Human Right Watch (HRW) Minta Presiden Joko Widodo Bebaskan Semua Tapol di Papua
pada tanggal
Saturday, 23 May 2015
JAKARTA - Presiden Joko Widodo memberikan grasi atau pengampunan terhadap lima orang tahanan politik yang terkait gerakan Papua Merdeka di Jayapura. Lembaga pemerhati HAM, Human Right Watch (HRW) mengatakan kelima orang itu hanya sedikit dari puluhan tahanan politik yang masih mendekam di penjara Papua.
Dalam pernyataannya, Minggu (10/5), Amnesty menyerukan pemerintah Indonesia untuk membebaskan seluruh tahanan politik yang terlibat kasus separatisme, seperti di Papua dan Maluku.
"Pembebasan lima tahanan itu memberikan harapan bahwa banyak tahanan politik akan dibebaskan, tapi mereka masih dipenjara," kata Phelim Kine, wakil direktur HRW Asia.
HRW merinci lima tapol yang dibebaskan adalah Apotnalogolik Lokobal, Numbungga Telenggen, Kimanus Wenda, Linus Hiluka, dan Jefrai Murib saat Jokowi menyambangi Jayapura, Sabtu (9/5).
Mereka ditahan 12 tahun lalu atas penyerangan ke gudang senjata TNI di Wamena pada 4 April 2003, menewaskan dua tentara. Telenggen dan Murib divonis seumur hidup karena terlibat penyerangan itu. Tiga lainnya ditahan karena memiliki pandangan pro-kemerdekaan Papua.
Menurut HRW yang mengutip organisasi advokasi tahanan, Papuans Behind Bars, masih ada 38 warga Papua yang dipenjara, ditahan dan diadili atas tuduhan yang "melanggar kebebasan berekspresi" mereka. Di pulau Maluku, ada 29 tahanan politik yang ditahan karena terlibat gerakan Republik Maluku Selatan, RMS.
Kebanyakan yang ditahan adalah para pengibar bendera separatis, seperti bendera Bintang Kejora Papua dan RMS. Menurut HRW, tindakan ini adalah bentuk dari kebebasan berekspresi.
Selain memberikan grasi pada lima tahanan politik, Jokowi juga menyatakan akan mempermudah akses wartawan asing meliput ke Papua. Sebelumnya selama ini, wartawan yang hendak meliput soal tuduhan pelanggaran HAM di wilayah paling barat Indonesia itu mengaku kesulitan.
HRW mempertanyakan teknis dari langkah Jokowi ini. Menurut mereka, selama ini pemerintah Indonesia telah mempekerjakan puluhan wartawan lokal sebagai informan, sehingga objektivitas pemberitaan dipertanyakan.
"Jika Presiden Widodo memang serius mengatasi ketakutan yang menjalar di Papua, impunitas dan pelanggaran HAM, seharusnya dia memulai dengan membebaskan seluruh tahanan politik, memberi kebebasan media, dan mendesak penyelidikan yang berarti terkait pelanggaran," kata Kine. [CNN]
Dalam pernyataannya, Minggu (10/5), Amnesty menyerukan pemerintah Indonesia untuk membebaskan seluruh tahanan politik yang terlibat kasus separatisme, seperti di Papua dan Maluku.
"Pembebasan lima tahanan itu memberikan harapan bahwa banyak tahanan politik akan dibebaskan, tapi mereka masih dipenjara," kata Phelim Kine, wakil direktur HRW Asia.
HRW merinci lima tapol yang dibebaskan adalah Apotnalogolik Lokobal, Numbungga Telenggen, Kimanus Wenda, Linus Hiluka, dan Jefrai Murib saat Jokowi menyambangi Jayapura, Sabtu (9/5).
Mereka ditahan 12 tahun lalu atas penyerangan ke gudang senjata TNI di Wamena pada 4 April 2003, menewaskan dua tentara. Telenggen dan Murib divonis seumur hidup karena terlibat penyerangan itu. Tiga lainnya ditahan karena memiliki pandangan pro-kemerdekaan Papua.
Menurut HRW yang mengutip organisasi advokasi tahanan, Papuans Behind Bars, masih ada 38 warga Papua yang dipenjara, ditahan dan diadili atas tuduhan yang "melanggar kebebasan berekspresi" mereka. Di pulau Maluku, ada 29 tahanan politik yang ditahan karena terlibat gerakan Republik Maluku Selatan, RMS.
Kebanyakan yang ditahan adalah para pengibar bendera separatis, seperti bendera Bintang Kejora Papua dan RMS. Menurut HRW, tindakan ini adalah bentuk dari kebebasan berekspresi.
Selain memberikan grasi pada lima tahanan politik, Jokowi juga menyatakan akan mempermudah akses wartawan asing meliput ke Papua. Sebelumnya selama ini, wartawan yang hendak meliput soal tuduhan pelanggaran HAM di wilayah paling barat Indonesia itu mengaku kesulitan.
HRW mempertanyakan teknis dari langkah Jokowi ini. Menurut mereka, selama ini pemerintah Indonesia telah mempekerjakan puluhan wartawan lokal sebagai informan, sehingga objektivitas pemberitaan dipertanyakan.
"Jika Presiden Widodo memang serius mengatasi ketakutan yang menjalar di Papua, impunitas dan pelanggaran HAM, seharusnya dia memulai dengan membebaskan seluruh tahanan politik, memberi kebebasan media, dan mendesak penyelidikan yang berarti terkait pelanggaran," kata Kine. [CNN]