DPR-RI akan Kawal RUU Jasa Konstruksi untuk Pembangunan di Tanah Papua
pada tanggal
Saturday, 28 March 2015
KOTA JAYAPURA – Anggota Komisi V DPR RI, Willem Wandik, S.Sos, menyatakan, sebagai upaya untuk mengawal Rancangan Undang-undang (RUU) tentang jasa konstruksi yang sedang dibahas di komisi V, pihaknya memberikan penguatan pada permasalahan yang dialami di Tanah Papua.
Pasalnya, selama ini banyak hambatan yang dialami dalam memecahkan persoalan infrastruktur di Tanah Papua. Bahkan, sejak 53 tahun bangsa Papua mengalami integrasi bersama republik Indonesia, pembangunan infrastruktur di Tanah Papua yang tidak pernah tuntas.
“Karakteristik Tanah Papua dalam Pembangunan Infrastruktur terkait RUU Jasa konstruksi, maka saya selaku Anggota DPR RI perwakilan Papua memberikan penguatan untuk mengawal RUU ini, sehingga permasalahan yang dialami selama ini bisa terjawab,” kata Willem Wandik kepada Bintang Papua melalui telephone selulernya, Rabu (25/3) kemarin.
Menurutnya, karakteristik tanah Papua dalam Pembangunan Infrastruktur terkait RUU Jasa konstruksi yang perlu mendapatkan penguatan dalam pembahasan di Komisi V yakni, perencanaan anggaran dalam jasa konstruksi di tanah Papua dipengaruhi oleh kondisi geografis yang ekstrim di Tanah Papua.
“Misalnya membuka jaringan jalan harus dengan membongkar gunung. Sehingga dalam pembangunan infrastruktur jaringan jalan di Tanah Papua membutuhkan alokasi anggaran yang besar,” jelas dia.
Kondisi kultural di Tanah Papua inilah, kata dia bahwa sangat mempengaruhi pelaksanaan jasa konstruksi. Dimana, untuk membuka jalan baru harus di dahului dengan upacara adat bakar batu untuk meminta restu pada alam, leluhur dan masyarakat adat, sehingga pelaksanaan pembangunan jalan tidak mendapatkan gangguan dan mencapai tujuan yang direncanakan.
Lanjut dia, ritual masyarakat adat dalam peristiwa pembukaan jaringan jalan, tidak pernah dihitung sebagai bagian dari perencanaan alokasi anggaran dan tidak diatur dalam regulasi yang ada, sehingga hal ini dapat berpotensi untuk menimbulkan pertentangan hukum dalam pelaksanaan pembangunan jaringan jalan di Tanah Papua.
“Cost pembangunan infrastruktur yang tinggi di Tanah Papua sangat mempengaruhi pelayanan jasa konstruksi (belanja material mahal, ongkos angkut alat berat lebih mahal dibandingkan ongkos membeli alat berat),” ucapnya.
Oleh karena itu, tegas Willem Wandik asal Kabupaten Tolikara itu, mengemukakan bahwa pelaksanaan jasa konstruksi di Tanah Papua perlu dipertimbangkan untuk diberi kemudahan/subsidi berupa insentif dari Pemerintah.
Sebagai contoh, mahalnya kebutuhan material dan kebutuhan operasional dalam pelayanan jasa konstruksi terkait pembangunan infrastruktur di Tanah Papua, harus dikompensasi dengan pemberian insentif distribusi kebutuhan material “logistik infrastruktur” dari pulau Jawa menuju Tanah Papua.
“Hal ini dilakukan untuk tidak membebani anggaran yang dialokasikan untuk membangun infrastruktur di Tanah Papua, mengingat percepatan pembangunan infrastruktur di Tanah Papua mendesak untuk segera dituntaskan,” katanya.
Lebihjauh disampaikan Willem Wandik, pemberian insentif oleh Pemerintah telah banyak diatur dalam kebijakan sektoral, misalnya pemerintah pada tahun 2009 memberikan empat macam insentif fiskal yaitu : 1) pembebasan atau pengurangan Pajak Penghasilan (PPh) Badan dalam jumlah dan waktu tertentu kepada investor yang merupakan industri pionir; 2) keringanan Pajak Bumi dan Bangunan (PBB), khususnya untuk bidang usaha tertentu pada wilayah atau kawasan tertentu; 3)., Pembebasan atau penangguhan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) atas impor barang modal atau mesin serta peralatan untuk keperluan produksi yang belum dapat diproduksi di dalam negeri selama jangka waktu tertentu; 4)., Pemerintah mengubah perlakuan PPN atas sebagian barang kena pajak yang bersifat strategis dari yang semula “dibebaskan” menjadi tidak dipungut atau ditanggung pemerintah.
Oleh karena itu, dalam pelayanan jasa konstruksi terkait pembangunan infrastruktur di Tanah Papua sebaiknya dilaksanakan dengan tujuan pemberdayaan masyarakat lokal “masyarakat adat”. “Jadi, tingkat kemiskinan yang tinggi di Tanah Papua terutama di daerah pedesaan/pedalaman yang mencapai 96,17%, perlu mendapatkan pemberdayaan dari belanja infrastruktur yang dialokasikan di Tanah Papua,” tambahnya.
