Polda Papua Klaim Anggotanya Tidak Menembak Warga Enarotali pada Desember 2014
pada tanggal
Tuesday, 2 June 2015
KOTA JAYAPURA – Polda Papua menyatakan, Mabes Polri sudah merampungkan pemeriksaan terhadap 16 senjata api (senpi) milik personel Polres Paniai yang diduga digunakan untuk menembak warga di Enarotali, Papua. Hasilnya, senpi itu terbukti tidak digunakan dalam insiden tersebut.
Meski begitu, Kapolda Papua Irjen Yotje Mende mengatakan, pemeriksaan 16 senjata itu merupakan uji balistik tahap pertama. Uji balestik berikutnya akan dilakukan terhadap 84 senpi lainnya di Makassar.
Ia mengatakan, uji balistik dilakukan guna mencari tahu ada tidaknya senjata anggota yang pelurunya mirip dengan yang ditemukan di tubuh korban. Selain itu, pemeriksaan itu juga sebagai tanda polisi serius untuk mengungkap kasus tersebut.
"Insiden penembakan itu terjadi karena ratusan warga menyerang Koramil yang awalnya dipicu pemukulan terhadap sekelompok pemuda di Pondok Natal pada 7 Desember 2014, malam," kata ujar Mende, Senin (1/6).
Ia juga mengatakan, Polda Papua sudah menghubungi tokoh agama dan tokoh masyarakat Papua. Kepada mereka, polisi meminta bantuan untuk mengungkap kasus tersebut.
Sebelumnya pada Desember 2014 lalu lima warga sipil di Enarotali, Paniai dilaporkan tewas ditempat setelah ditembak aparat gabungan di lapangan Karel Gobai, Distrik Madi, kabupaten Paniai, Papua, Senin (8/12) sekitar pukul 10.00 WIT.
Selain menewaskan warga, insiden tersebut juga mengakibatkan 22 orang lainnya luka-luka. Warga tersebut adalah Habakuk Degei, Neles Gobai, Bertus Gobai dan Apinus Gobai, yang kritis empat orang dan 22 lainnya mengalami luka-luka,’’ terang Ketua Lembaga Masyarakat Adat (LMA) Paniai, John Gobay di Jayapura, Senin (8/12).
Berselang lima jam kemudian, Yones melaporkan, satu lagi warga sipil atas nama Saday Yeimo, yang sempat mendapatkan pengobatan di Rumah Sakit Madi, Enarotali, Paniai.
Penembakan terjadi saat masyarakat dari Kampung Togokotu berkumpul di lapangan Soharto Distrik Madi, Paniai, untuk mempertanyakan kasus yang terjadi malam sebelumnya. Warga berkumpul lalu melakukan waita (tarian khas suku-suku di Paniai), setelah sebelumnya membakar mobil forturner warna hitam yang diduga digunakan pelaku penganiaya terhadap warga yang berkumpul di Pondok Natal di Kampung Ipakiye, Paniai Timur.
Polisi lalu menuju ke lapangan tempat untuk membubarkan massa. Jarak dari Kantor Polsek ke lapangan 50 meter. Massa bukannya bubar malah terus melakukan waita. Aparat kemudian melepaskan tembakan, 4 warga tewas ditempat, sementara yang lainnya mengalami luka-luka.
Penganiyaan yang terjadi malam, Minggu (7/12) berawal dari sebuah mobil Fortuner warna hitam tanpa menyalakan lampu melintas di perbukitam Togokottu. Di puncak bukit tersebut pemuda gereja membangun sebuah pondok natal. Anak-anak yang berada di posko menegur pengendara mobil yang tidak menyalakan lampu padahal lagi mengemudi di malam hari.
Pertengkaran mulut antara pengedara mobil dan anak-anak setempat. Selanjutnya mobil melaju menuju ke Posko Timsus 753 Uwibutu. Tak lama berselang mobil tersebut kembali ke posko natal membawa serta teman-temannya lalu menganiaya anak usia 12 tahun.
Senin paginya warga berkumpul di lapangan Suharto ingin mempertanyakan siapa pengendara mobil forturner tersebut dan kenapa melakukan penganiayaan, tetapi aparat menanggapi berlebihan dianggap massa akan menyerang aparat yang mendatangi mereka di lapangan.
Atas dasar itu Ketua LMA Paniai ini, menuntut Kapolda Papua, Pangdam XVII/Cenderawsih bertanggung jawab atas kejadian ini, memeriksa Komandan Timsus 753 Enarotali, dan semua aparat yang terkait dengan penembakan dan apa penyebab penembakan lalu melakukan proses hukum. ‘’Pelaku penembakan harus dihukum sebera-beratnya,’’ tegasnya.
