya kurang, maka riskan penetapan tersangka akan digagalkan lewat praperadilan.
“Ini hanya terkait alat bukti saja,” terangnya.
Sebelumnya pada April 2014 lalu, Alex Hesegem pernah menjadi saksi sidang kasus dugaan suap pengurusan sengketa pilkada di MK dengan terdakwa Akil Mochtar. Dalam kesaksiannya, Alex mengakui berteman dekat dengan Akil karena pernah sama-sama menjadi anggota DPR dari Fraksi Partai Golkar.
Alex juga menjelaskan, karena kedekatan itu dirinya kemudian berkomunikasi dengan Akil ketika menjadi Ketua MK. Dalam komunikasi itu, Alex menanyakan perihal pilkada-pilkada di Provinsi Papua yang digugat ke MK.
"Ada 29 kota, begitu selesai (pilkada) semua berujung di MK. Karena Pak Akil teman dekat, saya cek penyelesaiannya. Sebagai Wakil Gubernur, saya cek pilkada yang berujung di MK supaya tidak terjadi kekosongan kepemimpinan," kata Alex di Pengadilan Negeri Tipikor, Jakarta, Kamis (3/4).
Akil, kata Alex, kemudian meminta dirinya bersabar. Sebab, sengketa-sengketa pilkada itu memang tengah berperkara di MK. Namun, di akhir komunikasi itu Akil mengeluh kepada Alex kalau ponselnya kehabisan pulsa. Kemudian, Alex meminta nomor rekening Akil.
"Kata Akil, 'Wagub, pulsa habis nih'. Lalu saya jawab, sudah kasih rekening, nanti saya kirim," cerita Alex.
Alex mengaku akhirnya mengirim 'uang pulsa' sebesar Rp 25 juta sebanyak 2 kali melalui transfer. Dia mengatakan, tak mungkin seorang Wakil Gubernur seperti dirinya mengirim uang pulsa beneran.
"Masa sekelas wagub kirim pulsa, jadi saya kirim uang karena hubungan persahabatan. Lucu toh kalau wagub ngirim pulsa," katanya.
Tak cuma itu, Alex juga kembali mengirim uang ke Akil masing-masing sebesar Rp 25 juta dan Rp 50 juta. Uang itu dikirim juga melalui transfer.
Namun, Alex membantah pengirim uang itu terkait dengan pilkada-pilkada di Papua yang tengah bersengketa di MK. Meskipun dia tidak membantah pernah bertanya ke Akil soal sengketa-sengketa pilkada itu.
"(Tanya sengketa) secara menyeluruh, tidak untuk perorangan. Harapan kita kalau bisa diputuskan segera semuanya," ucapnya.
Akil sendiri didakwa menerima hadiah atau janji terkait belasan pengurusan sengketa pilkada di MK. Di antaranya pengurusan sejumlah sengketa pilkada di Provinsi Papua.
Dalam dakwaan, Akil disebut menerima uang sebanyak Rp 125 juta dari Wakil Gubernur Papua periode 2006-2011, Alex Hesegem. Uang itu merupakan kompensasi karena Alex berkonsultasi kepada Akil soal Pilkada Kabupaten Merauke, Kabupaten Asmat, dan Kabupaten Boven Digoel yang bersengketa di MK. [JPNN/Liputan6]
Menurut Kepala Bagian Pemberitaan dan Informasi KPK Priharsa Nugraha, mengatakan sampai saat ini penyidik terus mendalami perkara tersebut. Menurut dia, kasus suap sengketa pilkada itu salah satu kasus prioritas yang ditangani oleh KPK. Termasuk Alex Hesegem bersama beberapa tiga kepala daerah lainnya masih didalami oleh penyidik.
“Karena melibatkan banyak kepala daerah dan kerugian negara besar,” ujarnya.
Ketiga orang itu adalah Zainudin Amali (Ketua pemenangan Soekarwo - Saifullah Yusuf) dalam putusan Akil disebut menyanggupi memberikan uang Rp 10 miliar. Samsu Umar Abdul Samiun (Bupati Buton) disebut dalam putusan Akil menyuap Rp 2,989 miliar, Ryco Menoza (Bupati Lampung Selatan) dalam dakwaan Akil disebut mengirimkan uang Rp 500 juta. Sedangkan Alex Hesegem sendiri pernah mengirimkan uang Rp 125 juta untuk konsultasi sengketa pilkada Merauke, Asmat, dan Boven Digoel.
Sebelumnya dalam fakta persidangan di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor), ada sekitar 10 pemilihan kepala daerah yang menggunakan jasa Akil Mochtar. Enam orang sudah ditetapkan sebagai tersangka.
