Joko Widodo Ingin Hentikan Transmigrasi di Papua, Marwan Jafar Tetap Lanjut
pada tanggal
Monday, 8 June 2015
JAKARTA - Menteri Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi Marwan Jafar mengatakan menilai Kabupaten Merauke sebagai daerah yang menjadi perbatasan dengan Papua Nugini, dianggap sebagai salah satu contoh sukses program transmigrasi. Karena itu, pemerintah pusat berniat untuk melanjutkan agenda transmigrasi ke Merauke dengan menjalankan program Merauke Integrated Rice Estate. Pasalnya, Merauke selama ini terbukti menjadi kawasan transmigrasi yang sukses mempekerjakan petani bagi sekitar 275 ribu transmigran.
“Merauke merupakan salah satu daerah perbatasan yang bisa dibilang sukses melakukan program transmigrasi dan mengembangkan pertanian di wilayah timur Indonesia," ujar Marwan di Jakarta, Minggu (7/6).
Dengan melihat potensi lahan yang ada di Merauke, Marwan yakin, pemerintah pusat akan bisa menjadikan Merauke sebagai salah satu lumbung pangan nasional.
"Di kawasan ini, ada potensi lahan seluas 1,2 juta hektare yang bisa dijadikan lumbung pangan. Kalau program ini sukses, akan banyak pembangunan yang membuat wajah wilayah di Indonesia Timur ini berubah," beber politikus Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) tersebut.
Sebagai tahap awal, imbuh Marwan, tahun ini pemerintah akan menggarap lahan seluas 250 ribu hektare dengan target setiap hektare tanah bisa menghasilkan 7,1 ton beras. Dengan begitu, Merauke diharapkan bisa memenuhi 30 persen dari total kebutuhan beras Indonesia.
Untuk menunjang program 'Merauke Integrated Rice Estate', Marwan akan terus mengembangkan Kota Terpadu Mandiri (KTM) yang selama ini telah memberikan kontribusi dalam perkembangan pembangunan Merauke. "Contoh keberhasilan KTM, salah satunya adalah Salor yang berada cukup dekat dengan perbatasan negara lain," ujar Marwan.
Kawasan KTM Salor yang dibangun sejak 2009 dengan luas wilayah sekitar 96.340 hektare, terdiri areal pembangunan dan pengembangan permukiman (36.500 Ha) serta areal untuk investasi perkebunan (59.840 Ha), yang berhasil mengembangkan komoditas pertanian.
"Komoditas yang dikembangkan dengan skala ekonomis adalah padi, tebu dan palawija. Nantinya kawasan KTM Salor akan diintegrasikan 'Merauke Integrated Rice Estate' untuk memenuhi swasembada pangan nasional," kata Marwan.
Hal ini bertentangan dengan pernyataan Presiden Joko Widodo pada Kamis (4/6) yang menyatakan akan menghentikan program transmigrasi ke Tanah Papua. Hal ini dilakukan lantaran Sumber Daya Manusia (SDM) warga asli Papua jauh tertinggal dari warga pendatang.
"Pemerintah akan stop transmigrasi ke Papua karena sudah terlalu banyak sehingga menimbulkan kecemburuan sosial," ujar Teten di tempat yang sama.
Teten menyampaikan, hal itu sebagai respons Presiden Joko Widodo dalam diskusi dengan sejumlah tokoh senior yang tergabung dalam Kelompok Punakawan siang tadi. Meski demikian, kata Teten, Presiden Jokowi belum akan menerbitkan peraturan mengenai hal itu.
"Beliau tadi bilang sudah minta ke Gubernur Papua agar dihentikan dulu transmigrasi ke Papua," ujar Teten.
Hal ini dikuatkan Pengamat Militer dan Politik, Salim Said seusai bertemu Jokowi di Istana Merdeka, Jalan Medan Merdeka Utara, Jakarta. Ia menjelaskan, penyetopan transmigrasi hanya akan berlangsung sementara. Selama itu, Jokowi sudah menyiapkan proyek rice estate di Kabupaten Merauke yang akan melibatkan warga Papua.
"Transmigrasi dihentikan ke Papua. Kan banyak orang luar Papua masuk ke sana. Dan biasanya pendatang itu kan lebih agresif. Mereka (orang Papua) keteteran. Hanya sementara. Akan ada rice estate di situ yang melibatkan orang Papua. Persoalannya kan selama ini, kita ke sana membangun tapi orang Papua tidak dilibatkan," jelas dia.
Mantan Duta Besar RI untuk Ceko ini mengapresiasi langkah tersebut. Baginya, ide pemerintahan Jokowi ini menjadi langkah menggembirakan bagi warga di ujung timur Indonesia.
"Sangat menggemberikan. Ternyata beliau mempunyai konsep. Selama ini kan tidak pernah jelas apa konsep kita di Papua," imbuh dia.
