Organisasi Kaum Intelektual Amungsa (OKIA) Minta Tim Investigasi di Tambang Freeport harus Tuntas
pada tanggal
Sunday 5 October 2014
TIMIKA (MIMIKA) - Sekretaris Organisasi Kaum Intelektual Amungsa (OKIA) Gerson Harold Imbir mengingatkan tim investigasi kasus kecelakaan kerja di area tambang PT Freeport Indonesia (FI) harus mengusut hingga tuntas. Hasilnya pun harus disampaikan secara transparan kepada publik.
“Tim investigasi harus secara terbuka mengusut kasus yang terjadi di area tambang terbuka maupun di under ground. Jangan tutup tutupi hal yang sudah terjadi. Semuanya harus disampaikan secara transparan agar seluruh masyarakat mengetahui dengan jelas,” kata Gerson yang juga caleg terpilih DPRD Mimika periode 2014-2019, saat ditemui di Sekretariat OKIA, Kamis (2/10).
Menurut Gerson, transparansi sangat penting agar perisitwa-peristiwa serupa tidak lagi terjadi pada masa mendatang. Gerson juga menegaskan, Manajemen Operation PT Freeport harus bertanggungjawab atas musibah kecelakaan kerja yang terjadi pada Sabtu (27/9) yang menewaskan empat karyawan.
Sementara itu, kalangan DPRD Mimika menilai lemahnya pengawasan dari pihak perusahan terhadap keselamatan kerja karyawan, sehingga kecelakaan kerap terjadi. “Setahu saya, perusahaan tambang itu sangat menomorsatukan keselamatan kerja di masing-masing departeman, tetapi saya heran kenapa sampai kecelakaan bisa terjadi. Semua itu bisa disebabkan karena lemahnya pengawasan perusahaan terhadap keselamatan kerja karyawan,” kata Wakil Ketua Komisi C DPRD Mimika, Alpius Edoway, di ruang kerjanya, Kamis (2/10).
Alpius menilai, sistem pengawasan Manajemen Safety PT Freeport belakangan ini kurang maksimal jika dibandingkan sistem pengawasan Manajemen Safety Freeport-McMoRan sebelumnya. Untuk itu Alpius mendesak pimpinan PT Freeport serius menyikapi persoalan ini. “Kami menduga sistem pengawasan Departemen Safety kurang maksimal, sehingga Freeport perlu segera mengevaluasi dan menerapkan pola pengawasan yang biasanya diterapkan oleh Freeport-McMoRan. Maksudnya supaya kalau ada karyawan yang melawan aturan, perusahaan wajib memberhentikan karyawan itu,” kata Alpius.
Alpius yang juga mantan karyawan PT Freeport itu menilai, kasus kecelakaan kerja yang terjadi di area tambang disebabkan miskomunikasi antara pimpinan Departemen Safety dengan manajamen tertinggi PT Freeport. “Dulu kecelakaan kerja jarang sekali terjadi di perusahaan tambang itu, karena pengawasannya sangat ketat. Tetapi belakangan ini sering terjadi kecelakaan kerja, sehingga kami menilai ini kelalaian perusahaan,” kata Alpius.
Untuk menyelesaikan semua kasus kecelakaan kerja yang terjadi, Alpius mendesak PTFI untuk mengimplementasi Perjanjian Kerja Bersama (PKB) yang sudah disepakati bersama, salah satunya menyelesaikan semua insiden kasus kecelakaan yang terjadi. Jika perusahaan tidak menyelesaikan persoalan tersebut, maka karyawan maupun korban kecelakaan bisa saja menyeret perusahaan ke Pengadilan Hubungan Industrial (PHI) sesuai prosedur. “Untuk menghindari kasus hukum lain, manajemen harus konsisten menyelesaikan semua kasus kecelakaan kerja itu,” terang Alpius.
Menurut Alpius, insiden runtuhnya terowong di area pelatihan Big Gossan yang terjadi 14 Mei 2013 lalu bersama kasus kecelakaan kerja lainnya yang terjadi belakangan ini, seharusnya pihak perusahaan telah mengevaluasi kinerja para pimpinan Manajemen Safety yang ditugaskan untuk melakukan pengawasan terhadap keselamatan dan keamanan para pekerja. “Kami menduga maraknya kasus kecelakaan kerja yang terjadi disebabkan adanya kelemahan perusahaan saat merekrut karyawan. Tetapi akhir-akhir ini karyawan yang masuk di beberapa departeman tidak melalui prosedur atau kriteria yang harus dipenuhi, sehingga ini sangat berpotensi menimbulkan kerawanan, terutama kecelakaan kerja,” jelas Alpius.
