Warga Pemilik Lahan Kampung Sima Sesalkan Sikap Manajemen PT Nabire Baru dan PT Sariwana Umel Mandiri
pada tanggal
Tuesday, 7 October 2014
SIMA (NABIRE) - Sejumlah Warga pemilik lahan di Kampung Sima, Distrik Yaur, Kabupaten Nabire, Provinsi Papua, menyesalkan sikap manajemen PT Nabire Baru dan PT Sariwana Umel Mandiri yang bergerak di bidang pengelolaan kepala sawit, karena tidak memperhatikan keluhan pendidikan dan kesehatan.
"Semenjak kedua perusahaan itu beroperasi, banyak persoalan terjadi, termasuk masalah pendidikan dan kesehatan. Kami ajukan bantuan dana, perusahaan bilang belum ada pos dana untuk pendidikan dan kesehatan," kata salah satu pemilik lahan, Tino Henobora saat dikonfirmasi dari Jayapura via telepon, Senin.
Menurut Tino, perusahaan selalu beralasan harus ada hasil awal yang dihasikan yakni pemanenan buah sawit lalu dipasarkan barulah mengalokasikan dana untuk membiayai pendidikan dan kesehatan. Padahal, dua perusahaan itu sudah lama beroperasi yakni sejak 2009.
"Masyarakat tuntut biaya pendidikan dan kesehatan karena waktu perusahaan masuk dan membuka lahan hingga beroperasi, tidak ada sosialisasi maupun kejelasan tentang kompensasi apa yang diberikan oleh pihak perusahaan kepada warga pemilik lokasi," ujarnya.
Perusahaan, kata dia, masuk dengan mulus ke kampungnya lalu beroperasi tanpa malakukan negosiasi dengan masyarakat. Namun, tuntutan warga pemilik lahan terkait permintaan bantuan biaya pendidikan dan kesehatan dalam bentuk proposal yang diajukan, tak digubris.
"Saya punya saudari perempuan, namanya Laurensina Hanebora, mengalami lumpuh di kaki kanannya sejak tahun 2013, sehingga tidak bisa berjalan, mungkin ada bawaan penyakit lain selain itu, tapi saya tidak bisa prediksi karena belum ada pemeriksaan lanjutan dari dokter dan harus dirujuk untuk menjalani pengobatan lanjutan," ujarnya.
Dokter yang menangani pemeriksaan Laurensina mengatakan, ada indikasi penyakit lain kearah busung lapar yang dialami cuma harus ada pemeriksaan lebih lanjut karena kakinya sudah mulai mengecil.
Bertolak dari penderitaan saudarinya itu, Tino mengaku, sempat mengajukan proposal ke perusahaan untuk meminta bantuan biaya perjalanan serta rujukan untuk pengobatan lebih lanjut di Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) Dok II Jayapura, namun perusahaan tak menggubris.
"Saya sudah ajukan permohonan sampai tiga kali ke pengusaha untuk membantu dana pengobatan lebih lanjut, karena salah satu dokter di Kota Nabire yang sudah memeriksa saudari saya menyatakan harus ditangani oleh doker saraf. Sementara di Nabire belum ada dokter saraf," ujarnya.
Dokter yang memeriksa juga menyarankan harus dirujuk secepatnya untuk berobat. "Jelas perjalanan ke Jayapura dan pengobatan lebih lanjut membutuhkan kos cukup tinggi, nah itu yang diajukan ke perusahaan tapi tidak ditanggapi," ujarnya.
Selain saudarinya, kata dia, keponakannya Utreck Unggeirusi juga sudah lama mengalami gizi buruk setelah menjalani pemeriksaan dokter. Dari hasil diagnosa seorang dokter di Rumah Sakit Nabire,Utreck juga harus dirujuk ke Rumah Sakit Jayapura.
"Jelas membutuhkan biaya perjalanan, ongkos pengantar dan lainnya. Saya sudah ajukan dua proposal sekaligus waktu itu yakni untuk Laurens dan Utreck ke perusahaan untuk meminta bantuan biaya pengobatan dengan harapan perusahaan dapat membantu, tetapi tidak ada konfirmasi balik," ujarnya.
Meskipun perusahaan tidak bisa membantu, kata dia, paling tidak ada konfirmasi balik agar diketahui. "Kalau perusahaan tidak bisa bantu, kasih informasi balik ke kami supaya kami tahu," ujarnya.
Dia mengaku, sangat kecewa dan menyesal dengan sikap kedua perusahaan tersebut, karena lahan miliknya yang digarap perusahaan, luasnya cukup besar. Tetapi, ketika hal-hal sepeleh yang dialami masyarakat seperti persoalan pendidikan dan kesehatan, terkesan perusahaan menolak dengan berbagai alasan.
"Alasan tidak ada biaya untuk membantu warga pemilik lahan itu, bagi saya hal yang sangat mustahil, karena fasilitas yang digunakan perusahaan cukup canggih. Peralatan canggih itu jelas menggunakan uang untuk membeli, kenapa selalu tidak ada uang," ujarnya.
Dari data yang diperoleh, ada dua perusahaan sawit yang melancarkan operasinya di Kampung Sima, Distrik Yaur, Kabupaten Nabire, yakni PT. Nabire Baru dan PT. Umel Mandiri. Kedua perusahaan yang bergerak dibidang pengelolaan kelapa sawit itu, sudah beroperasi sejak tahun 2009.
PT. Nabire Baru dan PT. Umel Mandiri membuka lahan kelapa sawit kurang lebih sekitar 18 ribu hektare dari total 32 ribu hektare lahan yang dicanangkan.
Namun, hingga kini perusahaan tak pernah melakukan sosialisai kepada masyarakat pemilik lokasi tentang bagaimana tahapan-tahapan yang akan dilakukan termasuk kompensasi kepada masyarakat pemilik tanah.
