Pengamat Hukum Nilai Papua Sebagai Ladang Korupsi Akibat Penyimpangan Kekuasaan
pada tanggal
Sunday, 16 November 2014
WAENA (KOTA JAYAPURA) – Pengamat Hukum Internasional, Sosial Politik dan HAM FISIP Uncen Jayapura, Marinus Yaung, mengatakan, Papua merupakan salah satu ladang korupsi akibat penyimpangan kekuasaan di bidang administasi pemerintahan yang luar biasa.
Jadi jika kasus korupsi batik di Kota Jayapura yang bermula dari kesalahan administrasi dan kemudian di blow up oleh media dengan luar biasanya, maka akan menimbulkan prasangka bahwa kasus ini ditukangi oleh kepentingan politik tertentu yang bersumber dari dendam politik masa lalu.
Kasus ini merupakan kasus hukum yang biasa, bukan saja baru pertama kali terjadi di Kota Jayapura. Ini kasus hukum yang sudah lazim terjadi dalam sistem birokrasi di Pemerintahan Provinsi Papua dan kabupaten/kota se-Provinsi Papua.
“Ada banyak pegawai, pejabat yang sudah menjadi kaya dengan harta melimpah dengan modus kejahatan korupsi model seperti kasus batik ini yang adalah salah satu contohnya,” ungkapnya kepada Bintang Papua, via ponselnya, Jumat, 14/11).
Dengan demikian, bila penegak hukum kalau tegas dan tidak tebang pilih kasus pemberantasan korupsi, penjara di Papua sudah penuh (membludak) dari dulu para pelaku kejahatan korupsi model seperti ini sudah ditahan dan menjalani masa hukumannya, mulai dari gubernur, bupati, walikota, pejabat eselon 2 sampai eselon 4, yang banyak terbukti telah menyalahgunakan administrasi untuk memperkaya diri sendiri dan menimbulkan kerugian negara akibat kejahatan mereka, namun tidak tersentuh oleh hukum dan tidak mendapatkan perhatian publik yang lebih luas.
“Kenapa kasus korupsi batik Kota Jayapura yang melibatkan Ny. Christin Luluporo yaitu istri walikota Jayapura (kini jadi saksi), mendapatkan perhatian yang lebih luas dari media dan masyarakat secara berlebihan?,” katanya.
Hari ini akan terbaca bahwa pandangan politik Thomas Hobbes bahwa manusia adalah serigala atas manusia lain, karena faktor dendam politik masa lalu. Dirinya melihat bahwa dendam politik merupakan penjara politik yang memenjarakan birokrasi, yang berakibat buruk terhadap pelayanan publik, apalagi terjadinya mutasi jabatan tidak lagi berdasarkan profesionalitas dan kompetensi pegawai, tetapi lebih pada utang politik kedaerahan dan sukuisme.
Selama birokrasi Pemda Papua dan Pemda Kota Jayapura masih terpenjara dengan dendam politik elit terhadap pejabat yang berkuasa, maka kasus-kasus seperti korupsi batik di Kota Jayapura akan selalu muncul. Karena dirinya menilai kasus korupsi batik ini adalah dendam politik dari para elit politik yang kalah dalam Pemilukada maupun Pileg dan juga dari para pejabat yang sudah tidak lagi mendapatkan posisi jabatan di Pemda Kota Jayapura.
“Jadi kalau pemerintah kota mau membangun sistem pemerintahan dengan prinsip clean governance dan good governance yang mana menjadi barometer pemerintahan terbaik di Papua, maka saatnya dendam politik dalam birokrasi dihentikan,” tandasnya.
Menurutnya, bila kasus batik Kota Jayapura terbukti dipolitisasi oleh elit dan pejabat tertentu, sebaiknya dihentikan saja, karena perselingkuhan kepentingan politik dengan kepentingan hukum seringkali merusak pemerintahan dan menimbulkan kerugian moral dan sosial yang cukup luas.
Sementara itu, Pakar Hukum Tata Negara Asal Papua, DR. Yusak Reba, menandaskan, kasus korupsi batik yang kini melibatkan istri Walikota Jayapura sebagai saksi, itu dalam hukum pidana tidak akan membebaskanya atau orang siapapun dari ancaman pidana.
“Kalau di duga terlibat apakah sebagai tersangka itu bisa saja terjerat hukum, namun kalau sebatas saksi saja, itu masih selamat, tetapi bila statusnya sebagai tersangka dan mengembalikan uang, itu jelas tidak akan menghilangkan pidananya dan proses hukum tetap berlangsung terhadap bersangkutan, sebab tindak pidana itu tidak bisa dihentikan dengan cara mengembalikan uang,” tukasnya.
