Lenius Kogoya Nilai Freeport Indonesia Belum Berikan Bantuan ke Masyarakat Adat
pada tanggal
Tuesday, 30 June 2015
KOTA JAYAPURA - Staf Khusus Kepresidenan, Lenius Kogoya menyatakan dirinya akan ke PT Freeport Indonesia (PTFI) guna mengecek secara langsung pembayaran uang ulayat yang diberikan oleh perusahaan itu kepada masyarakat di sekitar areal perusahaan yang berada di Kabupaten Mimika.
Ia mengklaim saat ini masih ada keluhan masyarakat terkait pihak perusahaan yang belum melaksanakan kewajibannya. Untuk itu, pihaknya akan turun langsung ke lapangan dan memastikan bantuan yang selama ini diberikan sampai ke masyarakat.
“Kami masih menerima aduan bahwa PT Freeport Indonesia belum membayar hak ulayat atas tanah adat Suku Amungme yang digunakan sebagai wilayah kerjanya,” katanya di Sekretariat Negara, Jakarta, Senin (29/6).
Lenius menuturkan persoalan hak ulayat atas tanah adat sangat penting bagi masyarakat Papua, karena menjadi dasar dari kerja sama antara investor dengan masyarakat setempat.
Bahkan, investor diharuskan mencapai kesepakatan dengan masyarakat setempat terlebih dahulu, sebelum mendapatkan izin untuk menanamkan modalnya di Papua.
Menurut Ketua Lembaga Masyarakat Adat Papua ini, masyarakat Suku Amungme selama ini merasa belum pernah menandatangani kerja sama dengan Freeport, terkait wilayah operasionalnya. Padahal, perusahaan asal Amerika Serikat tersebut telah beroperasi selama 48 tahun di provinsi tersebut.
“Kami akan turun ke lapangan untuk melihat apa saja yang sudah diberikan kepada masyarakat, dan memastikan seluruhnya sampai ke tangan yang berhak,” ujarnya.
Lenis juga menyebutkan pemerintah pusat akan memfasilitasi pertemuan antara Suku Amungme dengan Freeport untuk membicrakan hak dan kewajiban kedua pihak tersebut. Sehingga diharapkan dapat diraih kata sepakat yang saling menguntungkan.
Selama ini, Freeport telah mengeluarkan 1% dari total pendapatan kotornya per tahun untuk mengembangkan wilayah sekitarnya.
Akan tetapi, alokasi tersebut dinilai bukanlah ganti rugi hak ulayat, karena dikeluarkan sebagai kompensasi atas kerusuhan yang terjadi di Kabupaten Mimika pada tahun 1996-1997 lalu, yang melahirkan LPMAK. [Bisnis/Papuanesia]
Ia mengklaim saat ini masih ada keluhan masyarakat terkait pihak perusahaan yang belum melaksanakan kewajibannya. Untuk itu, pihaknya akan turun langsung ke lapangan dan memastikan bantuan yang selama ini diberikan sampai ke masyarakat.
“Kami masih menerima aduan bahwa PT Freeport Indonesia belum membayar hak ulayat atas tanah adat Suku Amungme yang digunakan sebagai wilayah kerjanya,” katanya di Sekretariat Negara, Jakarta, Senin (29/6).
Lenius menuturkan persoalan hak ulayat atas tanah adat sangat penting bagi masyarakat Papua, karena menjadi dasar dari kerja sama antara investor dengan masyarakat setempat.
Bahkan, investor diharuskan mencapai kesepakatan dengan masyarakat setempat terlebih dahulu, sebelum mendapatkan izin untuk menanamkan modalnya di Papua.
Menurut Ketua Lembaga Masyarakat Adat Papua ini, masyarakat Suku Amungme selama ini merasa belum pernah menandatangani kerja sama dengan Freeport, terkait wilayah operasionalnya. Padahal, perusahaan asal Amerika Serikat tersebut telah beroperasi selama 48 tahun di provinsi tersebut.
“Kami akan turun ke lapangan untuk melihat apa saja yang sudah diberikan kepada masyarakat, dan memastikan seluruhnya sampai ke tangan yang berhak,” ujarnya.
Lenis juga menyebutkan pemerintah pusat akan memfasilitasi pertemuan antara Suku Amungme dengan Freeport untuk membicrakan hak dan kewajiban kedua pihak tersebut. Sehingga diharapkan dapat diraih kata sepakat yang saling menguntungkan.
Selama ini, Freeport telah mengeluarkan 1% dari total pendapatan kotornya per tahun untuk mengembangkan wilayah sekitarnya.
Akan tetapi, alokasi tersebut dinilai bukanlah ganti rugi hak ulayat, karena dikeluarkan sebagai kompensasi atas kerusuhan yang terjadi di Kabupaten Mimika pada tahun 1996-1997 lalu, yang melahirkan LPMAK. [Bisnis/Papuanesia]