Benny Giyai Nilai 'Indonesiasi Papua' Terjadi lewat Pelanggaran HAM
pada tanggal
Tuesday 16 June 2015
JAKARTA - Kekerasan yang terjadi di Papua sejak Papua diambil jadi bagian dari Indonesia adalah wajah Indonesia yang sebenarnya. Kekerasan akibat peran aparat keamanan yang berlebihan, melahirkan rentetan pelanggaran hak asasi manusia (HAM) di Papua. Proses meng-Indonesia-kan orang Papua benar-benar terjadi di Papua.
Hal ini dikatakan tokoh budaya Papua, Benny Giyai, dalam orasi budaya di Taman Ismail Marsuki (TIM) Jakarta, dalam acara peluncuran gerakan Papua itu kita, Sabtu (13/06).
"Saya sempat dididik dengan model-model seperti itu," ujar ketua sinode Gereja Kingmi di Tanah Papua ini.
"Dulu waktu model pendidikan Indonesia awal-awal Papua jadi bagian dari Indonesia penuh dengan hafal-menghafal lagu-lagu nasional Indonesia, Undang-Undang Dasar 1945, dan upacara bendera dengan menaikan bendera Merah Putih," urainya.
Giay mengakui, kekerasan, pelanggaran HAM telah tumbuh bersamaan dengan Papua diambil jadi bagian Indonesia. Giay menjelaskan proses perjalanan kekerasan yang dialami bangsa Papua, secara bertahap, dari awal integrasi/aneksasi hingga era reformasi.
"Dari kekerasan ke kekerasan yang terjadi di Papua, banyak orang Papua mengungsi ke luar negeri. Terakhir adalah tahun 2006, orang Papua menyeberang pakai perahu ke Australia," jelas Pendeta Giay. "Ini kan sebenarnya ada kekerasan di Indonesia," sambungnya.
Giay mencetuskan ide mengkhususkan satu hari di Indonesia untuk mengingat semua yang telah meninggal, dibunuh, dilanggar hak asasinya, yang mengungsi ke luar negeri, dan yang mengalami ketidakadilan akibat kekerasan di Papua.
"Supaya minimal mengingat orang-orang papua yang menyeberang ke Pasifik, negeri Belanda dan Australia, minimal harus ada hari khusus untuk mengenang mereka, juga mengenal orang-orang Papua yang sudah meninggal," jelasnya.
Sejarawan Indonesia, Hilmar Farid alias Fay dalam orasi selanjutnya membenarkan ungkapan Pendeta Giay bahwa potret kekerasan di Papua adalah wajah Indonesia yang sebenarnya.
"Itulah mengapa bersama Pemimpin Agama di Papua mencetuskan gerakan yang namanya 'Memoria Passionis,' kisah ingatan akan cerita penderitaan mereka," jelas Fay.
"Saya tidak setuju kalau ada orang, badan atau pemimpin negara ini, menjelaskan kalau lupakan masa lalu atau lupakan sejarah dan berpikir dan bertindak yang sekarang, apalagi melupakan hal-hal seperti yang dialami oleh Papua," tegas Fay lagi.
Lanjutnya, "Bukankah kita ada karena sejarah masa lalu?" Fay mengharapkan munculnya gerakan mengingat kembali memoria passionis agar wajah Indonesia terlihat jelas, tidak bertopeng.
Pantauan majalahselangkah.com, acara ini diadakan dengan meriah, dikoordinir Zelly Ariane, Marten Goo dan dan kelompok gerakan PapuaItuKita di Jakarta.
Ada pemajangan foto Arnold Clemens Ap sebagai tokoh budayawan Bangsa Papua, foto Bapak Filep Karma sebagai tahanan politik Papua di Abepura Jayapura, dan foto-foto lain yang bersentuhan dengan hak asasi manusia, kemanusiaan, kekerasan dan konflik di Papua.
Kegiatan ini juga menampilkan acara bakar batu, acara cerita, nyanyi dan tari dari Papua, dan dari kelompok-kelompok gerakan pro-demokrasi dan kerakyatan di Indonesia.
