Kaum Intelektual Tolak Islamisasi di Kabupaten Deiyai
pada tanggal
Monday, 15 June 2015
WAGHETE (DEIYAI) - Kabupaten Deiyai merupakan salah satu kabupaten di Tanah Papua dengan persentasi umat Kristen mencapai 99 persen kini terancam dengan adanya usaha mengganggu ketentraman keagamaan di daerah itu.
Dimana dalam Undang-undang Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus pada pasal 53 menyatakan "setiap penduduk Provinsi Papua berkewajiban menghormati nilai-nilai agama, memelihara kerukunan antar umat beragama, serta mencegah upaya memecah belah persatuan dan kesatuan dalam masyarakat di Provinsi Papua dan di Negara Kesatuan Republik Indonesia," nampaknya kian terancam dengan upaya terang-terangan dari kaum agama lain.
Secara tersirat menyatakan tentang penghormatan umat non-Kristen terhadap umat Kristen yang merupakan agama mayoritas di Papua, termasuk pendirian rumah ibadah yang harus sesuai ijin warga asli Papua.
Namun hal ini bertentangan seperti yang terjadi di Waghete, Distrik Tigi, Kabupaten Deiyai. Kota baru yang didiami oleh sekitar 17 ribu orang ini terancam dengan upaya pendirian rumah ibadah umat muslim di daerah itu. Hal ini sangat bertentangan dengan jumlah nyata pengikutnya yang hanya sejumlah 30-an orang itu
Melihat hal demikian, kaum intelektual Deiyai menyatakan menolak dengan keras kehadiran dua mesjid yang sedang dibangun di Mugou dan di dekat SD Negeri Waghete, sebab ini adalah upaya islamisasi yang secar terang-terangan mencoba mempengaruhi umat Kristen di daerah itu.
“Kami sudah tahu tentang perkembangan Islam dan upaya islamisasi yang dilakukan dengan berbagai cara oleh kaum muslim,” kata Yehezkiel Kotoki, tokoh pemuda Deiyai, Yeheskiel Kotoki di Waghete, Selasa, (9/6).
Lanjut Kotoki, Pembangunan mesjid tanpa ijin di ibukota kabupaten Deiyai itu dimulai sejak tahun 2012 dengan pendirian musolah, yang berlangsung hingga saat ini.
Untuk itu, guna menghindari tudingan islamisiasi, pihaknya meminta kepada para pemilik dan pendiri kedua masjid untuk tetap beribadah di mesjid lama yang sudah ada di pusat kota.
“Kami akan menggelar demo damai agar pemerintah dapat melihat proses islamisasi dengan membiarkan pembangunan mesjid tersebut terus berlangsung,” ujarnya.`
Upaya lain, menurut Kotoki yang telah dilakukan pihaknya adalah dengan menyurati pemilik musholah agar tidak melanjutkan proses pembangunan karena tanah akan diambil kembali oleh pemiliknya bila pembangunan dilanjutkan.
Selain itu, pihaknya juga mengaku akan menyurati Pemda dalam hal ini, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Kabupaten Deiyai, Bupati Dance Takimai dan instansi terkait untuk membicarakannya secara khusus. [TapaNews]
Dimana dalam Undang-undang Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus pada pasal 53 menyatakan "setiap penduduk Provinsi Papua berkewajiban menghormati nilai-nilai agama, memelihara kerukunan antar umat beragama, serta mencegah upaya memecah belah persatuan dan kesatuan dalam masyarakat di Provinsi Papua dan di Negara Kesatuan Republik Indonesia," nampaknya kian terancam dengan upaya terang-terangan dari kaum agama lain.
Secara tersirat menyatakan tentang penghormatan umat non-Kristen terhadap umat Kristen yang merupakan agama mayoritas di Papua, termasuk pendirian rumah ibadah yang harus sesuai ijin warga asli Papua.
Namun hal ini bertentangan seperti yang terjadi di Waghete, Distrik Tigi, Kabupaten Deiyai. Kota baru yang didiami oleh sekitar 17 ribu orang ini terancam dengan upaya pendirian rumah ibadah umat muslim di daerah itu. Hal ini sangat bertentangan dengan jumlah nyata pengikutnya yang hanya sejumlah 30-an orang itu
Melihat hal demikian, kaum intelektual Deiyai menyatakan menolak dengan keras kehadiran dua mesjid yang sedang dibangun di Mugou dan di dekat SD Negeri Waghete, sebab ini adalah upaya islamisasi yang secar terang-terangan mencoba mempengaruhi umat Kristen di daerah itu.
“Kami sudah tahu tentang perkembangan Islam dan upaya islamisasi yang dilakukan dengan berbagai cara oleh kaum muslim,” kata Yehezkiel Kotoki, tokoh pemuda Deiyai, Yeheskiel Kotoki di Waghete, Selasa, (9/6).
Lanjut Kotoki, Pembangunan mesjid tanpa ijin di ibukota kabupaten Deiyai itu dimulai sejak tahun 2012 dengan pendirian musolah, yang berlangsung hingga saat ini.
Untuk itu, guna menghindari tudingan islamisiasi, pihaknya meminta kepada para pemilik dan pendiri kedua masjid untuk tetap beribadah di mesjid lama yang sudah ada di pusat kota.
“Kami akan menggelar demo damai agar pemerintah dapat melihat proses islamisasi dengan membiarkan pembangunan mesjid tersebut terus berlangsung,” ujarnya.`
Upaya lain, menurut Kotoki yang telah dilakukan pihaknya adalah dengan menyurati pemilik musholah agar tidak melanjutkan proses pembangunan karena tanah akan diambil kembali oleh pemiliknya bila pembangunan dilanjutkan.
Selain itu, pihaknya juga mengaku akan menyurati Pemda dalam hal ini, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Kabupaten Deiyai, Bupati Dance Takimai dan instansi terkait untuk membicarakannya secara khusus. [TapaNews]