Untuk itu Alpius menyarankan Manajemen Freeport harus lebih peka melihat sejumlah kecelakaan yang terjadi. Sebab kasus kecelakaan kerja yang terjadi bisa saja dilakukan karena adanya unsur kelalaian pekerja dan atau unsur balas dendam lainnya yang dapat menimbulkan hal-hal yang sama sekali tidak diinginkan. “Kasus kecelakaan seperti ini harus segera diinvestigasi sebagai langkah pencegahan. Kalau kasus ini terjadi berturut-turut maka tim Kementerian ESDM harus turun melakukan survey,” kata Alpius.
Sementara itu, tokoh pemuda Mimika, Decky Mirino mengatakan, manajemen Freeport selama ini cukup lalai dalam menerapkan standar sistem keselamatan kerja. Terbukti banyaknya kasus kecelakan kerja yang telah menewaskan puluhan pekerja. “Ada kesan selama ini Freeport tidak pernah menganggap penting para pekerjanya. Tahun lalu saja ada 28 pekerja yang meninggal karena tertimpa reruntuhan tambang, toh tidak ada apa-apanya. Apalagi kalau hanya empat-lima orang yang meninggal. Bagi Freeport, nyawa orang sama sekali tidak ada artinya. Paling kalau ada orang yang mati, dia hanya ganti rugi dengan memberikan sejumlah uang duka kepada keluarga,” kata Decky.
Decky menilai sikap “besar kepala” yang dipertontonkan oleh manajemen Freeport selama ini tidak lepas dari adanya keberpihakan pemerintah terhadap perusahaan itu. Akibatnya, pada setiap kasus kecelakaan kerja di area tambang, tidak pernah ada investigasi yang benar-benar bersifat independen yang bermuara diseretnya pihak-pihak yang bertanggungjawab ke proses hukum yang adil. “Setiap terjadi kecelakaan kerja di Freeport, pasti mereka selalu mengatakan akan dilakukan investigasi oleh Kementerian ESDM ataupun oleh pihak kepolisian. Tapi mana hasilnya. Ataukah investigasi itu hanya tipu-tipu. Kami sangat pesimistis ada investigasi yang benar-benar netral dalam setiap kasus kecelakaan kerja di Freeport,” kata Decky. [HPC]
“Tim investigasi harus secara terbuka mengusut kasus yang terjadi di area tambang terbuka maupun di under ground. Jangan tutup tutupi hal yang sudah terjadi. Semuanya harus disampaikan secara transparan agar seluruh masyarakat mengetahui dengan jelas,” kata Gerson yang juga caleg terpilih DPRD Mimika periode 2014-2019, saat ditemui di Sekretariat OKIA, Kamis (2/10).
Menurut Gerson, transparansi sangat penting agar perisitwa-peristiwa serupa tidak lagi terjadi pada masa mendatang. Gerson juga menegaskan, Manajemen Operation PT Freeport harus bertanggungjawab atas musibah kecelakaan kerja yang terjadi pada Sabtu (27/9) yang menewaskan empat karyawan.
Sementara itu, kalangan DPRD Mimika menilai lemahnya pengawasan dari pihak perusahan terhadap keselamatan kerja karyawan, sehingga kecelakaan kerap terjadi. “Setahu saya, perusahaan tambang itu sangat menomorsatukan keselamatan kerja di masing-masing departeman, tetapi saya heran kenapa sampai kecelakaan bisa terjadi. Semua itu bisa disebabkan karena lemahnya pengawasan perusahaan terhadap keselamatan kerja karyawan,” kata Wakil Ketua Komisi C DPRD Mimika, Alpius Edoway, di ruang kerjanya, Kamis (2/10).
Alpius menilai, sistem pengawasan Manajemen Safety PT Freeport belakangan ini kurang maksimal jika dibandingkan sistem pengawasan Manajemen Safety Freeport-McMoRan sebelumnya. Untuk itu Alpius mendesak pimpinan PT Freeport serius menyikapi persoalan ini. “Kami menduga sistem pengawasan Departemen Safety kurang maksimal, sehingga Freeport perlu segera mengevaluasi dan menerapkan pola pengawasan yang biasanya diterapkan oleh Freeport-McMoRan. Maksudnya supaya kalau ada karyawan yang melawan aturan, perusahaan wajib memberhentikan karyawan itu,” kata Alpius.
