Penembakan Anggota Brimob di Tembagapura Tambah Kasus Kekerasan di Papua
pada tanggal
Saturday, 10 January 2015
KOTA JAYAPURA - Kekerasan bersenjata masih saja berlangsung di tanah Papua. Yang terakhir adalah tewasnya dua anggota Brimob dan seorang petugas security PT. Freeport usai ditembak kelompok sipil bersenjata (KSB) di Distrik Tembagapura, Kabupaten Mimika, Kamis (31/12).
Tewasnya dua anggota Brimob ini menambah daftar panjang aparat keamanan yang menjadi korban penembakan oleh KSB. Data dari Komnas Ham Papua menyebutkan sepanjang tahun 2014 tercatat lebih dari sepuluh aparat keemanan meninggal dalam kontak dengan KSB. Hal yang sama juga terjadi di pihak KSB, lebih dari sepuluh anggota mereka yang tewas tertebak aparat keamanan.
Plt. Komnas Ham Papua, Frits Ramandey, S.Sos menilai kondisi yang terjadi ini tentu saja memprihantinkan. “Untuk mengatasinya aparat keemanan perlu melakukan pendekatan yang bersifat statis dan realistis maupun kewilayahan di sejumlah daerah di tanah Papua yang sering terjadi kekerasan bersenjata,” ucap Frits kepada Papua Pos di Jayapura, Senin (5/1/2015).
Menurut Frits, kekerasan bersenjata yang terjadi ini tidak bisa dilawan dengan senjata oleh aparat keamanan baik POLRI maupun TNI sebab hal ini tidak bisa menyelesaikan masalah.Yang mesti dilakukan adalah meningkatkan pendekatan secara realistis dan statis pada kabupaten-kabupaten yang tempat terjadinya
kekerasan bersenjata seperti Puncak Jaya, Puncak, Lanny Jaya, Mimika, Paniai, Kepulauan Yapen. Tentu pendekatan yang dipakai di Puncak Jaya berbeda dengan Paniai, maupun dengan Lanny Jaya.
“Harus ada pemetaaan terhadap wilayah-wilayah seperti Puncak Jaya, Puncak, Lanny Jaya, Mimika, Paniai. Pemetaan secara bottom up harus dilakukan ditingkat Polda. Setelah dipetahkan baru dicari siapa actor baik itu actor politik maupun bisnisnya,” ujarnya.
Frits meminta aparat keamanan yang diturunkan ke tempat-tempat tersebut tentu harus dibekali juga sehingga memahami karakter lokal masyarakat setempat. Ini penting supaya pola pendekatan terhadap masyarakat disana bisa berjalan. Sebab menurut alumnus Stisipol Silas Papare, kekerasan bersenjata yang terjadi di sejumlah kabupaten ini bukan karena faktor idiologi ingin merdeka. Namun lebih pada ekonomi dan social, politik. Namun ia, tak menampik ada beberapa daerah tertentu, yang memang ‘dipelihara’ untuk kepentingan ekonomi. Frits menjelaskan, kalau memperjuangkan sebuah kemerdekaan tentu tidak lepas dari OPM. Nah, organisasi ini sendiri telah melakukan kongres dan memutuskan siapa pimpinan dan apa agenda yang akan dilakukan.
“Itu berarti semua anggota harus tunduk pada agenda itu, namun ini kan tidak terjadi. OPM secara organisasi telah sadar bahwa perjuangan dengan kekerasan di seluruh dunia dengan kekerasan tidak akan berdampak terhadap perjuangan,tapi juga tak bisa dipungkiri,jika memang dalam hal ini ada dibaluti dengan simbol-simbol idiologi, ya memang ada juga,” imbuhnya.
Masih menurut Frits, jika memang kekerasan bersenjatan berhubungan dengan idiologi tidak bisa terjadi di wilayah tertentu saja. Namun terjadi di seluruh wilayah Papua.[PapuaPos]
Tewasnya dua anggota Brimob ini menambah daftar panjang aparat keamanan yang menjadi korban penembakan oleh KSB. Data dari Komnas Ham Papua menyebutkan sepanjang tahun 2014 tercatat lebih dari sepuluh aparat keemanan meninggal dalam kontak dengan KSB. Hal yang sama juga terjadi di pihak KSB, lebih dari sepuluh anggota mereka yang tewas tertebak aparat keamanan.
Plt. Komnas Ham Papua, Frits Ramandey, S.Sos menilai kondisi yang terjadi ini tentu saja memprihantinkan. “Untuk mengatasinya aparat keemanan perlu melakukan pendekatan yang bersifat statis dan realistis maupun kewilayahan di sejumlah daerah di tanah Papua yang sering terjadi kekerasan bersenjata,” ucap Frits kepada Papua Pos di Jayapura, Senin (5/1/2015).
Menurut Frits, kekerasan bersenjata yang terjadi ini tidak bisa dilawan dengan senjata oleh aparat keamanan baik POLRI maupun TNI sebab hal ini tidak bisa menyelesaikan masalah.Yang mesti dilakukan adalah meningkatkan pendekatan secara realistis dan statis pada kabupaten-kabupaten yang tempat terjadinya
kekerasan bersenjata seperti Puncak Jaya, Puncak, Lanny Jaya, Mimika, Paniai, Kepulauan Yapen. Tentu pendekatan yang dipakai di Puncak Jaya berbeda dengan Paniai, maupun dengan Lanny Jaya.
“Harus ada pemetaaan terhadap wilayah-wilayah seperti Puncak Jaya, Puncak, Lanny Jaya, Mimika, Paniai. Pemetaan secara bottom up harus dilakukan ditingkat Polda. Setelah dipetahkan baru dicari siapa actor baik itu actor politik maupun bisnisnya,” ujarnya.
Frits meminta aparat keamanan yang diturunkan ke tempat-tempat tersebut tentu harus dibekali juga sehingga memahami karakter lokal masyarakat setempat. Ini penting supaya pola pendekatan terhadap masyarakat disana bisa berjalan. Sebab menurut alumnus Stisipol Silas Papare, kekerasan bersenjata yang terjadi di sejumlah kabupaten ini bukan karena faktor idiologi ingin merdeka. Namun lebih pada ekonomi dan social, politik. Namun ia, tak menampik ada beberapa daerah tertentu, yang memang ‘dipelihara’ untuk kepentingan ekonomi. Frits menjelaskan, kalau memperjuangkan sebuah kemerdekaan tentu tidak lepas dari OPM. Nah, organisasi ini sendiri telah melakukan kongres dan memutuskan siapa pimpinan dan apa agenda yang akan dilakukan.
“Itu berarti semua anggota harus tunduk pada agenda itu, namun ini kan tidak terjadi. OPM secara organisasi telah sadar bahwa perjuangan dengan kekerasan di seluruh dunia dengan kekerasan tidak akan berdampak terhadap perjuangan,tapi juga tak bisa dipungkiri,jika memang dalam hal ini ada dibaluti dengan simbol-simbol idiologi, ya memang ada juga,” imbuhnya.
Masih menurut Frits, jika memang kekerasan bersenjatan berhubungan dengan idiologi tidak bisa terjadi di wilayah tertentu saja. Namun terjadi di seluruh wilayah Papua.[PapuaPos]