Panitia Kerja Pasar Mama-Mama Papua DPR Papua Tinjau Kantor Baru Perum Damri
pada tanggal
Thursday, 4 June 2015
KOTA JAYAPURA - Pihak Panitia Kerja Pasar Mama – Mama Papua DPR Papua meninjau lokasi pembangunan kantor permanen Perum Damri di Jalan Baru, Kotaraja, Kota Jayapura, Rabu (3/6). Di lokasi, Panja DPRP bertemu pihak Kerukunan Keluarga Sulawesi Selatan (KKSS), dan masyarakat adat yang mengklaim sebagai pemilik ulayat.
Sekretaris Panja DPR Papua, Deerd Tabuni mengatakan, pihaknya ke lokasi untuk melihat apakah luas lahan sesuai laporan yang diterima pihaknya 1,5 hektar. Katanya, tanah itu awalnya milik Pemprov Papua yang dihibahkan kepada KKSS.
KKSS kembali menyerahkan kembali ke pemerintah, dan pada 2013 lalu, pemerintah sudah membayar hak ulayat Rp 5 miliar lebih. Namun kini ada pihak yang mengkalim pemilik tanah menyatakan belum ada pembayaran adat.
“Kami DPRP hanya bisa menfasilitasi kalau masalah bayar membayar itu ada pada pemerintah. Tanah ini sudah bersertifikat dari Badan Pertanahan Nasional, juga ada bukti pelepasan adat yang ditandatangani beberapa ondoafi. Jadi masyarakat yang protes silahkan selesaikan masalah itu di para – para adat. Kami tak mau orang Papua terus ketinggalan dari daerah lain,” kata Deerd Tabuni usai kunjungan.
DPRP menilai, sengketa tanah itu sudah selesai. Tak ada alasan pembangunan kator permanen Perum Damri ditunda, agar kantor mereka kini dijadikan lokasi pembangunan pasar mama – mama Papua.
“Identitasi orang asli Papua salah satunya di pasar mama-mama itu. Kalau perlu pakai cara pemerintah untuk melakukan pembangunan,” ucapnya.
Sementara Sefner Fingkreuw, salah satu perwakilan Suku Sanyi, yang mengkalim sebagai pemilik hak ulayat lahan itu mengatakan, yang menjual tanah itu bukanlah pemilik ulayat.
“Jadi kami mau ini diluruskan. Kalau DPRP fasilitasi pembayaran kepada keluarga Sanyi baru ada pembangunan. Tanah ini bukan milik orang Enggros atau Tobati, tapi ini milik keluarga Fingkreuw yang diserahkan kepada keluarga Sanyi,” kata Sefner Fingkreuw. [Jubi]
Sekretaris Panja DPR Papua, Deerd Tabuni mengatakan, pihaknya ke lokasi untuk melihat apakah luas lahan sesuai laporan yang diterima pihaknya 1,5 hektar. Katanya, tanah itu awalnya milik Pemprov Papua yang dihibahkan kepada KKSS.
KKSS kembali menyerahkan kembali ke pemerintah, dan pada 2013 lalu, pemerintah sudah membayar hak ulayat Rp 5 miliar lebih. Namun kini ada pihak yang mengkalim pemilik tanah menyatakan belum ada pembayaran adat.
“Kami DPRP hanya bisa menfasilitasi kalau masalah bayar membayar itu ada pada pemerintah. Tanah ini sudah bersertifikat dari Badan Pertanahan Nasional, juga ada bukti pelepasan adat yang ditandatangani beberapa ondoafi. Jadi masyarakat yang protes silahkan selesaikan masalah itu di para – para adat. Kami tak mau orang Papua terus ketinggalan dari daerah lain,” kata Deerd Tabuni usai kunjungan.
DPRP menilai, sengketa tanah itu sudah selesai. Tak ada alasan pembangunan kator permanen Perum Damri ditunda, agar kantor mereka kini dijadikan lokasi pembangunan pasar mama – mama Papua.
“Identitasi orang asli Papua salah satunya di pasar mama-mama itu. Kalau perlu pakai cara pemerintah untuk melakukan pembangunan,” ucapnya.
Sementara Sefner Fingkreuw, salah satu perwakilan Suku Sanyi, yang mengkalim sebagai pemilik hak ulayat lahan itu mengatakan, yang menjual tanah itu bukanlah pemilik ulayat.
“Jadi kami mau ini diluruskan. Kalau DPRP fasilitasi pembayaran kepada keluarga Sanyi baru ada pembangunan. Tanah ini bukan milik orang Enggros atau Tobati, tapi ini milik keluarga Fingkreuw yang diserahkan kepada keluarga Sanyi,” kata Sefner Fingkreuw. [Jubi]