3 Isu yang Belum Disetujui Freeport Indonesia
pada tanggal
Tuesday, 26 May 2015
JAKARTA - PT Freeport Indonesia dan pemerintah sampai saat ini belum kunjung ada kata sepakat, dalam penyelesaian renegosiasi kontrak. Ada 3 dari 6 perubahan kontrak yang diminta pemerintah belum disepakati perusahaan asal Amerika Serikat (AS) itu.
Menteri ESDM Sudirman Said mengatakan, sesuai mandat Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 terkait renegosiasi kontrak, ada 6 isu pokok yang difokuskan untuk direnegosiasi.
"Yakni luas wilayah kontrak karya, kandungan lokal, divestasi saham, pengolahan dan pemurnian, penerimaan negara, dan kelanjutan operasi," kata Sudirman ditemui di Kantor Kementerian ESDM, Jakarta, Jumat (10/4/2015).
Namun, dari 6 isu pokok renegosiasi kontrak tersebut, ada 3 isu yang belum disetujui atau disepakati oleh Freeport. Yakni soal divestasi, penerimaan negara dan kelanjutan operasi.
"Yang sudah sepakat baru pemangkasan luas wilayah operasi, dan tingkat kandungan lokal (TKDN), dan pembangunan smelter," ujar Sudirman.
Sudirman merinci 3 hal yang membuat Freeport belum sepakat menyelesaikan renegosiasi kontrak, yakni:
Pertama, soal divestasi. Freeport belum sepakat, karena Freeport mengusulkan mekanisme divestasi sahamnya melalui Initial Public Offering (IPO). Padahal aturannya, ditawarkan ke pemerintah dulu, bila tidak berminat, bisa ditawarkan ke pemda, lalu ke BUMN/BUMD, bila tidak ada yang berminat baru dilakukan penawaran melalui IPO.
Kedua, terkait pemerimaan negara, Freeport belum sepakat antara lain terkait besaran pengenaan Pajak Pertambangan Nilai, Pajak Bumi dan Bangunan, Pajak Penjualan Barang Mewah (PPnBM), dan Bea Masuk impor untuk pembangunan smelter dan operasi tambang bawah tanah (underground). Serta Pajak daerah dan retribusi daerah, serta bea keluar setelah 2017. Freeport baru sepakat soal besaran iuran tetap, royalti yang naik, tarif pajak penghasilan (PPh) karyawan, pajak atas dividen, dan bunga.
Ketiga, Freeport juga belum ada sepakat sola waktu pengajuan kelanjutan operasi tambang mereka di Papua yang berakhir pada 2021. Pemerintah menghendaki pengajuan kelanjutan operasi dilaksanakan 2019 sesuai Undang-Undang Nomor 4 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara dan PP No. 77 Tahun 2014.
Freeport menghendaki kepastian lebih awal terkait dengan tambahan investasi yang sangat besar (underground dan pembangunan smelter). [Detik]
Menteri ESDM Sudirman Said mengatakan, sesuai mandat Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 terkait renegosiasi kontrak, ada 6 isu pokok yang difokuskan untuk direnegosiasi.
"Yakni luas wilayah kontrak karya, kandungan lokal, divestasi saham, pengolahan dan pemurnian, penerimaan negara, dan kelanjutan operasi," kata Sudirman ditemui di Kantor Kementerian ESDM, Jakarta, Jumat (10/4/2015).
Namun, dari 6 isu pokok renegosiasi kontrak tersebut, ada 3 isu yang belum disetujui atau disepakati oleh Freeport. Yakni soal divestasi, penerimaan negara dan kelanjutan operasi.
"Yang sudah sepakat baru pemangkasan luas wilayah operasi, dan tingkat kandungan lokal (TKDN), dan pembangunan smelter," ujar Sudirman.
Sudirman merinci 3 hal yang membuat Freeport belum sepakat menyelesaikan renegosiasi kontrak, yakni:
Pertama, soal divestasi. Freeport belum sepakat, karena Freeport mengusulkan mekanisme divestasi sahamnya melalui Initial Public Offering (IPO). Padahal aturannya, ditawarkan ke pemerintah dulu, bila tidak berminat, bisa ditawarkan ke pemda, lalu ke BUMN/BUMD, bila tidak ada yang berminat baru dilakukan penawaran melalui IPO.
Kedua, terkait pemerimaan negara, Freeport belum sepakat antara lain terkait besaran pengenaan Pajak Pertambangan Nilai, Pajak Bumi dan Bangunan, Pajak Penjualan Barang Mewah (PPnBM), dan Bea Masuk impor untuk pembangunan smelter dan operasi tambang bawah tanah (underground). Serta Pajak daerah dan retribusi daerah, serta bea keluar setelah 2017. Freeport baru sepakat soal besaran iuran tetap, royalti yang naik, tarif pajak penghasilan (PPh) karyawan, pajak atas dividen, dan bunga.
Ketiga, Freeport juga belum ada sepakat sola waktu pengajuan kelanjutan operasi tambang mereka di Papua yang berakhir pada 2021. Pemerintah menghendaki pengajuan kelanjutan operasi dilaksanakan 2019 sesuai Undang-Undang Nomor 4 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara dan PP No. 77 Tahun 2014.
Freeport menghendaki kepastian lebih awal terkait dengan tambahan investasi yang sangat besar (underground dan pembangunan smelter). [Detik]