Alpius yang juga mantan karyawan PT Freeport itu menilai, kasus kecelakaan kerja yang terjadi di area tambang disebabkan miskomunikasi antara pimpinan Departemen Safety dengan manajamen tertinggi PT Freeport. “Dulu kecelakaan kerja jarang sekali terjadi di perusahaan tambang itu, karena pengawasannya sangat ketat. Tetapi belakangan ini sering terjadi kecelakaan kerja, sehingga kami menilai ini kelalaian perusahaan,” kata Alpius.
Untuk menyelesaikan semua kasus kecelakaan kerja yang terjadi, Alpius mendesak PTFI untuk mengimplementasi Perjanjian Kerja Bersama (PKB) yang sudah disepakati bersama, salah satunya menyelesaikan semua insiden kasus kecelakaan yang terjadi. Jika perusahaan tidak menyelesaikan persoalan tersebut, maka karyawan maupun korban kecelakaan bisa saja menyeret perusahaan ke Pengadilan Hubungan Industrial (PHI) sesuai prosedur. “Untuk menghindari kasus hukum lain, manajemen harus konsisten menyelesaikan semua kasus kecelakaan kerja itu,” terang Alpius.
Menurut Alpius, insiden runtuhnya terowong di area pelatihan Big Gossan yang terjadi 14 Mei 2013 lalu bersama kasus kecelakaan kerja lainnya yang terjadi belakangan ini, seharusnya pihak perusahaan telah mengevaluasi kinerja para pimpinan Manajemen Safety yang ditugaskan untuk melakukan pengawasan terhadap keselamatan dan keamanan para pekerja. “Kami menduga maraknya kasus kecelakaan kerja yang terjadi disebabkan adanya kelemahan perusahaan saat merekrut karyawan. Tetapi akhir-akhir ini karyawan yang masuk di beberapa departeman tidak melalui prosedur atau kriteria yang harus dipenuhi, sehingga ini sangat berpotensi menimbulkan kerawanan, terutama kecelakaan kerja,” jelas Alpius.
Untuk itu Alpius menyarankan Manajemen Freeport harus lebih peka melihat sejumlah kecelakaan yang terjadi. Sebab kasus kecelakaan kerja yang terjadi bisa saja dilakukan karena adanya unsur kelalaian pekerja dan atau unsur balas dendam lainnya yang dapat menimbulkan hal-hal yang sama sekali tidak diinginkan. “Kasus kecelakaan seperti ini harus segera diinvestigasi sebagai langkah pencegahan. Kalau kasus ini terjadi berturut-turut maka tim Kementerian ESDM harus turun melakukan survey,” kata Alpius.
Sementara itu, tokoh pemuda Mimika, Decky Mirino mengatakan, manajemen Freeport selama ini cukup lalai dalam menerapkan standar sistem keselamatan kerja. Terbukti banyaknya kasus kecelakan kerja yang telah menewaskan puluhan pekerja. “Ada kesan selama ini Freeport tidak pernah menganggap penting para pekerjanya. Tahun lalu saja ada 28 pekerja yang meninggal karena tertimpa reruntuhan tambang, toh tidak ada apa-apanya. Apalagi kalau hanya empat-lima orang yang meninggal. Bagi Freeport, nyawa orang sama sekali tidak ada artinya. Paling kalau ada orang yang mati, dia hanya ganti rugi dengan memberikan sejumlah uang duka kepada keluarga,” kata Decky.
Decky menilai sikap “besar kepala” yang dipertontonkan oleh manajemen Freeport selama ini tidak lepas dari adanya keberpihakan pemerintah terhadap perusahaan itu. Akibatnya, pada setiap kasus kecelakaan kerja di area tambang, tidak pernah ada investigasi yang benar-benar bersifat independen yang bermuara diseretnya pihak-pihak yang bertanggungjawab ke proses hukum yang adil. “Setiap terjadi kecelakaan kerja di Freeport, pasti mereka selalu mengatakan akan dilakukan investigasi oleh Kementerian ESDM ataupun oleh pihak kepolisian. Tapi mana hasilnya. Ataukah investigasi itu hanya tipu-tipu. Kami sangat pesimistis ada investigasi yang benar-benar netral dalam setiap kasus kecelakaan kerja di Freeport,” kata Decky. [HPC]