Sementara itu Presiden Joko Widodo melalui anggota Tim Komunikasi Presiden, Teten Masduki menyatakan penghentian program ini guna menghindari kecemburuan sosial yang semakin terjadi dan mulai memberdayakan masyarakat setempat. Masyarakat dan berbagai lembaga masyarakat Papua dan Indonesia juga menyerukan agar menghentikan program tersebut karena bukannya menguntungkan tetapi semakin merugikan orang Papua lewat semakin meningkatnya jurang antara pendatang dan pribumi serta rawannya konflik antar masyarakat yang timbul.[Republika/Papuanesia]
“Merauke merupakan salah satu daerah perbatasan yang bisa dibilang sukses melakukan program transmigrasi dan mengembangkan pertanian di wilayah timur Indonesia," ujar Marwan di Jakarta, Minggu (7/6).
Dengan melihat potensi lahan yang ada di Merauke, Marwan yakin, pemerintah pusat akan bisa menjadikan Merauke sebagai salah satu lumbung pangan nasional.
"Di kawasan ini, ada potensi lahan seluas 1,2 juta hektare yang bisa dijadikan lumbung pangan. Kalau program ini sukses, akan banyak pembangunan yang membuat wajah wilayah di Indonesia Timur ini berubah," beber politikus Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) tersebut.
Sebagai tahap awal, imbuh Marwan, tahun ini pemerintah akan menggarap lahan seluas 250 ribu hektare dengan target setiap hektare tanah bisa menghasilkan 7,1 ton beras. Dengan begitu, Merauke diharapkan bisa memenuhi 30 persen dari total kebutuhan beras Indonesia.
Untuk menunjang program 'Merauke Integrated Rice Estate', Marwan akan terus mengembangkan Kota Terpadu Mandiri (KTM) yang selama ini telah memberikan kontribusi dalam perkembangan pembangunan Merauke. "Contoh keberhasilan KTM, salah satunya adalah Salor yang berada cukup dekat dengan perbatasan negara lain," ujar Marwan.
Kawasan KTM Salor yang dibangun sejak 2009 dengan luas wilayah sekitar 96.340 hektare, terdiri areal pembangunan dan pengembangan permukiman (36.500 Ha) serta areal untuk investasi perkebunan (59.840 Ha), yang berhasil mengembangkan komoditas pertanian.
"Komoditas yang dikembangkan dengan skala ekonomis adalah padi, tebu dan palawija. Nantinya kawasan KTM Salor akan diintegrasikan 'Merauke Integrated Rice Estate' untuk memenuhi swasembada pangan nasional," kata Marwan.
Hal ini bertentangan dengan pernyataan Presiden Joko Widodo pada Kamis (4/6) yang menyatakan akan menghentikan program transmigrasi ke Tanah Papua. Hal ini dilakukan lantaran Sumber Daya Manusia (SDM) warga asli Papua jauh tertinggal dari warga pendatang.
"Pemerintah akan stop transmigrasi ke Papua karena sudah terlalu banyak sehingga menimbulkan kecemburuan sosial," ujar Teten di tempat yang sama.
Teten menyampaikan, hal itu sebagai respons Presiden Joko Widodo dalam diskusi dengan sejumlah tokoh senior yang tergabung dalam Kelompok Punakawan siang tadi. Meski demikian, kata Teten, Presiden Jokowi belum akan menerbitkan peraturan mengenai hal itu.
"Beliau tadi bilang sudah minta ke Gubernur Papua agar dihentikan dulu transmigrasi ke Papua," ujar Teten.
Hal ini dikuatkan Pengamat Militer dan Politik, Salim Said seusai bertemu Jokowi di Istana Merdeka, Jalan Medan Merdeka Utara, Jakarta. Ia menjelaskan, penyetopan transmigrasi hanya akan berlangsung sementara. Selama itu, Jokowi sudah menyiapkan proyek rice estate di Kabupaten Merauke yang akan melibatkan warga Papua.
"Transmigrasi dihentikan ke Papua. Kan banyak orang luar Papua masuk ke sana. Dan biasanya pendatang itu kan lebih agresif. Mereka (orang Papua) keteteran. Hanya sementara. Akan ada rice estate di situ yang melibatkan orang Papua. Persoalannya kan selama ini, kita ke sana membangun tapi orang Papua tidak dilibatkan," jelas dia.
Mantan Duta Besar RI untuk Ceko ini mengapresiasi langkah tersebut. Baginya, ide pemerintahan Jokowi ini menjadi langkah menggembirakan bagi warga di ujung timur Indonesia.
"Sangat menggemberikan. Ternyata beliau mempunyai konsep. Selama ini kan tidak pernah jelas apa konsep kita di Papua," imbuh dia.
Sementara itu Presiden Joko Widodo melalui anggota Tim Komunikasi Presiden, Teten Masduki menyatakan penghentian program ini guna menghindari kecemburuan sosial yang semakin terjadi dan mulai memberdayakan masyarakat setempat. Masyarakat dan berbagai lembaga masyarakat Papua dan Indonesia juga menyerukan agar menghentikan program tersebut karena bukannya menguntungkan tetapi semakin merugikan orang Papua lewat semakin meningkatnya jurang antara pendatang dan pribumi serta rawannya konflik antar masyarakat yang timbul.[Republika/Papuanesia]