Pastor Bert Hogenboorn Minta Eltinus Omaleng Hentikan Proyek PT Pusaka Agro Lestari
pada tanggal
Sunday, 5 October 2014
TIMIKA (MIMIKA) - Tokoh agama Kabupaten Mimika, Papua, Pastor Bert Hogendoorn OFM meminta Bupati Mimika, Eltinus Omaleng menghentikan proyek penanaman kelapa sawit skala besar yang dilakukan PT Pusaka Agro Lestari karena merusak kawasan hutan.
"Saya harap Bupati Mimika menyadari betul masalah ini dan melihat kepentingan daerah untuk jangka panjang. Pemerintah daerah tidak sekedar hanya melihat nilai uang yang diberikan perusahaan tertentu kepada masyarakat tertentu, tetapi berfikir untuk jangka panjang," kata Pastor yang bernama lengkap Lambertus Hogenboorn di Timika, Senin.
Misionaris asal Belanda yang sudah puluhan tahun berkarya di Papua itu mengkhawatirkan masa depan hutan Papua, terutama di wilayah dataran rendah Mimika karena selama ini Pemkab setempat terkesan boros memberikan perizinan kepada perusahaan investasi perkebunan kelapa sawit, perusahaan kayu maupun perusahaan-perusahaan tambang.
Aktivitas perusahaan-perusahaan itu, katanya, sangat mengancam masa depan hutan Mimika sebagai salah satu kawasan paru-paru dunia.
"Hal yang sama berlaku untuk usaha tambang yang dilakukan Freeport yang telah meracuni laut dan merusak kawasan hutan di Mimika. Mungkin orang berfikir bahwa dengan membayar uang dalam jumlah banyak maka mereka bisa mengganti kerugian alam yang ada. Tetapi sebenarnya kerugian dan kerusakan alam tidak bisa digantikan oleh uang dalam jumlah berapapun yang diberikan oleh perusahaan-perusahaan itu kepada masyarakat lokal," ujar Pastor Hogenboorn yang juga merupakan pegiat masalah HIV-AIDS itu.
Ia menambahkan, keberadaan kawasan hutan basah di sebelah utara Kabupaten Mimika yang berbatasan dengan kawasan hutan mangrove di sepanjang pesisir wilayah itu sangat penting. Ironisnya, Pemkab Mimika saat ini tengah menggodok sebuah peraturan daerah untuk melindungi kawasan hutan mangrove yang tersebar di wilayah pesisir, namun di sisi lain memberikan perizinan untuk menebang kawasan hutan basah untuk investasi perkebunan kelapa sawit, perusahaan kayu dan pertambangan.
"Saya pikir ini adalah hal yang sangat ironis karena keberadaan kawasan hutan basah itu sangat dibutuhkan untuk melestarikan hutan bakau yang ada di bawahnya. Tetapi justru pemerintah daerah memberikan izin untuk menebang habis hutan basah untuk dijadikan perkebunan kelapa sawit," tuturnya.
Sehubungan dengan itu, Pastor Hogenboorn menyatakan sangat tidak menyetujui adanya proyek perkebunan kelapa sawit dalam skala besar di Mimika yang kini sedang dikembangkan oleh PT PAL. Pemkab Mimika, katanya, harus menyadari bahwa saat ini di seluruh dunia banyak negara telah menyatakan sikap untuk menghentikan pemberikan izin-izin pembukaan perkebunan kelapa sawit karena merusak ekosistem hutan.
Penebangan kawasan hutan basah untuk dijadikan perkebunan kelapa sawit di wilayah dataran rendah Mimika juga mengancam keberlangsungan hidup masyarakat lokal Suku Kamoro yang selama ini menggantungkan hidup dari tanaman sagu. Keberadaan hutan sagu itu selama ini menopang dan melindugi hutan mangrove.
"Secara turun-temurun dari dulu masyarakat lokal mencari penghasilan dan hidup dari hutan sagu. Kalau kawasan hutan yang telah ditebang PT PAL itu bisa ditanami kembali dengan pohon sagu, saya kira itu lebih arif untuk mendukung kehidupan masyarakat lokal," ujarnya.
Kepala Dinas Kehutanan Mimika, Syahrial beberapa waktu lalu menjelaskan bahwa PT PAL telah membuka areal hutan di kawasan Distrik Iwaka, Mimika seluas 3.500 hektare untuk ditanami bibit kelapa sawit.
Perusahaan itu terus memperluas pembukaan hutan untuk penanaman bibit kelapa sawit mengingat pada 2014 ditargetkan membuka lahan seluas 4.000 hektare.
Perusahaan itu juga disebutkan selalu melunasi kewajiban membayar Provisi Sumber Daya Hutan - Dana Reboisasi (PSDH-DR) ke rekening Menteri Kehutanan atas aktivitas penebangan kayu yang dilakukannya.
"Untuk bulan Juli saja PSDH-DR yang mereka bayar ke pemerintah sebesar lebih dari Rp700 juta," tutur Syahrial.
Sedangkan pada 2013 perusahaan itu telah melunasi pembayaran PSDH-DR ke pemerintah sebesar kurang lebih Rp3 miliar terdiri dari dana PSDH sebesar Rp1,15 miliar dan Dana Reboisasi sebesar Rp1,976 miliar.
