Bahlil Lahadalia, Pengusaha Papua yang Tak Minta Pinjaman di Bank
pada tanggal
Monday, 11 May 2015
JAKARTA - Prinsip berbisnis masing-masing pengusaha berbeda-beda, ada yang mengandalkan roda bisnisnya dengan modal dari pinjaman perbankan, namun ada juga yang sebaliknya. Seperti yang dialami oleh Ketua Umum Himpunan Pengusaha Muda Indonesia (Hipmi) Bahlil Lahadalia.
Bahlil yang berasal dari Fakfak, Papua Barat ini sedikitnya sudah punya 5 perusahaan, misalnya saat membangun awal bisnis kontraktornya tak meminjam uang dari bank.
Ia yang memulai karir dari seorang sopir angkot ini mengaku punya alasan tersendiri, termasuk dalam memandang karakter bank-bank di Indonesia.
"Saya itu dari awal bisnis nggak mau pakai bank, terakhir 2009, bukan saya yang ke bank, bank yang ke saya. Saya nggak pernah merengek," tegas Bahlil kepada detikFinance, akhir pekan ini saat berkunjung ke kantor detikcom.
Ia mengakui sebagai pengusaha pemula di Indonesia tak mudah, kalangan perbankan umumnya tak gampang percaya memberikan pinjaman untuk memulai usaha. Namun sebaliknya, saat seseorang menjadi pengusaha sukses maka antrean tawaran pinjaman modal pun berdatangan.
"Saya bukan tipe yang merengek. Kalau dia (bank) dulu datang, duduk bareng mau saya begini mau, saya begini kalau nggak jalan ya sudah nggak usah. Jadi harus duduk sejajar dengan bank," katanya.
Bahlil mengatakan karakter bankir di Indonesia memang jauh berbeda dengan di luar negeri. Ia mengatakan bila bank di luar negeri, posisi tawar bank dan pengusaha sejajar.
Mereka juga menganut prinsip memberikan kredit untuk membangun bisnis, ketika pengusaha besar, maka banknya juga ikut besar, sedangkan di Indonesia justru sebaliknya.
"Kalau bank di Indonesia, awalnya tak mau biayai, begitu pengusaha sudah besar, langsung ditangkap peluang (beri pinjaman)," katanya
Ia mengatakan menjadi pengusaha pemula di Indonesia memang tak mudah karena kehadiran negara masih minim untuk mendukung pengusaha pemula. Di India ijazah lulusan S-1 bisa menjadi jaminan pinjaman di bank. Pola semacam ini sebenarnya bisa diterapkan di Indonesia namun tak perlu sama persis yang penting bisa memberikan akses kepada pengusaha pemula.
"Bahkan di Malaysia UMNO (Partai Penguasa Malaysia), pemudanya dikasih modal kerja Rp 150 juta, dan itu diberikan negara. Kalau di Indonesia ada KUR (kredit usaha rakyat), awalnya tak pakai agunan akhirnya pakai agunan juga. Bunganya 20%," katanya.
Bahlil mengkritik soal negara tak banyak hadir dalam mendukung pengusaha pemula di Indonesia. Padahal Indonesia masih kekurangan jumlah pengusaha. Hipmi, sudah sejak lama melakukan pendampingan kepada calon pengusaha sejak di bangku kuliah dengan membentuk Hipmi Perguruan Tinggi (Hipmi PT).
Menurutnya pemerintah sudah seharusnya mendukung para pengusaha baru. Bila jumlah pengusaha baru bertambah maka pemasukan pajak pun bertambah dari Pajak Penghasilan (PPh) badan sebesar 30%. Bahlil mengibaratkan porsi kontribusi pajak pengusaha ke negara seperti sebuah porsi saham yang diberikan ke pemerintah.
"Selama ini kita disuruh kerja mati dulu , kalau baik (berhasil) bayar (pajak) ke negara, melalui PPh badan 30%. Kalau gagal you mati, negara nggak pusing, kalau berhasil maka bayar 30%, sebagai pemagang saham. Yang menjadi pertanyaan di mana peranan negara," katanya. [Detik]
Bahlil yang berasal dari Fakfak, Papua Barat ini sedikitnya sudah punya 5 perusahaan, misalnya saat membangun awal bisnis kontraktornya tak meminjam uang dari bank.
Ia yang memulai karir dari seorang sopir angkot ini mengaku punya alasan tersendiri, termasuk dalam memandang karakter bank-bank di Indonesia.
"Saya itu dari awal bisnis nggak mau pakai bank, terakhir 2009, bukan saya yang ke bank, bank yang ke saya. Saya nggak pernah merengek," tegas Bahlil kepada detikFinance, akhir pekan ini saat berkunjung ke kantor detikcom.
Ia mengakui sebagai pengusaha pemula di Indonesia tak mudah, kalangan perbankan umumnya tak gampang percaya memberikan pinjaman untuk memulai usaha. Namun sebaliknya, saat seseorang menjadi pengusaha sukses maka antrean tawaran pinjaman modal pun berdatangan.
"Saya bukan tipe yang merengek. Kalau dia (bank) dulu datang, duduk bareng mau saya begini mau, saya begini kalau nggak jalan ya sudah nggak usah. Jadi harus duduk sejajar dengan bank," katanya.
Bahlil mengatakan karakter bankir di Indonesia memang jauh berbeda dengan di luar negeri. Ia mengatakan bila bank di luar negeri, posisi tawar bank dan pengusaha sejajar.
Mereka juga menganut prinsip memberikan kredit untuk membangun bisnis, ketika pengusaha besar, maka banknya juga ikut besar, sedangkan di Indonesia justru sebaliknya.
"Kalau bank di Indonesia, awalnya tak mau biayai, begitu pengusaha sudah besar, langsung ditangkap peluang (beri pinjaman)," katanya
Ia mengatakan menjadi pengusaha pemula di Indonesia memang tak mudah karena kehadiran negara masih minim untuk mendukung pengusaha pemula. Di India ijazah lulusan S-1 bisa menjadi jaminan pinjaman di bank. Pola semacam ini sebenarnya bisa diterapkan di Indonesia namun tak perlu sama persis yang penting bisa memberikan akses kepada pengusaha pemula.
"Bahkan di Malaysia UMNO (Partai Penguasa Malaysia), pemudanya dikasih modal kerja Rp 150 juta, dan itu diberikan negara. Kalau di Indonesia ada KUR (kredit usaha rakyat), awalnya tak pakai agunan akhirnya pakai agunan juga. Bunganya 20%," katanya.
Bahlil mengkritik soal negara tak banyak hadir dalam mendukung pengusaha pemula di Indonesia. Padahal Indonesia masih kekurangan jumlah pengusaha. Hipmi, sudah sejak lama melakukan pendampingan kepada calon pengusaha sejak di bangku kuliah dengan membentuk Hipmi Perguruan Tinggi (Hipmi PT).
Menurutnya pemerintah sudah seharusnya mendukung para pengusaha baru. Bila jumlah pengusaha baru bertambah maka pemasukan pajak pun bertambah dari Pajak Penghasilan (PPh) badan sebesar 30%. Bahlil mengibaratkan porsi kontribusi pajak pengusaha ke negara seperti sebuah porsi saham yang diberikan ke pemerintah.
"Selama ini kita disuruh kerja mati dulu , kalau baik (berhasil) bayar (pajak) ke negara, melalui PPh badan 30%. Kalau gagal you mati, negara nggak pusing, kalau berhasil maka bayar 30%, sebagai pemagang saham. Yang menjadi pertanyaan di mana peranan negara," katanya. [Detik]