Perhapi Minta Pemerintah Pusat Bentuk Badan Usaha Pengganti PT Freeport Indonesia
pada tanggal
Friday, 1 May 2015
JAKARTA - Perpanjangan kontrak sekaligus pergantian status kontrak pertambangan PT Freeport Indonesia dari Kontrak Karya (KK) menjadi Izin Usaha Pertambangan Khusus (IUPK), oleh Perhimpunan Ahli Pertambangan Indonesia (Perhapi) dinilai belum mendesak.
Perhapi berpendapat, jika Presiden Jokowi memperpanjang kontrak Freeport tahun ini sama dengan melanggar Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 77/2014 tentang Pelaksanaan Kegiatan Usaha Pertambangan Mineral dan Batu Bara (Minerba). Bukan hanya itu, Perhapi bahkan mengkhawatirkan nantinya pemerintah bisa digugat oleh Freeport ditengah jalan yang akan menyebabkan kerugian besar.
Karenanya, Ketua Working Group Kebijakan Publik Perhapi, Budi Santoso mengusulkan pemerintah pusat membentuk badan usaha baru untuk mengambil alih wilayah tambang PT Freeport Indonesia.
Budi menegaskan, pemerintah tidak perlu mengkhawatirkan usulan tersebut. Sebab dengan dibentuknya badan usaha untuk pengambilalihan wilayah tambang yang beroperasi di Papua ini, kelanjutan kegiatan operasi tambang tersebut bisa terjamin.
“Dan itu benefitnya bisa dirasakan lebih besar selama 20 tahun ke depan daripada memaksakan keadaan jangka pendek,” ujar Budi di Jakarta, dikutip oleh pedomannews.com, Kamis (16/4/2015)
Terkait pembangunan Papua yang selama ini menjadi alasan pemerintah dalam renegosiasi kontrak, Budi sangat prihatin
“Sangat memalukan bangsa Indonesia dan menunjukkan pemerintah tidak percaya diri untuk membangun bangsanya sendiri,” tegasnya.
Lebih lanjut Budi mengemukakan, Freeport Indonesia selama 50 tahun hanya berperan untuk pembangunan Timika. Adapun untuk Papua, masih menggunakan APBN.
“Kalau pemerintah membuat BUMN dan BUMN itu bisa cari dana untuk membangun dan melanjutkan Freeport, ini tidak cuma manfaat ekonomi tetapi percaya diri bangsa. Sudah pada saatnya Indonesia mengambil alih sumber dayanya sendiri,” katanya.
Kendati telah diwacanakan tahun ini, perpanjangan kontrak sekaligus pergantian status kontrak pertambangan PT Freeport Indonesia dari Kontrak Karya (KK) menjadi Izin Usaha Pertambangan Khusus (IUPK), dinilai belum mendesak. Jika Presiden Joko Widodo memperpanjang kontrak Freeport tahun ini, melanggar Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 77/2014 tentang Pelaksanaan Kegiatan Usaha Pertambangan Mineral dan Batu Bara (Minerba).
Pemerintah sendiri, melalui Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) di Jakarta telah mengantongi rekomendasi terkait perpanjangan kontrak karya (KK) PT Freeport Indonesia (PTFI) yang habis pada 2021. Rekomendasi ini, akan diajukan pada Presiden Jokowi.
Staf Khusus Menteri ESDM, Said Didu, menjelaskan rekomendasi ini untuk mempercepat proses perubahan KK menjadi Izin Usaha Pertambangan Khusus (IUP-K). Freeport sendiri telah meminta kepastian perpanjangan kontrak pada tahun 2017 mendatang.
Sementara, anggota DPR Papua dari daerah pemilihan Mimika dan sekitarnya, Wilhelmus Pigai kepada Jubi, pekan lalu mengatakan kepercayaan masyarakat terhadap pemerintah di bawah Presiden Jokowi semakin menurun. Hal ini berpengaruh juga dalam perpanjangan kontrak karya Freeport.
