Harga Jual Beli Kayu di Kampung Kaliki Relatif Rendah
pada tanggal
Monday, 1 June 2015
MERAUKE - Tokoh pemuda kampung Kaliki, Distrik Kurik, Kabupaten Merauke, Alfred Blagaize menuturkan harga jual belik kayu di kampung Kaliki dan beberapa kampung sekitarnya relatif murah.
Kayu masyarakat dibeli oleh operator pengambil kayu di kampung, dan harganya pun ditentukan oleh operator. Harga per meter kubikkayu yang ditetapkan oleh operator berkisar 50 ribu rupiah hingga 100 ribu rupiah.
Harga yang ditentukan operator ini, menurutnya, tidak sesuai harapan masyarakat sebagai pemilik kayu, dan juga tidak sesuai standar harga yang ditetapkan oleh pemerintah.
“Di kampung itu, kayu milik masyarakat dibayar per meter kubik. Duluituhanya 50 ribu rupiah saja, kadang-kadang naik sedikit. Sekarang sudah naik sekitar 100 ribu rupiah, itu pun terlalu murah,” terang Alfred.
Diakuinya, harga kayu memang ditetapkanoleh operator sesuai perhitungan biaya produksi atau biaya kerja operator. Antara lain, biaya peralatan dan bahan bakar minyak (BBM) yang ditanggung oleh operator.
Hanya saja, operator juga harus bisa menyesuaikan harga kayu sesuai dengan jenis kayu dan harga yang ditetapkan pemerintah.
“Menurut saya harga yang operator tetap kan itu terlalu mahal dan jelas dia lebih untung. Contohnya, kalaudari 10 kubik kayu saja itu orang sensor sudah bisa menghasilkan minimal Rp10 sampai Rp12 juta,” terangnya.
Dijelaskan, ada regulasi pemerintah yang mengatur tentang pengelolaan kayu, antara lain standar ukuran pohon yang boleh ditebang dandiolah dalam berbagai bentuk.
Namun, aturan tersebut belum diketahui oleh masyarakat maupun pengusaha kayu di kampung. Sehingga banyak pohon yang dieksploitasi secara tidak teratur dan terukur.
“Memang menurut aturan pemerintah ada ukuran kayu yang boleh dipotong, tapi selama ini tidak ada, orang potong kayu sembarang saja.Ada kayu yang masih belum cukup umur juga dipotong, makanyasekarang kita bisa lihat ada hutan-hutan yang gundul,” tandasnya.
Kata Alfred, terdapat potensi hutan kayu di beberapa kampung wilayah distrik Kurik. Dan potensi itu seharusnya dijaga dan dilestarikan dengan tidak menebang sembarang jenis kayu.
“Ada kampung di pesisir pantai yang sekarang masih ada dusun hutannya, dan biasanya masyarakat pakai untuk sensor kayu. Seperti di kampung Onggari, Domandedan yang terlalu banyak orang sensor kayu itu di kampung Wapeko, Bat, Wayau dan Kaliki,” bebernya.
Dia juga meminta agar masyarakat diringankan dalam pengurusan surat ijin usaha kayu. Beberapa tahapan yang dilalui dalam proses ijin membuat masyarakat kesulitan untuk mengurus.
“Sekarang memang masyarakat terkendala dalam urus surat ijin, karena kalau urus satu surat ijin itu harganya Rp1 juta. Administrasi ini masyarakat harus penuh isu paya dia punya kekuatan dan bisa mengelola kayu di dusunnyamasing-masing,” tuturnya. [BintangPapua]
Kayu masyarakat dibeli oleh operator pengambil kayu di kampung, dan harganya pun ditentukan oleh operator. Harga per meter kubikkayu yang ditetapkan oleh operator berkisar 50 ribu rupiah hingga 100 ribu rupiah.
Harga yang ditentukan operator ini, menurutnya, tidak sesuai harapan masyarakat sebagai pemilik kayu, dan juga tidak sesuai standar harga yang ditetapkan oleh pemerintah.
“Di kampung itu, kayu milik masyarakat dibayar per meter kubik. Duluituhanya 50 ribu rupiah saja, kadang-kadang naik sedikit. Sekarang sudah naik sekitar 100 ribu rupiah, itu pun terlalu murah,” terang Alfred.
Diakuinya, harga kayu memang ditetapkanoleh operator sesuai perhitungan biaya produksi atau biaya kerja operator. Antara lain, biaya peralatan dan bahan bakar minyak (BBM) yang ditanggung oleh operator.
Hanya saja, operator juga harus bisa menyesuaikan harga kayu sesuai dengan jenis kayu dan harga yang ditetapkan pemerintah.
“Menurut saya harga yang operator tetap kan itu terlalu mahal dan jelas dia lebih untung. Contohnya, kalaudari 10 kubik kayu saja itu orang sensor sudah bisa menghasilkan minimal Rp10 sampai Rp12 juta,” terangnya.
Dijelaskan, ada regulasi pemerintah yang mengatur tentang pengelolaan kayu, antara lain standar ukuran pohon yang boleh ditebang dandiolah dalam berbagai bentuk.
Namun, aturan tersebut belum diketahui oleh masyarakat maupun pengusaha kayu di kampung. Sehingga banyak pohon yang dieksploitasi secara tidak teratur dan terukur.
“Memang menurut aturan pemerintah ada ukuran kayu yang boleh dipotong, tapi selama ini tidak ada, orang potong kayu sembarang saja.Ada kayu yang masih belum cukup umur juga dipotong, makanyasekarang kita bisa lihat ada hutan-hutan yang gundul,” tandasnya.
Kata Alfred, terdapat potensi hutan kayu di beberapa kampung wilayah distrik Kurik. Dan potensi itu seharusnya dijaga dan dilestarikan dengan tidak menebang sembarang jenis kayu.
“Ada kampung di pesisir pantai yang sekarang masih ada dusun hutannya, dan biasanya masyarakat pakai untuk sensor kayu. Seperti di kampung Onggari, Domandedan yang terlalu banyak orang sensor kayu itu di kampung Wapeko, Bat, Wayau dan Kaliki,” bebernya.
Dia juga meminta agar masyarakat diringankan dalam pengurusan surat ijin usaha kayu. Beberapa tahapan yang dilalui dalam proses ijin membuat masyarakat kesulitan untuk mengurus.
“Sekarang memang masyarakat terkendala dalam urus surat ijin, karena kalau urus satu surat ijin itu harganya Rp1 juta. Administrasi ini masyarakat harus penuh isu paya dia punya kekuatan dan bisa mengelola kayu di dusunnyamasing-masing,” tuturnya. [BintangPapua]