Pemda Diminta Bentuk Tim Khusus Tangani Korban Pemerkosaan
pada tanggal
Friday, 29 May 2015
TIMIKA (MIMIKA) – Ketua Forum Kewaspadaan Dini Masyarkat (FKDM) Mimika, Lucky Mahakena mengatakan pemda perlu membentuk tim terpadu yang khusus untuk penanggulangan kasus pemerkosaan yang seringkali terjadi di daerah ini.
Terutama untuk membantu korban pemerkosaan melewati masa pemulihan dan trauma atas tindakan kejahatan asusila tersebut.
“Semua kasus percabulan yang terjadi sudah pasti merugikan dan pihak korban hanya minta kejelasan payung hukum. Namun mereka masih bingung dan tidak mengerti payung hukum mana dan kesehatan bagi mereka, terutama untuk korban. Ini yang belum jelas dan belum diopinikan. Jadi memang dibutuhkan proses-proses pemberian pemahaman kepada orang tua korban. Misalnya untuk membangun psikologis anak dengan menyediakan konselor dan tenaga lainnya. Inilah kebutuhan tim terpadu untuk penanggulangan dimaksud,” ujar Lucky kepada Salam Papua di RSUD Mimika, Kamis (28/5).
Dikatakan Lucky yang juga sekretris Direktur RSUD Mimika dalam beberapa bulan terakhir ini kasus asusila cukup menonjol. Berdasar pada laporan kepolisian diketahui bahwa kejadian asusila semakin meningkat. Sehingga berhubungan dengan hal itu RSUD juga berperan dalam menangani korban kekerasan seksual tersebut. Dan untuk menangani hal ini semua, tim terpadu harus dibentuk guna menindak lanjuti proses tindakan medis terhadap korban.
“Dalam batasan medis tentu saja bisa dikatakan tidak ada indikasi, selanjutnya dalam wewenang hukum kepolisian yang bisa mengatakan kalau kejadian ini atau itu murni pemerkosaan atau bukan. Kami sifatnya cuma mendata berdasarkan adanya permintaan dari pihak kepolisian dan kami tahu jika kriminalisasi asusila ini cukup tinggi sejak Januari,” ujarnya.
Lanjutnya peningkatan itu berkisar 5-10 ppersen dan paling banyak dialami oleh anak-anak dibawah umur 17 tahun. Banyak dari kasus itu yang tidak dilaporkan ke pihak polisi tetapi datanya ada di RSUD.
“Variasi korban ini 90 persen umurnya rata-rata dibawah 17 tahun, dan korban cabulnya lebih banyak masih balita 3-4 tahun,” tuturnya.
Menurutnya hal ini sanagt memprihatinkan memang karena balita belum mengerti apa-apa secara fisik anak ini akan terganggu. Itu sebabnya harus ada upaya rehabilitasi proses hidupnya lewat bantuan konselor kepada anak ini. Sehingga setidaknya korban bisa dibantu untuk kehidupan selanjutnya secara normal.
Karenanya Lucky mengingatkan perlunya pihak seperti Dinas Sosial dan Lembang Perlindungan Anak (LPA) yang memproteksi terjadinya hal ini sehingga payung kesehatan untuk membangun psikologis anak dapat dibentuk dengan baik. [SalamPapua]
Terutama untuk membantu korban pemerkosaan melewati masa pemulihan dan trauma atas tindakan kejahatan asusila tersebut.
“Semua kasus percabulan yang terjadi sudah pasti merugikan dan pihak korban hanya minta kejelasan payung hukum. Namun mereka masih bingung dan tidak mengerti payung hukum mana dan kesehatan bagi mereka, terutama untuk korban. Ini yang belum jelas dan belum diopinikan. Jadi memang dibutuhkan proses-proses pemberian pemahaman kepada orang tua korban. Misalnya untuk membangun psikologis anak dengan menyediakan konselor dan tenaga lainnya. Inilah kebutuhan tim terpadu untuk penanggulangan dimaksud,” ujar Lucky kepada Salam Papua di RSUD Mimika, Kamis (28/5).
Dikatakan Lucky yang juga sekretris Direktur RSUD Mimika dalam beberapa bulan terakhir ini kasus asusila cukup menonjol. Berdasar pada laporan kepolisian diketahui bahwa kejadian asusila semakin meningkat. Sehingga berhubungan dengan hal itu RSUD juga berperan dalam menangani korban kekerasan seksual tersebut. Dan untuk menangani hal ini semua, tim terpadu harus dibentuk guna menindak lanjuti proses tindakan medis terhadap korban.
“Dalam batasan medis tentu saja bisa dikatakan tidak ada indikasi, selanjutnya dalam wewenang hukum kepolisian yang bisa mengatakan kalau kejadian ini atau itu murni pemerkosaan atau bukan. Kami sifatnya cuma mendata berdasarkan adanya permintaan dari pihak kepolisian dan kami tahu jika kriminalisasi asusila ini cukup tinggi sejak Januari,” ujarnya.
Lanjutnya peningkatan itu berkisar 5-10 ppersen dan paling banyak dialami oleh anak-anak dibawah umur 17 tahun. Banyak dari kasus itu yang tidak dilaporkan ke pihak polisi tetapi datanya ada di RSUD.
“Variasi korban ini 90 persen umurnya rata-rata dibawah 17 tahun, dan korban cabulnya lebih banyak masih balita 3-4 tahun,” tuturnya.
Menurutnya hal ini sanagt memprihatinkan memang karena balita belum mengerti apa-apa secara fisik anak ini akan terganggu. Itu sebabnya harus ada upaya rehabilitasi proses hidupnya lewat bantuan konselor kepada anak ini. Sehingga setidaknya korban bisa dibantu untuk kehidupan selanjutnya secara normal.
Karenanya Lucky mengingatkan perlunya pihak seperti Dinas Sosial dan Lembang Perlindungan Anak (LPA) yang memproteksi terjadinya hal ini sehingga payung kesehatan untuk membangun psikologis anak dapat dibentuk dengan baik. [SalamPapua]