“Jangan sampai melakukan kesalahan yang sama yaitu tidak pernah melibatkan masyarakat adat dan pemerintah setempat,” kata Pigai. [Jubi]
Perhapi berpendapat, jika Presiden Jokowi memperpanjang kontrak Freeport tahun ini sama dengan melanggar Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 77/2014 tentang Pelaksanaan Kegiatan Usaha Pertambangan Mineral dan Batu Bara (Minerba). Bukan hanya itu, Perhapi bahkan mengkhawatirkan nantinya pemerintah bisa digugat oleh Freeport ditengah jalan yang akan menyebabkan kerugian besar.
Karenanya, Ketua Working Group Kebijakan Publik Perhapi, Budi Santoso mengusulkan pemerintah pusat membentuk badan usaha baru untuk mengambil alih wilayah tambang PT Freeport Indonesia.
Budi menegaskan, pemerintah tidak perlu mengkhawatirkan usulan tersebut. Sebab dengan dibentuknya badan usaha untuk pengambilalihan wilayah tambang yang beroperasi di Papua ini, kelanjutan kegiatan operasi tambang tersebut bisa terjamin.
“Dan itu benefitnya bisa dirasakan lebih besar selama 20 tahun ke depan daripada memaksakan keadaan jangka pendek,” ujar Budi di Jakarta, dikutip oleh pedomannews.com, Kamis (16/4/2015)
Terkait pembangunan Papua yang selama ini menjadi alasan pemerintah dalam renegosiasi kontrak, Budi sangat prihatin
“Sangat memalukan bangsa Indonesia dan menunjukkan pemerintah tidak percaya diri untuk membangun bangsanya sendiri,” tegasnya.
Lebih lanjut Budi mengemukakan, Freeport Indonesia selama 50 tahun hanya berperan untuk pembangunan Timika. Adapun untuk Papua, masih menggunakan APBN.
“Kalau pemerintah membuat BUMN dan BUMN itu bisa cari dana untuk membangun dan melanjutkan Freeport, ini tidak cuma manfaat ekonomi tetapi percaya diri bangsa. Sudah pada saatnya Indonesia mengambil alih sumber dayanya sendiri,” katanya.
Kendati telah diwacanakan tahun ini, perpanjangan kontrak sekaligus pergantian status kontrak pertambangan PT Freeport Indonesia dari Kontrak Karya (KK) menjadi Izin Usaha Pertambangan Khusus (IUPK), dinilai belum mendesak. Jika Presiden Joko Widodo memperpanjang kontrak Freeport tahun ini, melanggar Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 77/2014 tentang Pelaksanaan Kegiatan Usaha Pertambangan Mineral dan Batu Bara (Minerba).
Pemerintah sendiri, melalui Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) di Jakarta telah mengantongi rekomendasi terkait perpanjangan kontrak karya (KK) PT Freeport Indonesia (PTFI) yang habis pada 2021. Rekomendasi ini, akan diajukan pada Presiden Jokowi.
Staf Khusus Menteri ESDM, Said Didu, menjelaskan rekomendasi ini untuk mempercepat proses perubahan KK menjadi Izin Usaha Pertambangan Khusus (IUP-K). Freeport sendiri telah meminta kepastian perpanjangan kontrak pada tahun 2017 mendatang.
Sementara, anggota DPR Papua dari daerah pemilihan Mimika dan sekitarnya, Wilhelmus Pigai kepada Jubi, pekan lalu mengatakan kepercayaan masyarakat terhadap pemerintah di bawah Presiden Jokowi semakin menurun. Hal ini berpengaruh juga dalam perpanjangan kontrak karya Freeport.
“Jangan sampai melakukan kesalahan yang sama yaitu tidak pernah melibatkan masyarakat adat dan pemerintah setempat,” kata Pigai. [Jubi]