Amnesty International Sambut Putusan Baik Presiden Joko Widodo Soal Pencabutan Larangan Jurnalis Asing
pada tanggal
Thursday, 28 May 2015
LONDON (INGGRIS) - Amnesty International menyambut baik keputusan Presiden Joko Widodo yang telah mencabut larangan bagi jurnalis asing untuk masuk ke Papua, sehingga wartawan asing dari luar negeri dapat bebas datang dan membuat laporan tentang kondisi Papua sebenarnya.
Hal itu disampaikan Campaigner - Indonesia and Timor-Leste Southeast Asia and Pacific Regional Office Amnesty International, Josef Roy Benedict kepada Antara London, Rabu (27/5) yang minta akses ke Papua diperluas kepada organisasi HAM internasional non-pemerintah dan pemantau independen lainnya untuk melaporkan pelanggaran-pelanggaran HAM.
Dikatakannya perkembangan ini, masih banyak yang harus dilakukan menyelesaikan masalah pelanggaran HAM di kawasan ini. Membebaskan semua tahanan nurani, pihak berwenang Indonesia membentuk mekanisme untuk menyelesaikan kultur impunitas di Papua dan masalah pelanggaran HAM yang dilakukan pasukan keamanan.
Untuk itu ia menyerukan pihak yang berwenang di Indonesia untuk segera dan tanpa syarat membebaskan Filep Karma Adan juga semua tahanan nurani (prisoners of conscience) lainnya di Indonesia yang divonis karena ekspresi politiknya.
Seruan itu disampaikan, Josef Roy Benedict yang menyebutkan pemenjaraan aktivis politik di kawasan Papua dan Maluku, karena mengorganisir protes secara damai dan mengibarkan bendera pro kemerdekaan yang dilarang.
Selama minggu lalu, anggota dan pendukung Amnesty International dari berbagai negara, termasuk Indonesia, Malaysia, Filipina, Myanmar, Thailand, Australia, Selendia Baru, Inggris, Prancis, Jerman, Belanda, Kanada, dan Amerika Serikat mengajukan petisi kepada pihak berwenang Indonesia untuk menyerukan pembebasan Filep Karma segera dan tanpa syarat.
Hal ini ditanggapi Presiden Jokowi dengan memberikan grasi kepada 5 tahanan politik selain Filep Karma, sebab sebelumnya Karma menolak menerima grasi dengan alasan telah dipaksa menandatangani surat permintaan grasi oleh utusan Presiden Jokowi. Seperti dibeberkan Pdt Benny Giay para tapol awalnya mengira surat itu adalah pemberian amnesty bukan grasi. Sehingga para tapol akhirnya menyesal.
"Langkah Presiden Jokowi untuk membebaskan para tapol, menambah masalah. Karena tanggal 5 Mei, kami pergi mengunjungi tapol, kami lihat ada orang dari Istana sedang paksa Filep Karma untuk bikin surat minta grasi. Ini tidak jujur, tidak benar," katanya kepada KBR, Kamis (21/5).
Filep Karma telah menjadi tahanan politik di Papua sejak 2004 lalu. Dia ditahan karena melakukan orasi kemerdekaan dan mengibarkan bendera papua merdeka. Atas perbuatannya itu, dia dihukum 15 tahun penjara. [Antara/KBR]
Hal itu disampaikan Campaigner - Indonesia and Timor-Leste Southeast Asia and Pacific Regional Office Amnesty International, Josef Roy Benedict kepada Antara London, Rabu (27/5) yang minta akses ke Papua diperluas kepada organisasi HAM internasional non-pemerintah dan pemantau independen lainnya untuk melaporkan pelanggaran-pelanggaran HAM.
Dikatakannya perkembangan ini, masih banyak yang harus dilakukan menyelesaikan masalah pelanggaran HAM di kawasan ini. Membebaskan semua tahanan nurani, pihak berwenang Indonesia membentuk mekanisme untuk menyelesaikan kultur impunitas di Papua dan masalah pelanggaran HAM yang dilakukan pasukan keamanan.
Untuk itu ia menyerukan pihak yang berwenang di Indonesia untuk segera dan tanpa syarat membebaskan Filep Karma Adan juga semua tahanan nurani (prisoners of conscience) lainnya di Indonesia yang divonis karena ekspresi politiknya.
Seruan itu disampaikan, Josef Roy Benedict yang menyebutkan pemenjaraan aktivis politik di kawasan Papua dan Maluku, karena mengorganisir protes secara damai dan mengibarkan bendera pro kemerdekaan yang dilarang.
Selama minggu lalu, anggota dan pendukung Amnesty International dari berbagai negara, termasuk Indonesia, Malaysia, Filipina, Myanmar, Thailand, Australia, Selendia Baru, Inggris, Prancis, Jerman, Belanda, Kanada, dan Amerika Serikat mengajukan petisi kepada pihak berwenang Indonesia untuk menyerukan pembebasan Filep Karma segera dan tanpa syarat.
Hal ini ditanggapi Presiden Jokowi dengan memberikan grasi kepada 5 tahanan politik selain Filep Karma, sebab sebelumnya Karma menolak menerima grasi dengan alasan telah dipaksa menandatangani surat permintaan grasi oleh utusan Presiden Jokowi. Seperti dibeberkan Pdt Benny Giay para tapol awalnya mengira surat itu adalah pemberian amnesty bukan grasi. Sehingga para tapol akhirnya menyesal.
"Langkah Presiden Jokowi untuk membebaskan para tapol, menambah masalah. Karena tanggal 5 Mei, kami pergi mengunjungi tapol, kami lihat ada orang dari Istana sedang paksa Filep Karma untuk bikin surat minta grasi. Ini tidak jujur, tidak benar," katanya kepada KBR, Kamis (21/5).
Filep Karma telah menjadi tahanan politik di Papua sejak 2004 lalu. Dia ditahan karena melakukan orasi kemerdekaan dan mengibarkan bendera papua merdeka. Atas perbuatannya itu, dia dihukum 15 tahun penjara. [Antara/KBR]