Forum Solidaritas Peduli (FSP) PT Freeport Indonesia Minta Serikat Pekerja Berpikir Jernih
pada tanggal
Thursday, 6 November 2014
TIMIKA MIMIKA) – Wakil Ketua Forum Solidaritas Peduli (FSP) PT Freeport Indonesia, Yosias Magai, meminta PUK SPSI PTFI dapat berpikir dengan jernih terkait dengan rencana menempuh jalur hukum atas peristiwa pemalangan dan pemblokiran kantor PUK SPSI PTFI di Jalan Budi Utomo, Senin (3/11) lalu. Pasalnya, tindakan tersebut akan merugikan banyak orang termasuk pemilik hak ulayat masyarakat 7 suku.
“Pada prinsipnya kami menyegel kantor SPSI bukan bermaksud untuk mengintervensi kegiatan SPSI PTFI, tetapi kami sebagai pemilik hak ulayat tidak mau ada maksud untuk tutup Freeport,” ujarnya kepada Salam Papua,saat ditemui di Kantor LPMAK, di Jalan Ahmad Yani, Rabu (5/11).
Ia mengatakana, Freeport merupakan aset bagi banyak orang terutama masyarakat pemilik hak ulayat 7 suku, sebab PTFI sangat membantu masyarakat 7 suku membawa nilai yang positif dalam kehidupan masyarakat 7 suku.
“Kami hanya mau satu hal, semua harus berpikir dengan jernih dan murni, karena semua perbuatan ini akan menimbulkan banyak masalah, saya kira SPSI itu adalah suatu wadah bagi para karyawan, kalau ada suatu masalah duduk satu meja menajemen Freeport untuk mengambil suatu keputusan bukan dengan cara-cara mogok dan tutup Freeport, saya kira mereka harus memahami hal itu. Kalau tutup Freeport itu dapat merugikan kami masyarakat 7 suku, karena selama ini Freeport telah memberi dampak positif terutama dibidang pendidikan, ekonomi dan kesehatan serta yang lainnya.Oleh karena itu, kami tidak bisa intervensi dan kami tidak terima sama sekali intimidasi kekerasan terhadap orang-orang yang bekerja,” tambahnya.
Yosias menambahkan, dirinya mengecam adanya intimidasi terhadap pekerja. Sebagian pekerja mengeluhkan tidak lagi mau bekerja karena mendapat diintimidasi, ditakuti, dicaci maki. Hal tersebut tidak boleh terjadi, Karena pekerja memiliki keluarga yang harus ditanggung.
“Kami juga mandapat informasi banyak ketika karyawan mau bekerja mereka diintimidasi tidak boleh bekerja, diancam dengan kekerasan, itu kami tidak suka, jadi kami bentuk tim ini guna menjaga agar PTFI kembali. Sebagai pemilik hak ulayat kami akan menolak segala bentuk intimidasi itu, kami juga sudah koordinasi dengan berbagai pihak mulai dari tokoh gereja, dua lembaga adat, tokoh masyarakat, tokoh perempuan untuk menyikapi hal-hal yang terjadi selama ini,” lanjutnya.
Ia mengimbau kepada karyawan tujuh suku dan lainnya, agar tidak ikut-ikutan dengan hal-hal yang tidak bertanggung jawab seperti itu. Penyegelan itu juga sebagai ungkapan sakit hati dari pemilik hak ulayat, sebab selama ini PUK SPSI PTFI banyak menimbulkan masalah dengan menggelar aksi mogok, akhirnya banyak orang yang di PHK, dirumahkan. Cara seperti ini dinilai kurang baik.
“Harapan kami kepada pihak SPSI agar dalam menyelesaikan suatu masalah seperti kenaikan gaji atau kesejahteraan karyawan silahkan saja karena itu hak. Namun, bukan dengan cara-cara seperti itu, melainkan dengan duduk bersama menajemen guna mencari jalan keluar yang terbaik, karena SPSI merupakan suatu wadah.” ungkapnya. [SalamPapua]
“Pada prinsipnya kami menyegel kantor SPSI bukan bermaksud untuk mengintervensi kegiatan SPSI PTFI, tetapi kami sebagai pemilik hak ulayat tidak mau ada maksud untuk tutup Freeport,” ujarnya kepada Salam Papua,saat ditemui di Kantor LPMAK, di Jalan Ahmad Yani, Rabu (5/11).
Ia mengatakana, Freeport merupakan aset bagi banyak orang terutama masyarakat pemilik hak ulayat 7 suku, sebab PTFI sangat membantu masyarakat 7 suku membawa nilai yang positif dalam kehidupan masyarakat 7 suku.
“Kami hanya mau satu hal, semua harus berpikir dengan jernih dan murni, karena semua perbuatan ini akan menimbulkan banyak masalah, saya kira SPSI itu adalah suatu wadah bagi para karyawan, kalau ada suatu masalah duduk satu meja menajemen Freeport untuk mengambil suatu keputusan bukan dengan cara-cara mogok dan tutup Freeport, saya kira mereka harus memahami hal itu. Kalau tutup Freeport itu dapat merugikan kami masyarakat 7 suku, karena selama ini Freeport telah memberi dampak positif terutama dibidang pendidikan, ekonomi dan kesehatan serta yang lainnya.Oleh karena itu, kami tidak bisa intervensi dan kami tidak terima sama sekali intimidasi kekerasan terhadap orang-orang yang bekerja,” tambahnya.
Yosias menambahkan, dirinya mengecam adanya intimidasi terhadap pekerja. Sebagian pekerja mengeluhkan tidak lagi mau bekerja karena mendapat diintimidasi, ditakuti, dicaci maki. Hal tersebut tidak boleh terjadi, Karena pekerja memiliki keluarga yang harus ditanggung.
“Kami juga mandapat informasi banyak ketika karyawan mau bekerja mereka diintimidasi tidak boleh bekerja, diancam dengan kekerasan, itu kami tidak suka, jadi kami bentuk tim ini guna menjaga agar PTFI kembali. Sebagai pemilik hak ulayat kami akan menolak segala bentuk intimidasi itu, kami juga sudah koordinasi dengan berbagai pihak mulai dari tokoh gereja, dua lembaga adat, tokoh masyarakat, tokoh perempuan untuk menyikapi hal-hal yang terjadi selama ini,” lanjutnya.
Ia mengimbau kepada karyawan tujuh suku dan lainnya, agar tidak ikut-ikutan dengan hal-hal yang tidak bertanggung jawab seperti itu. Penyegelan itu juga sebagai ungkapan sakit hati dari pemilik hak ulayat, sebab selama ini PUK SPSI PTFI banyak menimbulkan masalah dengan menggelar aksi mogok, akhirnya banyak orang yang di PHK, dirumahkan. Cara seperti ini dinilai kurang baik.
“Harapan kami kepada pihak SPSI agar dalam menyelesaikan suatu masalah seperti kenaikan gaji atau kesejahteraan karyawan silahkan saja karena itu hak. Namun, bukan dengan cara-cara seperti itu, melainkan dengan duduk bersama menajemen guna mencari jalan keluar yang terbaik, karena SPSI merupakan suatu wadah.” ungkapnya. [SalamPapua]