Perjuangan 1 Desember Harus Dimulai dengan Dialog
pada tanggal
Saturday, 29 November 2014
Menurutnya dialog adalah media yang tepat dan proporsional untuk digunakan oleh rakyat Papua saat ini melalui kelembagaan yang ada seperti Presidium Dewan Papua (PDP) maupun Dewan Adat Papua (DAP) untuk membangun percakapan-percakapan awal dengan pemerintah Indonesia untuk mendapatkan jaminan perlindungan tersebut.
“Perlindungan hak-hak sipil dan politik rakyat Papua adalah sebuah prasyarat penting dalam semangat membangun perdamaian di Tanah Papua, karena selama ini, pemenuhannya tidak terjadi, malah senantiasa dihadapi dengan anasir kekerasan oleh aparat keamanan termasuk menggunakan pasal-pasal penyebar kebencian (makar) seperti pasal 106, 108 dan 110 KUH Pidana untuk menindak perjuangan implementasi hak-hak sipil dan politik rakyat Papua,” katanya kepada Papua Pos, Selasa (25/11/2014).
Terkait itu, langkah memulai dialog menjadi sesuatu pilihan yang mendesak, urgen dan proporsional, sehingga seharusnya telah dipersiapkan sejak awal.
Ia juga mengatakan jika langkah dialog menjadi pilihan, maka Yan Christian menyarankan agar peringatan 1 Desember mendatang harus dirubah dari bukan sekedar memperingati "Hari Kemerdekaan" tetapi yang penting adalah membangun kesepahaman bersama dalam memperjuangkan penegakan hukum terhadap berbagai tindak kekerasan dalam konteks pelanggaran hak asasi manusia sebagaimana diatur di dalam Undang Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang HAM dan Deklarasi Universal tentang HAM.
Perjuangan penegakan hukum tersebut dapat didorong melalui langkah konkrit untuk mendesak institusi negara semacam KOMNAS HAM untuk segera membuka kasus-kasus pelanggaran HAM masa lalu di Tanah Papua.
Utamanya yang terjadi semenjak sebelum 1 Mei 1963 maupun pasca 1 Mei 1963 dan juga menjelang, pada saat dan pasca penyelenggaraan tindakan pilihan bebas (act of free choice) atau yang oleh pemerintah Indonesia disebut sebagai Penentuan Pendapat Rakyat (PEPERA) bulan Juli hingga Agustus 1969 di seluruh Tanah Papua.
Berbagai tindakan pelanggaran hak asasi manusia yang berat dan juga terindikasi sebagai perbuatan genosida diduga keras telah terjadi pada masa antara tahun 1963 hingga 1979 (16 tahun) yang diduga keras melibatkan aparat TNI dan POLRI yang semestinya berdasarkan Undang Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM serta Undang Undang Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Bagi Provinsi Papua, khususnya amanat pasal 45 dan pasal 46.
“Berdasarkan ketentuan hukum tersebut segera dapat didesak kepada KOMNAS HAM untuk dibuka dan diselidiki serta diproses menurut prosedur dan mekanisme hukum yang diatur di dalam aturan perundangan tersebut,” ujarnya.
Sehingga semangat perjuangan perlindungan hak-hak sipil dan politik rakyat Papua tersebut benar-benar masuk dalam konstalasi penegakan hukum yang berlaku secara nasional dan universal yang pada akhirnya akan memperoleh dukungan yang signifikan dari berbagai pihak, termasuk negara-negara anggota PBB yang sudah pernah memberikan kritik dan rekomendasi tajam atas dugaan pelanggaran HAM oleh Indonesia pada Sidang Dewan HAM PBB beberapa tahun yang lalu di Jenewa-Swiss.
Pilihan mengedepankan dialog selanjutnya harus dijadikan sebagai agenda penting oleh pemimpin perjuangan rakyat Papua dalam mendesak pemerintahan Presiden dan Wakil Presiden Jokowi-JK untuk memenuhi janjinya dalam menyelesaikan konflik sosial-politik yang sudah berlangsung lebih dari 50 tahun di Tanah Papua melalui Dialog Damai Papua-Indonesia.