Hasil Kunjungan DPRP, PT Smelting di Gresik Hanya Tampung 500 Tenaga Kerja
pada tanggal
Saturday, 16 May 2015
GRESIK (JATIM) - Rasa optimis Pemerintah Provinsi Papua akan membangun pabrik Smelter di Papua, memang sudah bulat. Apalagi, setelah mendapat dukungan mayoritas dari DPR Papua yang melakukan kunjungan langsung ke PT Smelting, Gresik Copper Smelter & Refinery di Gresik Jawa Timur, Jumat (8/5) pekan lalu. Dalam kunjungan itu, menyertakan beberapa awak media dari Timika dan Jayapura.
“Sebenarnya kami sudah menunggu sejak pukul .09.00 pagi sesuai janji, tapi tidak mengapa ternyata bapak-bapak baru datang. Hanya saja kami minta maaf karena pertemuan kita nantinya harus jeda untuk waktu sholat Jumat,” demikian Manajer Teknik PT Smelting Gresik Bousman T.Situmorang ketika menerima rombongan DPR Papua di salah satu ruang pertemuan di PT Smelting.
Pernyataan ini mengisyaratkan betapa pentingnya nilai-nilai agama itu bagi karyawan di lingkungan PT Smelting. Sebelum pukul 11.30 untuk masa sholat yang diberlakukan di lingkungan perusahaan itu, rombongan DPR P terlebih dahulu diberi kesempatan menyampaikan maksud dan tujuan kunjungan ke PT Smelting.
Rombongan DPR Papua yang diwakili Ketua Komisi IV Boy Markus Dawir mengutarakan maksud dan tujuan mereka. Antara lain, ingin mengetahui informasi lebih banyak tentang PT Smelting yang selama ini mengelola hasil konsentrat tembaga di PT Freeport Indonesia.
Setelah perkenalan singkat itu, dilanjutkan presentasi PT Smelting oleh Manajer Teknik PT Smelting Gresik, Bousmen T. Situmorang. Diungkapkan, PT Smelting sebagai satu-satunya smelter tembaga di Indonesia telah menerapkan teknologi terbaru yaitu proses Mitsubishi yang merupakan proses smelter kontinu. Karena itu, PT Smelter tidak banyak menyerap tenaga kerja.
Untuk saat ini jumlah karyawannya 500 orang. Dari jumlah ini, 14 orang diantaranya tenaga kerja asing, 300-an dari tenaga teknis (setingkat SMK) dan sisanya sarjana dari berbagai latar belakangan ilmu. Jumlah ini tidak sebanyak yang bisa dibayangkan selayaknya sebuah perusahaan besar.
Sedangkan kapasitas produksi pabrik saat ini mencapai 300.000 ton per tahun dengan luas area pabrik 28,5 Ha. Di dalam are 28,5 ha ini terdapat beberapa gedung bagunan, termasuk untuk pengolahan limbah buangan perusahaan. Sementara di sekitarnya juga terdapat ada beberapa pabrik pendukung seperti pabrik pupuk dan semen yang memanfatkan limbah buangan pabrik smelter.
Dikatakan, konsentrat tembaga yang diolah di PT Smelting Gresik tersebut sebagian besar dari hasil PT Freeport Indonesia, yaitu 85 persen dan 15 persen dari PT Newmont Nusa Tenggara. Konsentrat tembaga yang diolah sekitar satu juta ton per tahun. Konsentrat tembaga tersebut diolah menjadi tembaga katoda dengan produksi berkisar antara 270 ribu ton sampai 300 ribu ton per tahun. Tembaga katoda yang diproduksi kemudian dijual di dalam negeri (60%) dan sisanya 40% diekspor ke pasar Asia Tenggara.
Dijelaskan, hasil industri smelter dari PT Smelting dengan proses Mitsubishi disamping produk utama berupa tembaga katoda, juga menghasilkan produk sampingan yaitu: asam sulfat 700.000 ton per tahun yang dijual ke PT Petrokimia Gresik. Terak tembaga dan gypsum yang berguna untuk bahan baku semen dan dijual ke PT Semen Gresik masing masing sebesar 530.000 ton per tahun dan 20.000 ton tahun.
