Komnas Perempuan Desak Perda Perlindungan dan Anti Kekerasan Didaftarkan
pada tanggal
Thursday, 4 June 2015
KOTA JAYAPURA - Komisi Nasional (Komnas) Anti Kekerasan Terhadap Perempuan Republik Indonesia beserta sejumlah LSM perempuan dan organisasi perempuan di Papua mendesak DPR Papua untuk memastikan peraturan daerah khusus (Perdasus) tentang pemulihan hak-hak perempuan Papua korban kekerasan dan pelanggaran HAM agar bisa dapat nomor dari Pemerintah Provinsi Papua dan deregister dalam lembaran daerah.
Ini merupakan salah satu point penting yang disampaikan Anti Kekerasan Terhadap Perempuan Republik Indonesia beserta beberapa organisasi perempuan yang ada di Papua saat menemui DPR Papua dalam hal ini Anggota Komisi I DPRP yang membidangi Pemerintahan, Hukum dan HAM.
Anggota Komnas Anti Kekerasan Terhadap PerempuanRI, Saur Tumiur Situmorang mengatakan, ada empat hal penting yang dibahas dalam pertemuan dengan Komisi I. Yaitu mendorong agar DPR Papua memastikan Perdasus tentang pemulihan hak-hak perempuan Papua korban kekerasan dan pelanggaran HAM bisa dapat nomor dari Pemerintah Provinsi dan diregistrasi dalam lembaran.
“Kami memandang itu sangat orjen untuk pemulihan perempuan Papua korban kekerasan dan pelanggaran HAM sehingga Perdasus ini harus di dorong, “ kata Saur Tumiur Situmorang saat ditemui wartawan usai melakukan pertemuai dengan Komisi I DPR Papua, Jumat (29/5).
Selain itu, Tim juga mendorong DPRP memastikan partisipasi perempuan dalam mengambil kebijakan ketika terjadi peralihan fungsi tanah sehingga hak perempuan terlindungi. Serta mendorong DPRP terkait kasus Paniai dalam perdamaian namun justru mengalami kekerasan.
Ketika di singgung mengenai seburuk apa kondisi kekerasan terhadap perempuan di Papua, Saur mengatakan, dari pendekomentasian yang dilakukan 40 tahun terakhir, kekerasan terhadap perempuan Papua dari tahun 1963-2009, Perempuan Papua mengalami kekerasan berlapis, baik kekerasan dalam rumah tangga, kekerasan dari komunitas adat dan kekerasan oleh Negara.
“Yang kami pahami di Papua punya budaya dan ketika terjadi konflik, perempuan ada yang muncul menyuarakan perdamaian meminta supaya kekerasan dihentikan. Seperti sekerasan yang terjadi di Paniai dimana ada salah satu mama Papua itu berteriak untuk menghentikam kekerasan, justru mama itu malah tertembak. Nah, disitulah ketidak pahamanan aparat terhadap budaya lokal di Papua, “ ucapnya.
Menurutnya, kaum perempuan seharusnya diberlakukan dengan adil dan diposisikan setara dengan kaum laki-laki dalam konteks orang asli Papua. “Orang asli Papua juga harus setara dengan orang lain sehingga tidak ada diskriminas, “ tandasnya.
Sementara itu, Sekretaris Komisi I DPR Papua, Mathea Mamoyao, S. Sos yang juga sebagai perwakilan perempuan asli Papua mengatakan, terkait dengan permintaan Komnas Perempuan yang meminta DPR Papua memastikan Perdasus perlindungan terhadap perempuan untuk segera masuk dalam lembaran daerah termasuk termasuk usulan anggaran yang disampaikan.
“Pada prinsipnya kami siap membantu dan mendorong hal ini, sehingga
perdasus tentang pemulihan hak-hak perempuan Papua. Korban kekerasan dan pelanggaran HAM agar bisa diberi nomor dan masuk dalam lembaran daerah sehingga implementasi perdasus itu bisa membantu para korban, “ jelasnya.
Diakuinya, kalau kekerasan terhadap perempuan di Papua masih cukup tinggi dan hal ini sudah diperjuangkan oleh organisasi dan lembag-lembaga pemerhati perempuan dengan berbagai kegiatan, namun belum ada yuridis atau aturan sebagai landasan.