Baginya, pengembalian uang yang dilakukan seorang saksi yaitu Ny. Christin Luluporo tersebut sah-sah saja, akan tetapi itu sifatnya hanya menjadi pertimbangan hukum dalam meringankan beban ancaman hukuman pidana bagi bersangkutan. [BintangPapua]
Jadi jika kasus korupsi batik di Kota Jayapura yang bermula dari kesalahan administrasi dan kemudian di blow up oleh media dengan luar biasanya, maka akan menimbulkan prasangka bahwa kasus ini ditukangi oleh kepentingan politik tertentu yang bersumber dari dendam politik masa lalu.
Kasus ini merupakan kasus hukum yang biasa, bukan saja baru pertama kali terjadi di Kota Jayapura. Ini kasus hukum yang sudah lazim terjadi dalam sistem birokrasi di Pemerintahan Provinsi Papua dan kabupaten/kota se-Provinsi Papua.
“Ada banyak pegawai, pejabat yang sudah menjadi kaya dengan harta melimpah dengan modus kejahatan korupsi model seperti kasus batik ini yang adalah salah satu contohnya,” ungkapnya kepada Bintang Papua, via ponselnya, Jumat, 14/11).
Dengan demikian, bila penegak hukum kalau tegas dan tidak tebang pilih kasus pemberantasan korupsi, penjara di Papua sudah penuh (membludak) dari dulu para pelaku kejahatan korupsi model seperti ini sudah ditahan dan menjalani masa hukumannya, mulai dari gubernur, bupati, walikota, pejabat eselon 2 sampai eselon 4, yang banyak terbukti telah menyalahgunakan administrasi untuk memperkaya diri sendiri dan menimbulkan kerugian negara akibat kejahatan mereka, namun tidak tersentuh oleh hukum dan tidak mendapatkan perhatian publik yang lebih luas.
“Kenapa kasus korupsi batik Kota Jayapura yang melibatkan Ny. Christin Luluporo yaitu istri walikota Jayapura (kini jadi saksi), mendapatkan perhatian yang lebih luas dari media dan masyarakat secara berlebihan?,” katanya.
Hari ini akan terbaca bahwa pandangan politik Thomas Hobbes bahwa manusia adalah serigala atas manusia lain, karena faktor dendam politik masa lalu. Dirinya melihat bahwa dendam politik merupakan penjara politik yang memenjarakan birokrasi, yang berakibat buruk terhadap pelayanan publik, apalagi terjadinya mutasi jabatan tidak lagi berdasarkan profesionalitas dan kompetensi pegawai, tetapi lebih pada utang politik kedaerahan dan sukuisme.
Selama birokrasi Pemda Papua dan Pemda Kota Jayapura masih terpenjara dengan dendam politik elit terhadap pejabat yang berkuasa, maka kasus-kasus seperti korupsi batik di Kota Jayapura akan selalu muncul. Karena dirinya menilai kasus korupsi batik ini adalah dendam politik dari para elit politik yang kalah dalam Pemilukada maupun Pileg dan juga dari para pejabat yang sudah tidak lagi mendapatkan posisi jabatan di Pemda Kota Jayapura.
“Jadi kalau pemerintah kota mau membangun sistem pemerintahan dengan prinsip clean governance dan good governance yang mana menjadi barometer pemerintahan terbaik di Papua, maka saatnya dendam politik dalam birokrasi dihentikan,” tandasnya.
Menurutnya, bila kasus batik Kota Jayapura terbukti dipolitisasi oleh elit dan pejabat tertentu, sebaiknya dihentikan saja, karena perselingkuhan kepentingan politik dengan kepentingan hukum seringkali merusak pemerintahan dan menimbulkan kerugian moral dan sosial yang cukup luas.
Sementara itu, Pakar Hukum Tata Negara Asal Papua, DR. Yusak Reba, menandaskan, kasus korupsi batik yang kini melibatkan istri Walikota Jayapura sebagai saksi, itu dalam hukum pidana tidak akan membebaskanya atau orang siapapun dari ancaman pidana.
“Kalau di duga terlibat apakah sebagai tersangka itu bisa saja terjerat hukum, namun kalau sebatas saksi saja, itu masih selamat, tetapi bila statusnya sebagai tersangka dan mengembalikan uang, itu jelas tidak akan menghilangkan pidananya dan proses hukum tetap berlangsung terhadap bersangkutan, sebab tindak pidana itu tidak bisa dihentikan dengan cara mengembalikan uang,” tukasnya.
Baginya, pengembalian uang yang dilakukan seorang saksi yaitu Ny. Christin Luluporo tersebut sah-sah saja, akan tetapi itu sifatnya hanya menjadi pertimbangan hukum dalam meringankan beban ancaman hukuman pidana bagi bersangkutan. [BintangPapua]