Tak hanya itu, sambung Willem Wandik, komitmen untuk mengutamakan tenaga kerja lokal untuk pengerjaan jasa konstruksi sebagai bagian dari solusi pemberdayaan masyarakat di pedalaman agar kiranya diperlukan penguatan terhadap pembangunan pedesaan/perkampungan di Tanah Papua di sektor jasa konstruksi yang mengutamakan pemberdayaan masyarakat di pedalaman Papua. [BintangPapua]
Pasalnya, selama ini banyak hambatan yang dialami dalam memecahkan persoalan infrastruktur di Tanah Papua. Bahkan, sejak 53 tahun bangsa Papua mengalami integrasi bersama republik Indonesia, pembangunan infrastruktur di Tanah Papua yang tidak pernah tuntas.
“Karakteristik Tanah Papua dalam Pembangunan Infrastruktur terkait RUU Jasa konstruksi, maka saya selaku Anggota DPR RI perwakilan Papua memberikan penguatan untuk mengawal RUU ini, sehingga permasalahan yang dialami selama ini bisa terjawab,” kata Willem Wandik kepada Bintang Papua melalui telephone selulernya, Rabu (25/3) kemarin.
Menurutnya, karakteristik tanah Papua dalam Pembangunan Infrastruktur terkait RUU Jasa konstruksi yang perlu mendapatkan penguatan dalam pembahasan di Komisi V yakni, perencanaan anggaran dalam jasa konstruksi di tanah Papua dipengaruhi oleh kondisi geografis yang ekstrim di Tanah Papua.
“Misalnya membuka jaringan jalan harus dengan membongkar gunung. Sehingga dalam pembangunan infrastruktur jaringan jalan di Tanah Papua membutuhkan alokasi anggaran yang besar,” jelas dia.
Kondisi kultural di Tanah Papua inilah, kata dia bahwa sangat mempengaruhi pelaksanaan jasa konstruksi. Dimana, untuk membuka jalan baru harus di dahului dengan upacara adat bakar batu untuk meminta restu pada alam, leluhur dan masyarakat adat, sehingga pelaksanaan pembangunan jalan tidak mendapatkan gangguan dan mencapai tujuan yang direncanakan.
Lanjut dia, ritual masyarakat adat dalam peristiwa pembukaan jaringan jalan, tidak pernah dihitung sebagai bagian dari perencanaan alokasi anggaran dan tidak diatur dalam regulasi yang ada, sehingga hal ini dapat berpotensi untuk menimbulkan pertentangan hukum dalam pelaksanaan pembangunan jaringan jalan di Tanah Papua.
“Cost pembangunan infrastruktur yang tinggi di Tanah Papua sangat mempengaruhi pelayanan jasa konstruksi (belanja material mahal, ongkos angkut alat berat lebih mahal dibandingkan ongkos membeli alat berat),” ucapnya.
Oleh karena itu, tegas Willem Wandik asal Kabupaten Tolikara itu, mengemukakan bahwa pelaksanaan jasa konstruksi di Tanah Papua perlu dipertimbangkan untuk diberi kemudahan/subsidi berupa insentif dari Pemerintah.
Sebagai contoh, mahalnya kebutuhan material dan kebutuhan operasional dalam pelayanan jasa konstruksi terkait pembangunan infrastruktur di Tanah Papua, harus dikompensasi dengan pemberian insentif distribusi kebutuhan material “logistik infrastruktur” dari pulau Jawa menuju Tanah Papua.
“Hal ini dilakukan untuk tidak membebani anggaran yang dialokasikan untuk membangun infrastruktur di Tanah Papua, mengingat percepatan pembangunan infrastruktur di Tanah Papua mendesak untuk segera dituntaskan,” katanya.
Lebihjauh disampaikan Willem Wandik, pemberian insentif oleh Pemerintah telah banyak diatur dalam kebijakan sektoral, misalnya pemerintah pada tahun 2009 memberikan empat macam insentif fiskal yaitu : 1) pembebasan atau pengurangan Pajak Penghasilan (PPh) Badan dalam jumlah dan waktu tertentu kepada investor yang merupakan industri pionir; 2) keringanan Pajak Bumi dan Bangunan (PBB), khususnya untuk bidang usaha tertentu pada wilayah atau kawasan tertentu; 3)., Pembebasan atau penangguhan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) atas impor barang modal atau mesin serta peralatan untuk keperluan produksi yang belum dapat diproduksi di dalam negeri selama jangka waktu tertentu; 4)., Pemerintah mengubah perlakuan PPN atas sebagian barang kena pajak yang bersifat strategis dari yang semula “dibebaskan” menjadi tidak dipungut atau ditanggung pemerintah.
Oleh karena itu, dalam pelayanan jasa konstruksi terkait pembangunan infrastruktur di Tanah Papua sebaiknya dilaksanakan dengan tujuan pemberdayaan masyarakat lokal “masyarakat adat”. “Jadi, tingkat kemiskinan yang tinggi di Tanah Papua terutama di daerah pedesaan/pedalaman yang mencapai 96,17%, perlu mendapatkan pemberdayaan dari belanja infrastruktur yang dialokasikan di Tanah Papua,” tambahnya.
Tak hanya itu, sambung Willem Wandik, komitmen untuk mengutamakan tenaga kerja lokal untuk pengerjaan jasa konstruksi sebagai bagian dari solusi pemberdayaan masyarakat di pedalaman agar kiranya diperlukan penguatan terhadap pembangunan pedesaan/perkampungan di Tanah Papua di sektor jasa konstruksi yang mengutamakan pemberdayaan masyarakat di pedalaman Papua. [BintangPapua]