Ada juga lumpur anoda yang mengandung logam-logam mulia seperti emas, perak, dan logam-logam yang termasuk dalam PGM (Platinum Group Metal) seperti platinum, palladium, rodium, iridium, osmium, dan ruthenium. Lumpur anoda ini masih diekspor karena belum ada proses pemurniaannya di Indonesia.
Jika mengacu pada proses pembangunan PT Smelting Gresik, maka tergambar jelas bahwa untuk mewujudkan pembangunan Smelter di Papua yang kondisi geografis dan social masyarakatnya belum siap, bukan pekerjaan mudah.
Akan banyak tantangan harus dihadapi. Sebagai gambaran diungkapkan, Bosuman T Simatupang, Manajer Tekni PT Smelting. Dikatakan, untuk pembangunan pabrik pengolahan dan pemurnian logam (Smelter), yang paling penting adanya sejumlah pabrik pendukung yang dapat menampung produk sampingan atau limbah dari pabrik Smelter. Bisa dibayangkan jika asamsulfat yang dihasilkan rata-rata 300 ton perhari (700.000 ton per tahun) tidak ada perusahaan pupuk yang menampungnya.
Ini jelas menjadi masalah besar, selain zat asamsulfat berbahaya untuk kesehatan manusia dan lingkungan sekitar, juga akan butuh biaya yang besar jika harus dikirim ke tempat yang jaraknya jauh. Selain itu ada juga produk samping lainnya berupa kerak tembaga yang bisa diolah untuk pabrik semen yaitu PT Semen Gresik yang ada di sekitar area itu. Kemudian harus didukung dengan penyediaan listrik yang cukup, pelabuhan laut yang memadai, karena untuk proses bongkar muat bahan material dibutuhkan ke dalaman laut tertentu, yaitu sekitar 12 k, ditambah infrastruktur lainnya seperti jalan dan pelabuhan umum (komersial) untuk memudahkan pengiriman hasil produk ke sejumlah Negara sasaran yaitu Asia Tenggara.
Hal senada juga diungkapkan seorang Akademisi Universitas Cenderawasih, Apolo Safanpo, ST,MT yang juga ikut dalam kunjungan itu. Ia mengatakan untuk rencana pembangunan Smelter di Papua masyarakat Papua perlu mendapatkan informasi yang benar dan utuh tentang plus- minusnya jika pembangunan smelter itu dibangun.
Tapi yang pasti, kebijakan Pemerintah Provinsi akan membangun Smelter di Papua dan telah mendapat dukungan dari DPR Papua merupakan satu kebijakan positif. Pasalnya, keberadaan Smelter ini diharapkan dapat memicu dan mendorong pertumbuhan ekonomi rakyat melalui terbangunnya infra struktur lainnya seperti jalan, pabrik semen, pabrik pupuk dan pelabuhan.
Hanya saja dukungan pembangunan Smelter ini juga perlu diikuti kajian-kajian teknis yang mendalam dari berbagai aspek. Sebab pabrik smelter tidak bisa bediri sendiri, harus ada sarana pendukungnya yang perlu pelur disiapkan lebih dahulu mulai dari pembangkit energy, akses jalan, pelabuhan dan pabrik yang bisa menampung libambah buangan smelter seperti pabrik pupuk dan semen.
Dengan kondisi Papua saat ini, maka waktu yang dibutuhkan membangun smelter idealnya 6 tahun dengan asumi tidak ada hambatan di lapangan.
Untuk serapan tenaga kerja, dikatakan jika mengacu pembangunan Smelter di Gresik hanya butuh 500 orang, dengan disipilin ilmu yang berbeda ada teknik mesin, elektro, teknik sipil. “Kalau kita bersasumsi bahwa smelter ini akan membuka banyak lapangan kerja untuk orang Papua belum tentu benar, harus kita hitung secara baik kapasitasnya dan berapa SDM yang kita butuhkan untuk mengoperasikan smelter ini .