PT PAL mendapat izin dari pemerintah untuk mengembangkan perkebunan kelapa sawit di Mimika pada lahan seluas 39 ribu hektare. Lokasi perkebunan PT PAL tersebar mulai dari Sungai Kamoro di timur hingga Sungai Mimika di barat. [ANT]
"Saya harap Bupati Mimika menyadari betul masalah ini dan melihat kepentingan daerah untuk jangka panjang. Pemerintah daerah tidak sekedar hanya melihat nilai uang yang diberikan perusahaan tertentu kepada masyarakat tertentu, tetapi berfikir untuk jangka panjang," kata Pastor yang bernama lengkap Lambertus Hogenboorn di Timika, Senin.
Misionaris asal Belanda yang sudah puluhan tahun berkarya di Papua itu mengkhawatirkan masa depan hutan Papua, terutama di wilayah dataran rendah Mimika karena selama ini Pemkab setempat terkesan boros memberikan perizinan kepada perusahaan investasi perkebunan kelapa sawit, perusahaan kayu maupun perusahaan-perusahaan tambang.
Aktivitas perusahaan-perusahaan itu, katanya, sangat mengancam masa depan hutan Mimika sebagai salah satu kawasan paru-paru dunia.
"Hal yang sama berlaku untuk usaha tambang yang dilakukan Freeport yang telah meracuni laut dan merusak kawasan hutan di Mimika. Mungkin orang berfikir bahwa dengan membayar uang dalam jumlah banyak maka mereka bisa mengganti kerugian alam yang ada. Tetapi sebenarnya kerugian dan kerusakan alam tidak bisa digantikan oleh uang dalam jumlah berapapun yang diberikan oleh perusahaan-perusahaan itu kepada masyarakat lokal," ujar Pastor Hogenboorn yang juga merupakan pegiat masalah HIV-AIDS itu.
Ia menambahkan, keberadaan kawasan hutan basah di sebelah utara Kabupaten Mimika yang berbatasan dengan kawasan hutan mangrove di sepanjang pesisir wilayah itu sangat penting. Ironisnya, Pemkab Mimika saat ini tengah menggodok sebuah peraturan daerah untuk melindungi kawasan hutan mangrove yang tersebar di wilayah pesisir, namun di sisi lain memberikan perizinan untuk menebang kawasan hutan basah untuk investasi perkebunan kelapa sawit, perusahaan kayu dan pertambangan.
"Saya pikir ini adalah hal yang sangat ironis karena keberadaan kawasan hutan basah itu sangat dibutuhkan untuk melestarikan hutan bakau yang ada di bawahnya. Tetapi justru pemerintah daerah memberikan izin untuk menebang habis hutan basah untuk dijadikan perkebunan kelapa sawit," tuturnya.
Sehubungan dengan itu, Pastor Hogenboorn menyatakan sangat tidak menyetujui adanya proyek perkebunan kelapa sawit dalam skala besar di Mimika yang kini sedang dikembangkan oleh PT PAL. Pemkab Mimika, katanya, harus menyadari bahwa saat ini di seluruh dunia banyak negara telah menyatakan sikap untuk menghentikan pemberikan izin-izin pembukaan perkebunan kelapa sawit karena merusak ekosistem hutan.
Penebangan kawasan hutan basah untuk dijadikan perkebunan kelapa sawit di wilayah dataran rendah Mimika juga mengancam keberlangsungan hidup masyarakat lokal Suku Kamoro yang selama ini menggantungkan hidup dari tanaman sagu. Keberadaan hutan sagu itu selama ini menopang dan melindugi hutan mangrove.
"Secara turun-temurun dari dulu masyarakat lokal mencari penghasilan dan hidup dari hutan sagu. Kalau kawasan hutan yang telah ditebang PT PAL itu bisa ditanami kembali dengan pohon sagu, saya kira itu lebih arif untuk mendukung kehidupan masyarakat lokal," ujarnya.
Kepala Dinas Kehutanan Mimika, Syahrial beberapa waktu lalu menjelaskan bahwa PT PAL telah membuka areal hutan di kawasan Distrik Iwaka, Mimika seluas 3.500 hektare untuk ditanami bibit kelapa sawit.
Perusahaan itu terus memperluas pembukaan hutan untuk penanaman bibit kelapa sawit mengingat pada 2014 ditargetkan membuka lahan seluas 4.000 hektare.
Perusahaan itu juga disebutkan selalu melunasi kewajiban membayar Provisi Sumber Daya Hutan - Dana Reboisasi (PSDH-DR) ke rekening Menteri Kehutanan atas aktivitas penebangan kayu yang dilakukannya.
"Untuk bulan Juli saja PSDH-DR yang mereka bayar ke pemerintah sebesar lebih dari Rp700 juta," tutur Syahrial.
Sedangkan pada 2013 perusahaan itu telah melunasi pembayaran PSDH-DR ke pemerintah sebesar kurang lebih Rp3 miliar terdiri dari dana PSDH sebesar Rp1,15 miliar dan Dana Reboisasi sebesar Rp1,976 miliar.
PT PAL mendapat izin dari pemerintah untuk mengembangkan perkebunan kelapa sawit di Mimika pada lahan seluas 39 ribu hektare. Lokasi perkebunan PT PAL tersebar mulai dari Sungai Kamoro di timur hingga Sungai Mimika di barat. [ANT]