Perjalanan dari Kota Nabire ke Distrik Yaur menggunakan speed boat (kapal cepat). Perjalanan memakan waktu kurang lebih sekitar dua jam ke daerah itu. [ANT]
"Semenjak kedua perusahaan itu beroperasi, banyak persoalan terjadi, termasuk masalah pendidikan dan kesehatan. Kami ajukan bantuan dana, perusahaan bilang belum ada pos dana untuk pendidikan dan kesehatan," kata salah satu pemilik lahan, Tino Henobora saat dikonfirmasi dari Jayapura via telepon, Senin.
Menurut Tino, perusahaan selalu beralasan harus ada hasil awal yang dihasikan yakni pemanenan buah sawit lalu dipasarkan barulah mengalokasikan dana untuk membiayai pendidikan dan kesehatan. Padahal, dua perusahaan itu sudah lama beroperasi yakni sejak 2009.
"Masyarakat tuntut biaya pendidikan dan kesehatan karena waktu perusahaan masuk dan membuka lahan hingga beroperasi, tidak ada sosialisasi maupun kejelasan tentang kompensasi apa yang diberikan oleh pihak perusahaan kepada warga pemilik lokasi," ujarnya.
Perusahaan, kata dia, masuk dengan mulus ke kampungnya lalu beroperasi tanpa malakukan negosiasi dengan masyarakat. Namun, tuntutan warga pemilik lahan terkait permintaan bantuan biaya pendidikan dan kesehatan dalam bentuk proposal yang diajukan, tak digubris.
"Saya punya saudari perempuan, namanya Laurensina Hanebora, mengalami lumpuh di kaki kanannya sejak tahun 2013, sehingga tidak bisa berjalan, mungkin ada bawaan penyakit lain selain itu, tapi saya tidak bisa prediksi karena belum ada pemeriksaan lanjutan dari dokter dan harus dirujuk untuk menjalani pengobatan lanjutan," ujarnya.
Dokter yang menangani pemeriksaan Laurensina mengatakan, ada indikasi penyakit lain kearah busung lapar yang dialami cuma harus ada pemeriksaan lebih lanjut karena kakinya sudah mulai mengecil.
Bertolak dari penderitaan saudarinya itu, Tino mengaku, sempat mengajukan proposal ke perusahaan untuk meminta bantuan biaya perjalanan serta rujukan untuk pengobatan lebih lanjut di Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) Dok II Jayapura, namun perusahaan tak menggubris.
"Saya sudah ajukan permohonan sampai tiga kali ke pengusaha untuk membantu dana pengobatan lebih lanjut, karena salah satu dokter di Kota Nabire yang sudah memeriksa saudari saya menyatakan harus ditangani oleh doker saraf. Sementara di Nabire belum ada dokter saraf," ujarnya.
Dokter yang memeriksa juga menyarankan harus dirujuk secepatnya untuk berobat. "Jelas perjalanan ke Jayapura dan pengobatan lebih lanjut membutuhkan kos cukup tinggi, nah itu yang diajukan ke perusahaan tapi tidak ditanggapi," ujarnya.
Selain saudarinya, kata dia, keponakannya Utreck Unggeirusi juga sudah lama mengalami gizi buruk setelah menjalani pemeriksaan dokter. Dari hasil diagnosa seorang dokter di Rumah Sakit Nabire,Utreck juga harus dirujuk ke Rumah Sakit Jayapura.
"Jelas membutuhkan biaya perjalanan, ongkos pengantar dan lainnya. Saya sudah ajukan dua proposal sekaligus waktu itu yakni untuk Laurens dan Utreck ke perusahaan untuk meminta bantuan biaya pengobatan dengan harapan perusahaan dapat membantu, tetapi tidak ada konfirmasi balik," ujarnya.
Meskipun perusahaan tidak bisa membantu, kata dia, paling tidak ada konfirmasi balik agar diketahui. "Kalau perusahaan tidak bisa bantu, kasih informasi balik ke kami supaya kami tahu," ujarnya.
Dia mengaku, sangat kecewa dan menyesal dengan sikap kedua perusahaan tersebut, karena lahan miliknya yang digarap perusahaan, luasnya cukup besar. Tetapi, ketika hal-hal sepeleh yang dialami masyarakat seperti persoalan pendidikan dan kesehatan, terkesan perusahaan menolak dengan berbagai alasan.
"Alasan tidak ada biaya untuk membantu warga pemilik lahan itu, bagi saya hal yang sangat mustahil, karena fasilitas yang digunakan perusahaan cukup canggih. Peralatan canggih itu jelas menggunakan uang untuk membeli, kenapa selalu tidak ada uang," ujarnya.
Dari data yang diperoleh, ada dua perusahaan sawit yang melancarkan operasinya di Kampung Sima, Distrik Yaur, Kabupaten Nabire, yakni PT. Nabire Baru dan PT. Umel Mandiri. Kedua perusahaan yang bergerak dibidang pengelolaan kelapa sawit itu, sudah beroperasi sejak tahun 2009.
PT. Nabire Baru dan PT. Umel Mandiri membuka lahan kelapa sawit kurang lebih sekitar 18 ribu hektare dari total 32 ribu hektare lahan yang dicanangkan.
Namun, hingga kini perusahaan tak pernah melakukan sosialisai kepada masyarakat pemilik lokasi tentang bagaimana tahapan-tahapan yang akan dilakukan termasuk kompensasi kepada masyarakat pemilik tanah.
Perjalanan dari Kota Nabire ke Distrik Yaur menggunakan speed boat (kapal cepat). Perjalanan memakan waktu kurang lebih sekitar dua jam ke daerah itu. [ANT]