“Dan perlu juga kita tahu bahwa teknologi ini terus berkembang dan itu biasanya mengurangi manpowernya, kalau dulu pabrik-pabrik butuh 1000 tenaga kerja, dalam waktu 5 tahun bisa berkurang setengah butuh 500 saja, karena teknologi ini semakin mengurangi penggunaan tenaga manusia,”katanya.
Sementara itu angota DPR P dari Partai Hanura, Yan P Mandenas, berpendapat membangunan smelter di papua kita harus berfikir realistis.
“Saya sebenarnya setuju saja Smelter dibangun di Papua, tapi saat ini saya yakin Papua dari sebagai aspek belum siap,”katanya.
Untuk itu rencana besar ini harus dikaji dengan baik, tidak serta merta kita setuju untuk mendorong pembangunan smelter di Papua. Dilihat dulu faktor-faktor yang bisa menguntungkan rakyat. Kemudian yang perlu diingat kita tidak bisa padukan dua kekuatan ekonomi dunia antara Amerika dengan China, sebab dalam sejarah bisnis apapun tidak pernah terjadi hal itu. Jadi saya pikir kalau kita mau bangun Smelter di Papua kita harus lakukan negosiasi dan perundingan dengan PT Freeport Indonesia. Karena masalah Freeport sudah menyangkut masalah politik dan pertambangan bisnis Papua dan bangsa Indonesia, ini sudah menyangkut kepentingan internasional antara Amerika, Rusia, Indonesia dan Belanda.
“Saya tahu persis perkembangan Freeport ini, jadi saya tidak mau bicara muluk-muluk, tapi saya harap pemerintah Indonesia dan Papua mempertimbangkan dengan baik, sehingga investasi yang kita dorong ke depan menguntungkan rakyat Papua," ujar Yan Mandenas juga meragukan apakah benar, jika smelter dibangun di Papua ini dapat mempekerjakan banyak orang Papua.
“Kalau bangun smelter berapa orang Papua yang harus direkrut, kalau dominasi orang Papua dipekerjakan silahkan smelter dibangun, tetapi sekarang belum banyak orang Papua dipersiapkan, jadi tugas utama pemerintah pusat dan daerah adalah bagaimana meningkatkan kualitas pendidikan manusia Papua karena itulah yang mengangkat harkat orang Papua.
Selama pembangunan manusia Papua diabaikan, maka program apapun ke Papua, rakyat Papua tidak mendapatkan apa-apa dan hanya sebagai penonton di atas kekayaan alamnya yang melimpah. [BintangPapua]
“Sebenarnya kami sudah menunggu sejak pukul .09.00 pagi sesuai janji, tapi tidak mengapa ternyata bapak-bapak baru datang. Hanya saja kami minta maaf karena pertemuan kita nantinya harus jeda untuk waktu sholat Jumat,” demikian Manajer Teknik PT Smelting Gresik Bousman T.Situmorang ketika menerima rombongan DPR Papua di salah satu ruang pertemuan di PT Smelting.
Pernyataan ini mengisyaratkan betapa pentingnya nilai-nilai agama itu bagi karyawan di lingkungan PT Smelting. Sebelum pukul 11.30 untuk masa sholat yang diberlakukan di lingkungan perusahaan itu, rombongan DPR P terlebih dahulu diberi kesempatan menyampaikan maksud dan tujuan kunjungan ke PT Smelting.
Rombongan DPR Papua yang diwakili Ketua Komisi IV Boy Markus Dawir mengutarakan maksud dan tujuan mereka. Antara lain, ingin mengetahui informasi lebih banyak tentang PT Smelting yang selama ini mengelola hasil konsentrat tembaga di PT Freeport Indonesia.
Setelah perkenalan singkat itu, dilanjutkan presentasi PT Smelting oleh Manajer Teknik PT Smelting Gresik, Bousmen T. Situmorang. Diungkapkan, PT Smelting sebagai satu-satunya smelter tembaga di Indonesia telah menerapkan teknologi terbaru yaitu proses Mitsubishi yang merupakan proses smelter kontinu. Karena itu, PT Smelter tidak banyak menyerap tenaga kerja.