Tema kegiatan ini, 'Sehari Bercerita, Bernyanyi dan Menari untuk Papua'. Para pengisi atau undangan yang akan hadir di acara tersebut adalah Benny Giay, Bambang Widjojanto, Hilmar Farid, Melanie Subono, Amirudin Al Rahab. Juga, nyanyi dan cerita oleh, Inyarme Papua, Bengkel Budaya Papua, Ipmanapandode Papua, APASE Grup, Simponi, John Tobing, Sanggar Ciliwung, Last Scientist, Sisir Tanah, Es Coretz, dan yang lainnya. [MajalahSelangkah]
Hal ini dikatakan tokoh budaya Papua, Benny Giyai, dalam orasi budaya di Taman Ismail Marsuki (TIM) Jakarta, dalam acara peluncuran gerakan Papua itu kita, Sabtu (13/06).
"Saya sempat dididik dengan model-model seperti itu," ujar ketua sinode Gereja Kingmi di Tanah Papua ini.
"Dulu waktu model pendidikan Indonesia awal-awal Papua jadi bagian dari Indonesia penuh dengan hafal-menghafal lagu-lagu nasional Indonesia, Undang-Undang Dasar 1945, dan upacara bendera dengan menaikan bendera Merah Putih," urainya.
Giay mengakui, kekerasan, pelanggaran HAM telah tumbuh bersamaan dengan Papua diambil jadi bagian Indonesia. Giay menjelaskan proses perjalanan kekerasan yang dialami bangsa Papua, secara bertahap, dari awal integrasi/aneksasi hingga era reformasi.
"Dari kekerasan ke kekerasan yang terjadi di Papua, banyak orang Papua mengungsi ke luar negeri. Terakhir adalah tahun 2006, orang Papua menyeberang pakai perahu ke Australia," jelas Pendeta Giay. "Ini kan sebenarnya ada kekerasan di Indonesia," sambungnya.
Giay mencetuskan ide mengkhususkan satu hari di Indonesia untuk mengingat semua yang telah meninggal, dibunuh, dilanggar hak asasinya, yang mengungsi ke luar negeri, dan yang mengalami ketidakadilan akibat kekerasan di Papua.
"Supaya minimal mengingat orang-orang papua yang menyeberang ke Pasifik, negeri Belanda dan Australia, minimal harus ada hari khusus untuk mengenang mereka, juga mengenal orang-orang Papua yang sudah meninggal," jelasnya.
Sejarawan Indonesia, Hilmar Farid alias Fay dalam orasi selanjutnya membenarkan ungkapan Pendeta Giay bahwa potret kekerasan di Papua adalah wajah Indonesia yang sebenarnya.
"Itulah mengapa bersama Pemimpin Agama di Papua mencetuskan gerakan yang namanya 'Memoria Passionis,' kisah ingatan akan cerita penderitaan mereka," jelas Fay.
"Saya tidak setuju kalau ada orang, badan atau pemimpin negara ini, menjelaskan kalau lupakan masa lalu atau lupakan sejarah dan berpikir dan bertindak yang sekarang, apalagi melupakan hal-hal seperti yang dialami oleh Papua," tegas Fay lagi.
Lanjutnya, "Bukankah kita ada karena sejarah masa lalu?" Fay mengharapkan munculnya gerakan mengingat kembali memoria passionis agar wajah Indonesia terlihat jelas, tidak bertopeng.
Pantauan majalahselangkah.com, acara ini diadakan dengan meriah, dikoordinir Zelly Ariane, Marten Goo dan dan kelompok gerakan PapuaItuKita di Jakarta.
Ada pemajangan foto Arnold Clemens Ap sebagai tokoh budayawan Bangsa Papua, foto Bapak Filep Karma sebagai tahanan politik Papua di Abepura Jayapura, dan foto-foto lain yang bersentuhan dengan hak asasi manusia, kemanusiaan, kekerasan dan konflik di Papua.
Kegiatan ini juga menampilkan acara bakar batu, acara cerita, nyanyi dan tari dari Papua, dan dari kelompok-kelompok gerakan pro-demokrasi dan kerakyatan di Indonesia.
Tema kegiatan ini, 'Sehari Bercerita, Bernyanyi dan Menari untuk Papua'. Para pengisi atau undangan yang akan hadir di acara tersebut adalah Benny Giay, Bambang Widjojanto, Hilmar Farid, Melanie Subono, Amirudin Al Rahab. Juga, nyanyi dan cerita oleh, Inyarme Papua, Bengkel Budaya Papua, Ipmanapandode Papua, APASE Grup, Simponi, John Tobing, Sanggar Ciliwung, Last Scientist, Sisir Tanah, Es Coretz, dan yang lainnya. [MajalahSelangkah]