Yang terakhir, pada 2 Juli, KPK menetapkan Bupati Empat Lawang Sumatera Selatan Budi Antoni Al-Jufri bersama istrinya Suzana Budi Antoni sebagai tersangka. Keduanya terbukti menyuap Akil Rp 10 miliar dan USD 500 ribu. Uang itu diberikan agar Budi yang saat itu berpasangan Syahril Hanafiah kembali duduk sebagai bupati dan wakil bupati di Empat Lawang.
Pasalnya dalam pilkada tersebut pasangan itu kalah oleh pasangan Joncik Muhammad dan Ali Halimi. Uang itu ditransfer oleh Suzana ke rekening CV Ratu Semangat milik istri Akil lewat Bank Pembangunan Daerah Kalimantan Barat (BPD Kalbar) cabang Jakarta. Namun, dalam persidangan keduanya membantah pernah memberikan uang kepada Akil.
Pelaksana tugas (plt) pimpinan KPK Johan Budi Sapto Prabowo mengaku kasus suap sengketa pilkada tidak berhenti sampai ditetapkannya Budi Antoni sebagai tersangka. Menurut dia KPK masih terus mengembangkan dan mendalami perkara itu.
“Terus kami dalami keterlibatan kepala daerah yang lain,” jelasnya ketika dihubungi (20/7).
Lambatnya KPK ini membuat publik gusar. Pasalnya akhir tahun ini KPK akan mengalami pergantian pimpinan. Dikhawatirkan, jika pimpinan lembaga superbody itu berganti, maka kasus-kasus yang ditangani akan terbengkakalai.
Menanggapi itu, Johan memastikan kasus suap sengketa pilkada akan terus berlanjut. Menurut dia, lamanya penanganan kasus tersebut lantaran penyidik harus menemukan dua alat bukti yang cukup. Sebab jika alat buktinya kurang, maka riskan penetapan tersangka akan digagalkan lewat praperadilan.
“Ini hanya terkait alat bukti saja,” terangnya.
Sebelumnya pada April 2014 lalu, Alex Hesegem pernah menjadi saksi sidang kasus dugaan suap pengurusan sengketa pilkada di MK dengan terdakwa Akil Mochtar. Dalam kesaksiannya, Alex mengakui berteman dekat dengan Akil karena pernah sama-sama menjadi anggota DPR dari Fraksi Partai Golkar.
Alex juga menjelaskan, karena kedekatan itu dirinya kemudian berkomunikasi dengan Akil ketika menjadi Ketua MK. Dalam komunikasi itu, Alex menanyakan perihal pilkada-pilkada di Provinsi Papua yang digugat ke MK.
"Ada 29 kota, begitu selesai (pilkada) semua berujung di MK. Karena Pak Akil teman dekat, saya cek penyelesaiannya. Sebagai Wakil Gubernur, saya cek pilkada yang berujung di MK supaya tidak terjadi kekosongan kepemimpinan," kata Alex di Pengadilan Negeri Tipikor, Jakarta, Kamis (3/4).
Akil, kata Alex, kemudian meminta dirinya bersabar. Sebab, sengketa-sengketa pilkada itu memang tengah berperkara di MK. Namun, di akhir komunikasi itu Akil mengeluh kepada Alex kalau ponselnya kehabisan pulsa. Kemudian, Alex meminta nomor rekening Akil.
"Kata Akil, 'Wagub, pulsa habis nih'. Lalu saya jawab, sudah kasih rekening, nanti saya kirim," cerita Alex.
Alex mengaku akhirnya mengirim 'uang pulsa' sebesar Rp 25 juta sebanyak 2 kali melalui transfer. Dia mengatakan, tak mungkin seorang Wakil Gubernur seperti dirinya mengirim uang pulsa beneran.
"Masa sekelas wagub kirim pulsa, jadi saya kirim uang karena hubungan persahabatan. Lucu toh kalau wagub ngirim pulsa," katanya.
Tak cuma itu, Alex juga kembali mengirim uang ke Akil masing-masing sebesar Rp 25 juta dan Rp 50 juta. Uang itu dikirim juga melalui transfer.
Namun, Alex membantah pengirim uang itu terkait dengan pilkada-pilkada di Papua yang tengah bersengketa di MK. Meskipun dia tidak membantah pernah bertanya ke Akil soal sengketa-sengketa pilkada itu.
"(Tanya sengketa) secara menyeluruh, tidak untuk perorangan. Harapan kita kalau bisa diputuskan segera semuanya," ucapnya.
Akil sendiri didakwa menerima hadiah atau janji terkait belasan pengurusan sengketa pilkada di MK. Di antaranya pengurusan sejumlah sengketa pilkada di Provinsi Papua.
Dalam dakwaan, Akil disebut menerima uang sebanyak Rp 125 juta dari Wakil Gubernur Papua periode 2006-2011, Alex Hesegem. Uang itu merupakan kompensasi karena Alex berkonsultasi kepada Akil soal Pilkada Kabupaten Merauke, Kabupaten Asmat, dan Kabupaten Boven Digoel yang bersengketa di MK. [JPNN/Liputan6]