Asosiasi Mahasiswa Pegunungan Tengah Papua se-Indonesia (AMPTPI) Tuntut Presiden Jokowi Tutup PT Freeport
pada tanggal
Friday, 29 May 2015
JAKARTA - DPP Asosiasi Mahasiswa Pegunungan Tengah Papua se-Indonesia (AMPTPI) menggelar kongres di Bogor pada 18-22 Mei 2015 lalu. Kongres tersebut menghasilkan delapan butir pernyataan sikap terkait kondisi Papua.
"Ini harus didengar oleh pemerintah pusat, pemerintah daerah Papua dan DPR RI untuk selamatkan Papua," kata Sekjen DPP AMPTPI Januarius Lagoan Januarius saat konferensi pers di Cikini, Jakarta, Senin (25/5).
Januarius mengatakan, salah satu butir pernyataan itu adalah mendesak PT Freeport Indonesia untuk melakukan perundingan dengan pemerintah pusat dan warga asli di sekitar lokasi operasi mereka (pemilik tanah ulayat). Perundingan itu harus dilakukan sebelum penandatangan kontrak karya ke-III pada tahun 2021 yang akan datang.
Dia tegaskan, tuntutan ini merupakan harga mati yang tidak bisa ditawar-tawar lagi. "Jika tidak dilakukan sesuai dengan tuntutan kami, kami sebagai pemilik hak ulayat akan melakukan penutupan operasi penambagan PT Freeport di tanah Papua," tegasnya.
Terkait pelanggaran HAM di Papua, lanjut Januarius, AMPTPI mendesak pemerintah segera membentuk tim untuk melakukan penyelidikan dan membawa para pelaku ke meja hijau. Kasus-kasus yang dimaksudnya antara lain, penembakan di Paniai (2014), Yakuhimo (2015), Wamena (2003) dan Wasior (2003).
Selanjutnya, AMPTPI mendesak pemerintah Indonesia membuka akses total bagi jurnalis asing, diplomat, senator, akademisi dan pemerhati HAM untuk masuk ke Papua. Sedangkan butir keempat berisi penolakan terhadap segala bentuk pemekaran kabupaten, kota dan provinsi di provinsi ujung timur Indonesia itu.
"Kelima, kami meminta pemerintah Indonesia untuk segera menarik pasukan organik dan non-organik serta menghentikan pengembangan semua infrastruktur TNI dan Polri di tanah Papua," lanjut Januarius.
Butir keenam, AMPTPI menyatakan dukungan atas terbetuknya wadah koordinasi United Liberation Movement West Papua (ULMWP). Mereka berharap organisasi tersebut segera diterima sebagai anggota penuh Melanesia Speheard Group (MSG) tahun 2015 serta didaftarkan ke Komisi C-24 Peserikatan Bangsa-bangsa (PBB).
Kemudian, pada butir ketujuh AMPTPI mendesak semua kepala daerah di Papua untuk melakukan sensus khusus orang asli Papua (OAP) setiap tahun. Mereka juga menuntut diberlakukannya kartu tanda penduduk OAP dan pembatasan bagi warga imigran.
"Terakhir kami mendesak Gubernur Papua dan Gubernur Papua Barat untuk menutup semua penjualan minuman keras dan prostitusi seks komersial di tanah Papua," pungkas Januarius. [JPNN]
"Ini harus didengar oleh pemerintah pusat, pemerintah daerah Papua dan DPR RI untuk selamatkan Papua," kata Sekjen DPP AMPTPI Januarius Lagoan Januarius saat konferensi pers di Cikini, Jakarta, Senin (25/5).
Januarius mengatakan, salah satu butir pernyataan itu adalah mendesak PT Freeport Indonesia untuk melakukan perundingan dengan pemerintah pusat dan warga asli di sekitar lokasi operasi mereka (pemilik tanah ulayat). Perundingan itu harus dilakukan sebelum penandatangan kontrak karya ke-III pada tahun 2021 yang akan datang.
Dia tegaskan, tuntutan ini merupakan harga mati yang tidak bisa ditawar-tawar lagi. "Jika tidak dilakukan sesuai dengan tuntutan kami, kami sebagai pemilik hak ulayat akan melakukan penutupan operasi penambagan PT Freeport di tanah Papua," tegasnya.
Terkait pelanggaran HAM di Papua, lanjut Januarius, AMPTPI mendesak pemerintah segera membentuk tim untuk melakukan penyelidikan dan membawa para pelaku ke meja hijau. Kasus-kasus yang dimaksudnya antara lain, penembakan di Paniai (2014), Yakuhimo (2015), Wamena (2003) dan Wasior (2003).
Selanjutnya, AMPTPI mendesak pemerintah Indonesia membuka akses total bagi jurnalis asing, diplomat, senator, akademisi dan pemerhati HAM untuk masuk ke Papua. Sedangkan butir keempat berisi penolakan terhadap segala bentuk pemekaran kabupaten, kota dan provinsi di provinsi ujung timur Indonesia itu.
"Kelima, kami meminta pemerintah Indonesia untuk segera menarik pasukan organik dan non-organik serta menghentikan pengembangan semua infrastruktur TNI dan Polri di tanah Papua," lanjut Januarius.
Butir keenam, AMPTPI menyatakan dukungan atas terbetuknya wadah koordinasi United Liberation Movement West Papua (ULMWP). Mereka berharap organisasi tersebut segera diterima sebagai anggota penuh Melanesia Speheard Group (MSG) tahun 2015 serta didaftarkan ke Komisi C-24 Peserikatan Bangsa-bangsa (PBB).
Kemudian, pada butir ketujuh AMPTPI mendesak semua kepala daerah di Papua untuk melakukan sensus khusus orang asli Papua (OAP) setiap tahun. Mereka juga menuntut diberlakukannya kartu tanda penduduk OAP dan pembatasan bagi warga imigran.
"Terakhir kami mendesak Gubernur Papua dan Gubernur Papua Barat untuk menutup semua penjualan minuman keras dan prostitusi seks komersial di tanah Papua," pungkas Januarius. [JPNN]