Sementara itu Koodinator Jaringan Damai Papua, Pastor Neles Tebay yang juga Ketua Sekolah Tinggi Filsafat Theologia (STFT) Fajar Timur Abepura, Papua mengatakan Polisi harus menjelaskan landasan hukum yang mendasari aksi penembakan terhadap warga sipil, pemuda gereja yang bukan anggota Keklompok Kriminal Bersenjata(KKB) atau Tentara Pembebasan Nasional (TPN) Papua Barat.[Antara]
Meski begitu, Kapolda Papua Irjen Yotje Mende mengatakan, pemeriksaan 16 senjata itu merupakan uji balistik tahap pertama. Uji balestik berikutnya akan dilakukan terhadap 84 senpi lainnya di Makassar.
Ia mengatakan, uji balistik dilakukan guna mencari tahu ada tidaknya senjata anggota yang pelurunya mirip dengan yang ditemukan di tubuh korban. Selain itu, pemeriksaan itu juga sebagai tanda polisi serius untuk mengungkap kasus tersebut.
"Insiden penembakan itu terjadi karena ratusan warga menyerang Koramil yang awalnya dipicu pemukulan terhadap sekelompok pemuda di Pondok Natal pada 7 Desember 2014, malam," kata ujar Mende, Senin (1/6).
Ia juga mengatakan, Polda Papua sudah menghubungi tokoh agama dan tokoh masyarakat Papua. Kepada mereka, polisi meminta bantuan untuk mengungkap kasus tersebut.
Sebelumnya pada Desember 2014 lalu lima warga sipil di Enarotali, Paniai dilaporkan tewas ditempat setelah ditembak aparat gabungan di lapangan Karel Gobai, Distrik Madi, kabupaten Paniai, Papua, Senin (8/12) sekitar pukul 10.00 WIT.
Selain menewaskan warga, insiden tersebut juga mengakibatkan 22 orang lainnya luka-luka. Warga tersebut adalah Habakuk Degei, Neles Gobai, Bertus Gobai dan Apinus Gobai, yang kritis empat orang dan 22 lainnya mengalami luka-luka,’’ terang Ketua Lembaga Masyarakat Adat (LMA) Paniai, John Gobay di Jayapura, Senin (8/12).
Berselang lima jam kemudian, Yones melaporkan, satu lagi warga sipil atas nama Saday Yeimo, yang sempat mendapatkan pengobatan di Rumah Sakit Madi, Enarotali, Paniai.
Penembakan terjadi saat masyarakat dari Kampung Togokotu berkumpul di lapangan Soharto Distrik Madi, Paniai, untuk mempertanyakan kasus yang terjadi malam sebelumnya. Warga berkumpul lalu melakukan waita (tarian khas suku-suku di Paniai), setelah sebelumnya membakar mobil forturner warna hitam yang diduga digunakan pelaku penganiaya terhadap warga yang berkumpul di Pondok Natal di Kampung Ipakiye, Paniai Timur.
Polisi lalu menuju ke lapangan tempat untuk membubarkan massa. Jarak dari Kantor Polsek ke lapangan 50 meter. Massa bukannya bubar malah terus melakukan waita. Aparat kemudian melepaskan tembakan, 4 warga tewas ditempat, sementara yang lainnya mengalami luka-luka.
Penganiyaan yang terjadi malam, Minggu (7/12) berawal dari sebuah mobil Fortuner warna hitam tanpa menyalakan lampu melintas di perbukitam Togokottu. Di puncak bukit tersebut pemuda gereja membangun sebuah pondok natal. Anak-anak yang berada di posko menegur pengendara mobil yang tidak menyalakan lampu padahal lagi mengemudi di malam hari.
Pertengkaran mulut antara pengedara mobil dan anak-anak setempat. Selanjutnya mobil melaju menuju ke Posko Timsus 753 Uwibutu. Tak lama berselang mobil tersebut kembali ke posko natal membawa serta teman-temannya lalu menganiaya anak usia 12 tahun.
Senin paginya warga berkumpul di lapangan Suharto ingin mempertanyakan siapa pengendara mobil forturner tersebut dan kenapa melakukan penganiayaan, tetapi aparat menanggapi berlebihan dianggap massa akan menyerang aparat yang mendatangi mereka di lapangan.
Atas dasar itu Ketua LMA Paniai ini, menuntut Kapolda Papua, Pangdam XVII/Cenderawsih bertanggung jawab atas kejadian ini, memeriksa Komandan Timsus 753 Enarotali, dan semua aparat yang terkait dengan penembakan dan apa penyebab penembakan lalu melakukan proses hukum. ‘’Pelaku penembakan harus dihukum sebera-beratnya,’’ tegasnya.
Sementara itu Koodinator Jaringan Damai Papua, Pastor Neles Tebay yang juga Ketua Sekolah Tinggi Filsafat Theologia (STFT) Fajar Timur Abepura, Papua mengatakan Polisi harus menjelaskan landasan hukum yang mendasari aksi penembakan terhadap warga sipil, pemuda gereja yang bukan anggota Keklompok Kriminal Bersenjata(KKB) atau Tentara Pembebasan Nasional (TPN) Papua Barat.[Antara]