Untuk saat ini jumlah karyawannya 500 orang. Dari jumlah ini, 14 orang diantaranya tenaga kerja asing, 300-an dari tenaga teknis (setingkat SMK) dan sisanya sarjana dari berbagai latar belakangan ilmu. Jumlah ini tidak sebanyak yang bisa dibayangkan selayaknya sebuah perusahaan besar.
Sedangkan kapasitas produksi pabrik saat ini mencapai 300.000 ton per tahun dengan luas area pabrik 28,5 Ha. Di dalam are 28,5 ha ini terdapat beberapa gedung bagunan, termasuk untuk pengolahan limbah buangan perusahaan. Sementara di sekitarnya juga terdapat ada beberapa pabrik pendukung seperti pabrik pupuk dan semen yang memanfatkan limbah buangan pabrik smelter.
Dikatakan, konsentrat tembaga yang diolah di PT Smelting Gresik tersebut sebagian besar dari hasil PT Freeport Indonesia, yaitu 85 persen dan 15 persen dari PT Newmont Nusa Tenggara. Konsentrat tembaga yang diolah sekitar satu juta ton per tahun. Konsentrat tembaga tersebut diolah menjadi tembaga katoda dengan produksi berkisar antara 270 ribu ton sampai 300 ribu ton per tahun. Tembaga katoda yang diproduksi kemudian dijual di dalam negeri (60%) dan sisanya 40% diekspor ke pasar Asia Tenggara.
Dijelaskan, hasil industri smelter dari PT Smelting dengan proses Mitsubishi disamping produk utama berupa tembaga katoda, juga menghasilkan produk sampingan yaitu: asam sulfat 700.000 ton per tahun yang dijual ke PT Petrokimia Gresik. Terak tembaga dan gypsum yang berguna untuk bahan baku semen dan dijual ke PT Semen Gresik masing masing sebesar 530.000 ton per tahun dan 20.000 ton tahun.
Ada juga lumpur anoda yang mengandung logam-logam mulia seperti emas, perak, dan logam-logam yang termasuk dalam PGM (Platinum Group Metal) seperti platinum, palladium, rodium, iridium, osmium, dan ruthenium. Lumpur anoda ini masih diekspor karena belum ada proses pemurniaannya di Indonesia.
Jika mengacu pada proses pembangunan PT Smelting Gresik, maka tergambar jelas bahwa untuk mewujudkan pembangunan Smelter di Papua yang kondisi geografis dan social masyarakatnya belum siap, bukan pekerjaan mudah.
Akan banyak tantangan harus dihadapi. Sebagai gambaran diungkapkan, Bosuman T Simatupang, Manajer Tekni PT Smelting. Dikatakan, untuk pembangunan pabrik pengolahan dan pemurnian logam (Smelter), yang paling penting adanya sejumlah pabrik pendukung yang dapat menampung produk sampingan atau limbah dari pabrik Smelter. Bisa dibayangkan jika asamsulfat yang dihasilkan rata-rata 300 ton perhari (700.000 ton per tahun) tidak ada perusahaan pupuk yang menampungnya.
Ini jelas menjadi masalah besar, selain zat asamsulfat berbahaya untuk kesehatan manusia dan lingkungan sekitar, juga akan butuh biaya yang besar jika harus dikirim ke tempat yang jaraknya jauh. Selain itu ada juga produk samping lainnya berupa kerak tembaga yang bisa diolah untuk pabrik semen yaitu PT Semen Gresik yang ada di sekitar area itu. Kemudian harus didukung dengan penyediaan listrik yang cukup, pelabuhan laut yang memadai, karena untuk proses bongkar muat bahan material dibutuhkan ke dalaman laut tertentu, yaitu sekitar 12 k, ditambah infrastruktur lainnya seperti jalan dan pelabuhan umum (komersial) untuk memudahkan pengiriman hasil produk ke sejumlah Negara sasaran yaitu Asia Tenggara.
Hal senada juga diungkapkan seorang Akademisi Universitas Cenderawasih, Apolo Safanpo, ST,MT yang juga ikut dalam kunjungan itu. Ia mengatakan untuk rencana pembangunan Smelter di Papua masyarakat Papua perlu mendapatkan informasi yang benar dan utuh tentang plus- minusnya jika pembangunan smelter itu dibangun.
