Pilkada Serentak Rawan Konfik
pada tanggal
Sunday, 26 April 2015
Dikatakan Sombok, beberapa konflik yang terjadi di Papua dalam Pilkada di Papua yang lalu misalnya Tolikara, Nduga, Yahukimo dan lain-lain, dimana terjadi pertarungan para elit lokal yang tentunya ada persaingan politik dan bisa berujung pada konflik yang dimensinya bisa damai melalui jalur hukum yang tersedia. Tapi juga bisa terjadi konflik terbuka.
Menurut Sombok, pihaknya berupaya mengatur strategi, agar persaingan politik elit lokal tak berubah menjadi konflik terbuka. “Kalau toh ada konflik atau sengketa itu didalam koridor norma-norma hukum yang berlaku atau konflik yang sifatnya sengketa hukum diantisipasi melalui UU,” imbuh Sombok.
Disisi lain, terang Sombok, ada yang cukup menarik dalam Pilkada Serentak kali ini adalah mengenai satu putaran, apalagi satu suara saja akan menentukan pemenang. Jika suara sama antara masing-masing calon nanti dilihat dalam penyebaran wilayah yang berhasil dimenangkan salah-satu calon di beberapa Daerah Pemilihan (Dapil).
“Jadi Pilkada Serentak Satu Putaran babaknya berkurang lalu kemudian pesertanya juga disetting tak banyak paling banyak 4 peserta, sehingga diharapkan efesien tapi destinasi konflik tetap ada,” kata Sombok.
Sombok menjelaskan, ada banyak persoalan terkait dengan profesionalisme KPU. KPU dianggap sebagai trouble maker (pencipta konflik) sehingga kalau KPU tak bertindak sesuai asas Pemilu yakni transparan, adil, profesional, akuntabel, tak memihak salah-satu pihak, maka pelaksanaan Pilkada Serentak bakal aman sesuai pengalaman yang terjadi di Papua.
Namun demikian, cetus Sombok, Pilkada Serentak berdiri sendiri ada sejumlah faktor-faktor lain terkait dengan penyediaan data penduduk. Data penduduk ini kemudian diterjemakan menjadi data pemilih potensial atau Daftar Pemilih Tetap (DPT).
“Data penduduk ini kan kita tahu satu suara bisa menentukan pemenang. Kalau data penduduk tak sesuai kenyataan di lapangan dapat menimbulkan konflik,” kata Sombok.
“Ini suatu potensi konflik yang besar dimana daerah-daerah yang kita tahu agak sulit dijangkau, jika dilakukan klarifikasi apalagi daerah-daerah yang ikut Pilkada Serentak termasuk wilayah terisolir, tersebar, terpencil dan data penduduknya cenderung di mark- up atau digelembungkan, tandas Sombok.
Sedangkan dimensi konflik yang lain, lanjut Sombok, adalah partai politik sendiri. Ada beberapa partai politik yang sudah mapan yang bisa menyelesaikan persoalan, tapi ada juga partai politik yang masih terlibat konflik bisa berimbas pada konsituen dibawah.
Dipaparkan Sombok, pengawasan yang dilakukan pihak Panwaslu juga harus bekerja dan menyelesaikan persoalan all site and on time. Dimana pada level itu ada persoalan pada saat proses tahapan berlangsung dia harus selesaikan di level itu.
Dimensi konflik yang lain, tambah Sombok, adalah potensi konflik yang disemburkan Kelompok Sipil Bersenjata (KSB), walaupun ada statement terakhir bahwa tak ada lagi tapi kadang muncul kadang hilang dan sulit diprediksi. [BintangPapua]