Jelang Munara, Masyarakat Kampung Adoki gelar Upacara Apen Bayeren
pada tanggal
Sunday, 7 June 2015
KOTA JAYAPURA - Jelang Munara di Kabupaten Biak Numfor berbagai persiapan telah dilakukan masyarakat di Kampung Adoki, Distrik Yendidori Kabupaten Biak Numfor menampilkan upacara berjalan di atas batu berpijar atau batu panas. Upacara ini dalam bahasa Byak disebut apen bayeren.
Lalu apa yang dimaksud dengan Munara atau wor itu sendiri? Frans Rumbrawer, dosen FKIP Universitas Cenderawasih dalam artikelnya berjudul Wor sebagai fokus dan dinamika hidup kebudayaan Byak menyebutkan bahwa munara atau wor diartikan menjadi undangan keluarga untuk mengambil bagian dalam pesta, menari dan bernyanyi serta makan dan minum bersama.
Acara ini akan diakhiri pula dengan acara transaksi ekonomi atau meminjam istilah ahli antropologi pemberian benda-benda upacara dalam budaya Melanesia meliputi talas, keladi (japan), sagu dan hasil buruan seperti daging babi, ikan. Selain itu disertai dengan barter barang-barang antara lain piring (ben) ben bepon( piring tua China),gelang (sarak), gelang dari kulit kerang(samfar), parang(sumber) dan tombak.
Hal ini dilakukan antara keluarga dan tuan yang menyelenggaran munara atau tuan pesta dengan keluarga dari pihak ibu atau paman(me). Dalam budaya Byak dikenal dengan istilah munsasu dan mundafa(take and gave) secara kolektif.
Dengan demikian menurut Rumbrawer munara atau wor, memiliki arti secara bebas adalah pesta atau upacara akbar yang dibarengi dengan makan bersama dan diakhiri dengan barter atau tukar menukar benda-benda berharga atau upacara.
Upacara ini juga ada kaitannya dengan seseorang mulai dari lahir, akil balik/remaja dengan upacara wor k’bor memotong ujung kelamin laki-laki hingga upacara berjalan di atas batu berpijar. Jenis munara atau wor ada dua macam antara lain pertama upacara kecil atau wor srauw dan kedua munara atau wor weyeren (pesta besar).
Tak heran kalau Rumbrawer berpendapat kalu rusaknya struktur sosial orang Byak terangkum dalam upacara adat(munara/wor), karena telah dihancurkan oleh pranata lain. Terutama intervensi dari budaya luar menyebabkan dinamika kehidupan dalam budaya munara dan wor tak berdaya lagi.
Akibatnya wor sebagai sebagai pranata dan dinamisator atas prestasi atau pencapaian seseorang, keluarga, klen dan keret sengaja diputuskan mengakibatkan dinamika kehidupan orang-orang Byak terancam punah. [Jubi]
Lalu apa yang dimaksud dengan Munara atau wor itu sendiri? Frans Rumbrawer, dosen FKIP Universitas Cenderawasih dalam artikelnya berjudul Wor sebagai fokus dan dinamika hidup kebudayaan Byak menyebutkan bahwa munara atau wor diartikan menjadi undangan keluarga untuk mengambil bagian dalam pesta, menari dan bernyanyi serta makan dan minum bersama.
Acara ini akan diakhiri pula dengan acara transaksi ekonomi atau meminjam istilah ahli antropologi pemberian benda-benda upacara dalam budaya Melanesia meliputi talas, keladi (japan), sagu dan hasil buruan seperti daging babi, ikan. Selain itu disertai dengan barter barang-barang antara lain piring (ben) ben bepon( piring tua China),gelang (sarak), gelang dari kulit kerang(samfar), parang(sumber) dan tombak.
Hal ini dilakukan antara keluarga dan tuan yang menyelenggaran munara atau tuan pesta dengan keluarga dari pihak ibu atau paman(me). Dalam budaya Byak dikenal dengan istilah munsasu dan mundafa(take and gave) secara kolektif.
Dengan demikian menurut Rumbrawer munara atau wor, memiliki arti secara bebas adalah pesta atau upacara akbar yang dibarengi dengan makan bersama dan diakhiri dengan barter atau tukar menukar benda-benda berharga atau upacara.
Upacara ini juga ada kaitannya dengan seseorang mulai dari lahir, akil balik/remaja dengan upacara wor k’bor memotong ujung kelamin laki-laki hingga upacara berjalan di atas batu berpijar. Jenis munara atau wor ada dua macam antara lain pertama upacara kecil atau wor srauw dan kedua munara atau wor weyeren (pesta besar).
Tak heran kalau Rumbrawer berpendapat kalu rusaknya struktur sosial orang Byak terangkum dalam upacara adat(munara/wor), karena telah dihancurkan oleh pranata lain. Terutama intervensi dari budaya luar menyebabkan dinamika kehidupan dalam budaya munara dan wor tak berdaya lagi.
Akibatnya wor sebagai sebagai pranata dan dinamisator atas prestasi atau pencapaian seseorang, keluarga, klen dan keret sengaja diputuskan mengakibatkan dinamika kehidupan orang-orang Byak terancam punah. [Jubi]