“Kita tidak bisa pungkiri kekerasan terhadap kaum perempuan di Papua cukup tinggi sehingga perlu diseriusi oleh semua pihak, “ tandasnya. [PasifikPos]
Ini merupakan salah satu point penting yang disampaikan Anti Kekerasan Terhadap Perempuan Republik Indonesia beserta beberapa organisasi perempuan yang ada di Papua saat menemui DPR Papua dalam hal ini Anggota Komisi I DPRP yang membidangi Pemerintahan, Hukum dan HAM.
Anggota Komnas Anti Kekerasan Terhadap PerempuanRI, Saur Tumiur Situmorang mengatakan, ada empat hal penting yang dibahas dalam pertemuan dengan Komisi I. Yaitu mendorong agar DPR Papua memastikan Perdasus tentang pemulihan hak-hak perempuan Papua korban kekerasan dan pelanggaran HAM bisa dapat nomor dari Pemerintah Provinsi dan diregistrasi dalam lembaran.
“Kami memandang itu sangat orjen untuk pemulihan perempuan Papua korban kekerasan dan pelanggaran HAM sehingga Perdasus ini harus di dorong, “ kata Saur Tumiur Situmorang saat ditemui wartawan usai melakukan pertemuai dengan Komisi I DPR Papua, Jumat (29/5).
Selain itu, Tim juga mendorong DPRP memastikan partisipasi perempuan dalam mengambil kebijakan ketika terjadi peralihan fungsi tanah sehingga hak perempuan terlindungi. Serta mendorong DPRP terkait kasus Paniai dalam perdamaian namun justru mengalami kekerasan.
Ketika di singgung mengenai seburuk apa kondisi kekerasan terhadap perempuan di Papua, Saur mengatakan, dari pendekomentasian yang dilakukan 40 tahun terakhir, kekerasan terhadap perempuan Papua dari tahun 1963-2009, Perempuan Papua mengalami kekerasan berlapis, baik kekerasan dalam rumah tangga, kekerasan dari komunitas adat dan kekerasan oleh Negara.
“Yang kami pahami di Papua punya budaya dan ketika terjadi konflik, perempuan ada yang muncul menyuarakan perdamaian meminta supaya kekerasan dihentikan. Seperti sekerasan yang terjadi di Paniai dimana ada salah satu mama Papua itu berteriak untuk menghentikam kekerasan, justru mama itu malah tertembak. Nah, disitulah ketidak pahamanan aparat terhadap budaya lokal di Papua, “ ucapnya.
Menurutnya, kaum perempuan seharusnya diberlakukan dengan adil dan diposisikan setara dengan kaum laki-laki dalam konteks orang asli Papua. “Orang asli Papua juga harus setara dengan orang lain sehingga tidak ada diskriminas, “ tandasnya.
Sementara itu, Sekretaris Komisi I DPR Papua, Mathea Mamoyao, S. Sos yang juga sebagai perwakilan perempuan asli Papua mengatakan, terkait dengan permintaan Komnas Perempuan yang meminta DPR Papua memastikan Perdasus perlindungan terhadap perempuan untuk segera masuk dalam lembaran daerah termasuk termasuk usulan anggaran yang disampaikan.
“Pada prinsipnya kami siap membantu dan mendorong hal ini, sehingga
perdasus tentang pemulihan hak-hak perempuan Papua. Korban kekerasan dan pelanggaran HAM agar bisa diberi nomor dan masuk dalam lembaran daerah sehingga implementasi perdasus itu bisa membantu para korban, “ jelasnya.
Diakuinya, kalau kekerasan terhadap perempuan di Papua masih cukup tinggi dan hal ini sudah diperjuangkan oleh organisasi dan lembag-lembaga pemerhati perempuan dengan berbagai kegiatan, namun belum ada yuridis atau aturan sebagai landasan.
“Kita tidak bisa pungkiri kekerasan terhadap kaum perempuan di Papua cukup tinggi sehingga perlu diseriusi oleh semua pihak, “ tandasnya. [PasifikPos]