Tapi yang pasti, kebijakan Pemerintah Provinsi akan membangun Smelter di Papua dan telah mendapat dukungan dari DPR Papua merupakan satu kebijakan positif. Pasalnya, keberadaan Smelter ini diharapkan dapat memicu dan mendorong pertumbuhan ekonomi rakyat melalui terbangunnya infra struktur lainnya seperti jalan, pabrik semen, pabrik pupuk dan pelabuhan.
Hanya saja dukungan pembangunan Smelter ini juga perlu diikuti kajian-kajian teknis yang mendalam dari berbagai aspek. Sebab pabrik smelter tidak bisa bediri sendiri, harus ada sarana pendukungnya yang perlu pelur disiapkan lebih dahulu mulai dari pembangkit energy, akses jalan, pelabuhan dan pabrik yang bisa menampung libambah buangan smelter seperti pabrik pupuk dan semen.
Dengan kondisi Papua saat ini, maka waktu yang dibutuhkan membangun smelter idealnya 6 tahun dengan asumi tidak ada hambatan di lapangan.
Untuk serapan tenaga kerja, dikatakan jika mengacu pembangunan Smelter di Gresik hanya butuh 500 orang, dengan disipilin ilmu yang berbeda ada teknik mesin, elektro, teknik sipil. “Kalau kita bersasumsi bahwa smelter ini akan membuka banyak lapangan kerja untuk orang Papua belum tentu benar, harus kita hitung secara baik kapasitasnya dan berapa SDM yang kita butuhkan untuk mengoperasikan smelter ini .
“Dan perlu juga kita tahu bahwa teknologi ini terus berkembang dan itu biasanya mengurangi manpowernya, kalau dulu pabrik-pabrik butuh 1000 tenaga kerja, dalam waktu 5 tahun bisa berkurang setengah butuh 500 saja, karena teknologi ini semakin mengurangi penggunaan tenaga manusia,”katanya.
Sementara itu angota DPR P dari Partai Hanura, Yan P Mandenas, berpendapat membangunan smelter di papua kita harus berfikir realistis.
“Saya sebenarnya setuju saja Smelter dibangun di Papua, tapi saat ini saya yakin Papua dari sebagai aspek belum siap,”katanya.
Untuk itu rencana besar ini harus dikaji dengan baik, tidak serta merta kita setuju untuk mendorong pembangunan smelter di Papua. Dilihat dulu faktor-faktor yang bisa menguntungkan rakyat. Kemudian yang perlu diingat kita tidak bisa padukan dua kekuatan ekonomi dunia antara Amerika dengan China, sebab dalam sejarah bisnis apapun tidak pernah terjadi hal itu. Jadi saya pikir kalau kita mau bangun Smelter di Papua kita harus lakukan negosiasi dan perundingan dengan PT Freeport Indonesia. Karena masalah Freeport sudah menyangkut masalah politik dan pertambangan bisnis Papua dan bangsa Indonesia, ini sudah menyangkut kepentingan internasional antara Amerika, Rusia, Indonesia dan Belanda.
“Saya tahu persis perkembangan Freeport ini, jadi saya tidak mau bicara muluk-muluk, tapi saya harap pemerintah Indonesia dan Papua mempertimbangkan dengan baik, sehingga investasi yang kita dorong ke depan menguntungkan rakyat Papua," ujar Yan Mandenas juga meragukan apakah benar, jika smelter dibangun di Papua ini dapat mempekerjakan banyak orang Papua.
“Kalau bangun smelter berapa orang Papua yang harus direkrut, kalau dominasi orang Papua dipekerjakan silahkan smelter dibangun, tetapi sekarang belum banyak orang Papua dipersiapkan, jadi tugas utama pemerintah pusat dan daerah adalah bagaimana meningkatkan kualitas pendidikan manusia Papua karena itulah yang mengangkat harkat orang Papua.
Selama pembangunan manusia Papua diabaikan, maka program apapun ke Papua, rakyat Papua tidak mendapatkan apa-apa dan hanya sebagai penonton di atas kekayaan alamnya yang melimpah. [BintangPapua]