Kekerasan di Papua Merupakan Pukulan bagi Pendekatan Damai Presiden Jokowi
pada tanggal
Friday, 29 May 2015
JAKARTA - Pengamat Papua dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Adriana Elisabeth, menilai sejumlah kekerasan di Papua yang terjadi beberapa hari terakhir dianggap sebagai pukulan bagi Presiden Jokowi terkait pendekatan baru dalam menangani Papua.
Dalam kekerasan terbaru di Distrik Mulia, Puncak Jaya, Selasa (26/5), enam warga sipil ditembak oleh kelompok yang terdiri dari 18 orang yang melarikan diri ke hutan, seperti dijelaskan Kapolda Papua, Irjen Pol Yoetje Mende.
Sedangkan seorang warga, Pengga Enumbi, yang berusia 31 tahun, tewas karena sejumlah tembakan di kepalanya. Juru bicara Polda Papua, Patrige Renwarin juga mengakui bahwa polisi melakukan penyelidikan biasa atas penembakan tersebut dan tidak mengaitkannya dengan berita tentang yang disebut 'perang total di Papua'.
"Kami tak bisa gegabah mengaitkan kejadian ini dengan isu ancaman-ancaman itu. Kami tak boleh terpancing memberikan respon yang gegabah yang justru malah menimbulkan antipati di masyarakat," tuturnya.
Menurut Adriana kekerasan-kekerasan tersebut bisa dilihat sebagai pukulan buat pendekatan baru Jokowi dalam menangani Papua.
"Langkah Jokowi membuka Papua itu cukup ekstrim, terkait stigma Papua sebagai daerah konflik. Hal itu pasti mendapat tentangan atau gangguan. Ketika pemerintah mau membuka Papua, muncul peristiwa-peristiwa seperti itu," ujarnya,
Dia mengakui jelas bukan hal yang mudah untuk menghentikan konflik vertikal di Papua karena sebagian masyarakatnya sendiri sudah tidak percaya dengan kinerja TNI. Dalam konteks itu, pemerintah Jokowi, tambah Adriana harus menunjukkan harapan baru bahwa mereka memiliki strategi yang lebih manusiawi dan tak lagi opresif terkait Papua namun di tingkat bawah bisa jadi ditafsirkan secara berbeda.
"Jadi butuh waktu, agar kebijakan baru itu diterjemahkan dengan tepat oleh pelaksana di lapangan," paparnya. [BBC]
Dalam kekerasan terbaru di Distrik Mulia, Puncak Jaya, Selasa (26/5), enam warga sipil ditembak oleh kelompok yang terdiri dari 18 orang yang melarikan diri ke hutan, seperti dijelaskan Kapolda Papua, Irjen Pol Yoetje Mende.
Sedangkan seorang warga, Pengga Enumbi, yang berusia 31 tahun, tewas karena sejumlah tembakan di kepalanya. Juru bicara Polda Papua, Patrige Renwarin juga mengakui bahwa polisi melakukan penyelidikan biasa atas penembakan tersebut dan tidak mengaitkannya dengan berita tentang yang disebut 'perang total di Papua'.
"Kami tak bisa gegabah mengaitkan kejadian ini dengan isu ancaman-ancaman itu. Kami tak boleh terpancing memberikan respon yang gegabah yang justru malah menimbulkan antipati di masyarakat," tuturnya.
Menurut Adriana kekerasan-kekerasan tersebut bisa dilihat sebagai pukulan buat pendekatan baru Jokowi dalam menangani Papua.
"Langkah Jokowi membuka Papua itu cukup ekstrim, terkait stigma Papua sebagai daerah konflik. Hal itu pasti mendapat tentangan atau gangguan. Ketika pemerintah mau membuka Papua, muncul peristiwa-peristiwa seperti itu," ujarnya,
Dia mengakui jelas bukan hal yang mudah untuk menghentikan konflik vertikal di Papua karena sebagian masyarakatnya sendiri sudah tidak percaya dengan kinerja TNI. Dalam konteks itu, pemerintah Jokowi, tambah Adriana harus menunjukkan harapan baru bahwa mereka memiliki strategi yang lebih manusiawi dan tak lagi opresif terkait Papua namun di tingkat bawah bisa jadi ditafsirkan secara berbeda.
"Jadi butuh waktu, agar kebijakan baru itu diterjemahkan dengan tepat oleh pelaksana di lapangan," paparnya. [BBC]